Jumat, 15 Agustus 2014

Polri : Patuhi Etika

                                                  Polri : Patuhi Etika

Reza Indragiri Amriel  ;   Psikolog Forensik, Peserta Community Policing Development Program di Jepang, Penulis Buku "Polisi [Bukan] Manusia"
KORAN SINDO, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sejumlah oknum polisi Pemalang diciduk karena kedapatan melakukan pungutan liar (pungli) di Jembatan Comal.

Dengan pungli senilai rata-rata setengah juta rupiah per kendaraan, mereka biarkan kendaraan-kendaraan besar dengan tonase di atas ambang yang diperbolehkan melalui jembatan yang baru saja diperbaiki itu. Akibatnya, Jembatan Comal ambles lagi dan kembali menghadirkan ancaman bahaya bagi siapa pun yang berlalu di sana.

Itu merupakan gambaran ironis sekaligus tragis bahwa, alih-alih sebagai penegak hukum, oknum Polri dalam kasus Comal justru mempertontonkan kekejian mereka selaku pelanggar hukum. Dan unit lalu lintas (lantas) lagi-lagi menunjukkan reputasinya sebagai ”unit basah” yang disebut-sebut menjadi incaran banyak personel Polri dalam membangun karier.

Para oknum Polri di Jembatan Comal tersebut berhasil membaca kesulitan masyarakat, dan bukan mengatasinya, melainkan justru mengeksploitasinya untuk kepentingan kantong mereka sendiri. Jadi, non-sense community policing. Kasus Comal adalah contoh nyata praktik perpolisian yang memangsa, predatory policing.

Jangan salahkan publik jika kemudian sinis: kalau polisi di jembatan saja bisa diajak cincai dengan duit minimal empat ratusan ribu, sebesar apa pula mainan para komandan mereka! Apalagi, masyarakat masih belum lupa akan kasus korupsi simulator SIM sebagai salah satu bukti bahwa tindak penyalahgunaan kewenangan dan korupsi di lingkungan Polri ternyata bersifat sistemis dengan polisi berpangkat bintang sebagai otaknya.

Kepolisian merupakan organisasi yang mutlak harus berpegang pada standar etika. Etika adalah napas lembaga tersebut. Lembaga penegakan hukum yang abai terhadap etika tidak pantas untuk eksis. Prinsip seperti itu berimplikasi pada peran kepemimpinan yang seharusnya didemonstrasikan oleh para petinggi lembaga kepolisian.

Pemimpin lembaga tersebut harus menetapkan sekaligus menerapkan standar kepatuhan pada etika setinggi mungkin. Standar yang ala kadarnya (medioker) hanya akan membuka ruang bagi aparat yang nakal untuk coba-coba melakukan pelanggaran etika, lalu mengulanginya manakala tidak dipersoalkan atasan, dan kemudian ”mengedukasi” personelpersonel lainnya untuk melakukan penyimpangan serupa.

Begitu lekatnya setiap personel polisi pada etika, maka sudah sejak lama semestinya Polri menerapkan zero tolerance terhadap aksi-aksi korupsi—termasuk korupsi jalanan—oleh oknum berseragam. Sekecil apa pun uang yang mereka santap dari publik dengan cara tidak halal dan tidak sesuai kaidah organisasi, begitu terbukti, semestinya si oknum langsung dikenakan pemecatan secara tidak hormat tanpa peringatan pertama dan seterusnya.

Juga penting untuk menggenapkan sanksi bagi oknum jahat tersebut untuk— ini yang kerap diabaikan—dipidanakan. Tanpa ketegasan semacam itu, saya tidak yakin Polri akan bisa memiliki citra mantap sebagai pemecah masalah, melainkan sebagai pencipta masalah. Kasus Comal sekaligus memberikan pembenaran atas sinyalemen bahwa rusaknya infrastruktur jalan raya bukan semata-mata persoalan bagi otoritas Pekerjaan Umum.

Tidak adanya penindakan, bahkan ”pengondisian”, terhadap kendaraan-kendaraan bertonase besar saat melalui jalan yang tidak diperuntukkan baginya, boleh jadi merupakan faktor lain yang memperpendek usia jalan. Dan pengondisian seperti itu, seperti terlihat dalam aksi pungli di Jembatan Comal, berkaitan juga dengan Polri selaku lembaga yang memiliki otoritas dalam menjalankan fungsi penindakan tersebut.

Secuil pun kelakuan korup oknum polisi dipastikan akan mencederai torehan-torehan kerja positif yang telah Polri lakukan. Aksi korup oknum Tribrata berpeluang mempertinggi sikap antagonistis masyarakat terhadap polisi. Manifestasinya beragam, mulai dari enggannya masyarakat bekerja sama dengan polisi hingga serangan frontal terhadap polisi.

Ragam reaksi publik tersebut, pada gilirannya, dapat memicu polisi untuk kemudian menggunakan pendekatan kekerasan yang melampaui batas manakala berhadap-hadapan dengan masyarakat.

Tidak sebatas pola perilaku yang nyata-nyata bermusuhan, sikap antipolisi juga dapat mewujud ke dalam bentuk perilaku yang lebih ”halus”, semisal terus-menerusnya masyarakat memancing polisi untuk cincai dalam berbagai urusan. Efeknya adalah korupsi yang kian berputar-putar seperti angin puting beliung.

Penilaian Terhadap Korupsi

Beberapa waktu silam, di lingkungan Kepolisian Republik Makedonia dilakukan survei tentang reaksi para personel ketika mereka mengetahui bahwa kolega mereka melakukan korupsi. Hasil survei tersebut menggembirakan. Lebih dari delapan puluh persen responden mengaku akan menindak kolega mereka tersebut sebagaimana terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh pihak selain polisi.

Sekitar empat belas persen memilih untuk berbicara (menegur)— tanpa tindakan lain— rekan kerja yang korup tersebut. Angka-angka di atas sangat meyakinkan. Dan apabila dilakukan di Indonesia, kuat dugaan bahwa para responden di organisasi Polri pun akan memberikan respons serupa. Intinya, tak pandang bulu; tatkala sejawat berbuat jahat, tetap akan disikat. Memang begitu idealnya kerja hukum.
                                                                           
Namun, tanpa maksud pesimistis, respons seperti ditunjukkan dari hasil survei di atas kiranya sebatas pernyataan belaka. Pada kenyataannya, di dalam dunia kepolisian berlaku code of silence atau blue curtain sebagai istilah untuk menunjukkan tendensi kuat polisi melindungi polisi.

Toleransi terhadap korupsi, bersamaan dengan tuntutan untuk menjaga entitas sebagai sebuah korps, membuat personel polisi cenderung menutup-nutupi kesalahan yang diperbuat rekan kerja mereka, terlebih dari sorotan eksternal. Transparansi berupa mengekspos data-data pelanggaran etika dan pidana yang dilakukan aparat kepolisian, dikhawatirkan akan kian memperkuat sinisme khalayak luas terhadap polisi.

Itu sebabnya aksi tutup mulut bahkan resistensi terhadap pantauan pihak luar dilakukan dengan maksud ”luhur”, yaitu mempertahankan reputasi lembaga kepolisian di mata publik. Egosentrisme menjadi lebih didahulukan daripada semangat pembersihan organisasi. Solidaritas menyimpang itulah yang mengakibatkan regenerasi personel korup di organisasi kepolisian.

Keberadaan blue curtain menjadi alasan saya untuk skeptis akan efektivitas imbauan Polri agar masyarakat tidak menawarkan kongkalikong dengan personel yang tengah menjalankan aksi penegakan hukum di lapangan. Pancingan oknum masyarakat agar aparat Polri melakukan ”permufakatan busuk” adalah faktor eksternal belaka. Tanpa faktor tersebut sekalipun, di dalam tubuh Polri sendiri selama ini acap dinilai telah menumbuhsemikan blue curtain.

Jadi betapa pun hasutan oknum masyarakat itu tidak ada, ”faktor pendorong” dari internal Polri dikhawatirkan telah bergerak dengan sendirinya. Pada titik itu, adalah pemimpin instansi kepolisian yang sepantasnya diharapkan dapat memutus subkultur code of curtain. Sekali lagi, upaya memutus subkultur itu akan berhasil apabila pemimpin kepolisian membangun standar kepatuhan pada etika hingga level tertinggi.

Adakah insan Polri yang memiliki rekam jejak meyakinkan dalam penegakan etika, sehingga pantas menjadi orang nomor satu Korps Tribrata? Pada tataran optimistis, jawabannya hanya satu: Insya Allah, ada. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar