Memimpikan
Indonesia Baru
Abdul Ghopur ;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa;
Intelektual Muda NU
|
KOMPAS,
23 Agustus 2014
SESUNGGUHNYA, bangsa Indonesia adalah ”konsepsi kultural”
tentang suatu komunitas yang
diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritorial jajahan Belanda. Adapun
negara Indonesia adalah ”konsepsi politik” tentang sebuah entitas yang tumbuh
berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka, dengan meletakkan individu ke
dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan
dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum,
dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.
Persoalannya, mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan,
dan kewarganegaraan kian hari semakin jauh? Bahkan lebih menjauh lagi setelah
dikobarkannya Reformasi Mei 1998?
Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting karena, pertama,
problem sesungguhnya: keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang
tidak mampu menegakkan kedaulatan hukum dan memberikan keamanan dan keadilan
bagi warganya. Dalam kondisi demikian, orang lebih nyaman berlindung di balik
warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme, dan sektarianisme) ketimbang
warga-negara.
Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara
yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah
tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaannya
sendiri, individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya
menemukan rasa aman.
Kedua, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman
bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya
sebagai—meminjam Mohammad Hatta—”panitia kesejahteraan rakyat”.
Ketiga, kita terlalu fokus pada pembangunan pusat. Jakarta
sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu,
tingkat angkatan kerja, kejahatan, dan frustrasi selalu meningkat dari tahun
ke tahun. Jakarta jadi magnet yang mencuri kelebihan daerah. Semua potensi
daerah seakan dipaksa bekerja untuk Jakarta. Dari Jakarta negara didesain dan
diadministrasikan, dari Jakarta pula negara dinistakan dan difrustrasikan.
Nalar publik yang hilang
Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri lebih
dari 60 tahun, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas
dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi
sesungguhnya sinyal lemahnya ”ketahanan dan kedaulatan bangsa”. Selain itu,
banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Di
antaranya ”marjinalisasi” di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan
budaya.
Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang
secara perlahan, tetapi pasti tergerus penetrasi budaya asing. Ini terjadi
akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa. Lebih parah
lagi, kita sengaja meninggalkannya sendirian! Belum lagi marjinalisasi di
bidang politik, hukum, dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan
kaotik di bidang sosial. Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun
diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan
keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidakadilan sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan hukum.
Hal itu karena, pemerintah hasil reformasi ternyata belum
memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada
cita-cita dasarnya. Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tidak layak
menyandang gelar pemerintahan yang reformis, apalagi pemerintahan yang
menegakkan negara amanat dan cita-cita. Dengan kata lain, pemerintah hasil
reformasi tak punya visi kebudayaan sama sekali.
Pertanyaannya, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era
reformasi? Rasa terasing dan anti sosial (individualistis)! Mungkin jawaban
ini terlalu berlebihan. Namun, faktanya, banyak laporan di media bahwa
orang-orang mulai terasing dari negerinya sendiri.
Mereka terasing dari lingkungannya, dari nilai-nilai dasar
kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing
karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak
kunjung berhenti. Kita pun menyaksikan sebagian besar ”Orang Indonesia”
sementara bermimpi tentang sebuah ”Indonesia Baru”, pada saat bersamaan masih
memiliki cara berpikir yang sama dan memiliki sikap yang sama.
Indonesia yang seharusnya
Banyak orang cenderung mengambil jalan pintas. Mereka hidup
hanya untuk saat ini dan hanya berpikir tentang pekerjaan mereka, upah, dan
peluang sesaat. Dengan kata lain, sebagian besar rakyat Indonesia begitu
pragmatis dan anti sosial. Mereka berpikir proses itu melelahkan dan memakan
waktu cukup lama untuk mewujudkan impian. Orang-orang, yang menginginkan
solusi cepat, mungkin melupakan tujuan jangka panjang mereka. Pada
gilirannya, hilanglah karakter dan jati diri bangsa dan karakter sosial
masyarakat Indonesia. Jika ini yang terjadi, mimpi akan tetap menjadi mimpi,
dan ”Indonesia Baru” akan tetap menjadi slogan, ”Indonesia Baru” hanyalah sebuah
utopia.
”Indonesia Baru” selaiknya menghormati hak asasi manusia,
menegakkan supremasi hukum, dan memastikan proses demokrasi yang memungkinkan
bagi terciptanya partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan nasib
mereka sendiri. Ini hanya dapat dicapai dengan mengubah struktur dasar dari
mental dan pola pikir masyarakat Indonesia yang majemuk. Bukan hanya dari
sistem kekuasaan dan hukum, melainkan juga budaya dari masyarakat itu
sendiri.
Dalam perjuangan melawan korupsi, misalnya, orang harus memiliki
komitmen kuat dan punya nyali mengatakan ”tidak” untuk penyuapan. Orang harus
tetap menuntut hak-hak mereka dan berbicara melawan perlakuan tidak adil,
sementara pada saat yang sama, sebagai warga negara yang bertanggung jawab,
juga mematuhi hukum.
Dengan kata lain, orang harus berperan aktif untuk mewujudkan
impian mereka tentang ”Indonesia Baru”. Namun, sementara masyarakat Indonesia
berbagi mimpi yang sama, sifat heterogen—yang terdiri atas orang dengan
berbagai tingkat pendidikan dan kedewasaan politik—menimbulkan masalah besar.
Namun, kita juga masih melihat secercah harapan. Beberapa orang telah secara
positif dipengaruhi budaya ”keterbukaan”. Mereka ini berani mengutarakan
pendapat, baik pada demonstrasi jalanan, di televisi, radio, melalui surat
kabar dan lain-lain.
Akankah Indonesia benar-benar menjadi ”Indonesia Baru”? Untuk
mewujudkan mimpi ini, rakyat Indonesia harus aktif dan konsisten dalam
”menekan” pemerintah, dan, pada saat yang sama harus mengubah sikap dan
mental mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar