Polri
: Patuhi Etika
Reza Indragiri Amriel ;
Psikolog Forensik, Peserta
Community Policing Development Program di Jepang, Penulis Buku "Polisi
[Bukan] Manusia"
|
KORAN
SINDO, 13 Agustus 2014
Sejumlah
oknum polisi Pemalang diciduk karena kedapatan melakukan pungutan liar
(pungli) di Jembatan Comal.
Dengan
pungli senilai rata-rata setengah juta rupiah per kendaraan, mereka biarkan
kendaraan-kendaraan besar dengan tonase di atas ambang yang diperbolehkan
melalui jembatan yang baru saja diperbaiki itu. Akibatnya, Jembatan Comal
ambles lagi dan kembali menghadirkan ancaman bahaya bagi siapa pun yang
berlalu di sana.
Itu
merupakan gambaran ironis sekaligus tragis bahwa, alih-alih sebagai penegak
hukum, oknum Polri dalam kasus Comal justru mempertontonkan kekejian mereka
selaku pelanggar hukum. Dan unit lalu lintas (lantas) lagi-lagi menunjukkan
reputasinya sebagai ”unit basah” yang disebut-sebut menjadi incaran banyak
personel Polri dalam membangun karier.
Para
oknum Polri di Jembatan Comal tersebut berhasil membaca kesulitan masyarakat,
dan bukan mengatasinya, melainkan justru mengeksploitasinya untuk kepentingan
kantong mereka sendiri. Jadi, non-sense community policing. Kasus Comal
adalah contoh nyata praktik perpolisian yang memangsa, predatory policing.
Jangan
salahkan publik jika kemudian sinis: kalau polisi di jembatan saja bisa
diajak cincai dengan duit minimal empat ratusan ribu, sebesar apa pula mainan
para komandan mereka! Apalagi, masyarakat masih belum lupa akan kasus korupsi
simulator SIM sebagai salah satu bukti bahwa tindak penyalahgunaan kewenangan
dan korupsi di lingkungan Polri ternyata bersifat sistemis dengan polisi
berpangkat bintang sebagai otaknya.
Kepolisian
merupakan organisasi yang mutlak harus berpegang pada standar etika. Etika
adalah napas lembaga tersebut. Lembaga penegakan hukum yang abai terhadap
etika tidak pantas untuk eksis. Prinsip seperti itu berimplikasi pada peran
kepemimpinan yang seharusnya didemonstrasikan oleh para petinggi lembaga
kepolisian.
Pemimpin
lembaga tersebut harus menetapkan sekaligus menerapkan standar kepatuhan pada
etika setinggi mungkin. Standar yang ala kadarnya (medioker) hanya akan
membuka ruang bagi aparat yang nakal untuk coba-coba melakukan pelanggaran
etika, lalu mengulanginya manakala tidak dipersoalkan atasan, dan kemudian
”mengedukasi” personelpersonel lainnya untuk melakukan penyimpangan serupa.
Begitu
lekatnya setiap personel polisi pada etika, maka sudah sejak lama semestinya
Polri menerapkan zero tolerance
terhadap aksi-aksi korupsi—termasuk korupsi jalanan—oleh oknum berseragam.
Sekecil apa pun uang yang mereka santap dari publik dengan cara tidak halal
dan tidak sesuai kaidah organisasi, begitu terbukti, semestinya si oknum
langsung dikenakan pemecatan secara tidak hormat tanpa peringatan pertama dan
seterusnya.
Juga
penting untuk menggenapkan sanksi bagi oknum jahat tersebut untuk— ini yang
kerap diabaikan—dipidanakan. Tanpa ketegasan semacam itu, saya tidak yakin
Polri akan bisa memiliki citra mantap sebagai pemecah masalah, melainkan
sebagai pencipta masalah. Kasus Comal sekaligus memberikan pembenaran atas
sinyalemen bahwa rusaknya infrastruktur jalan raya bukan semata-mata
persoalan bagi otoritas Pekerjaan Umum.
Tidak
adanya penindakan, bahkan ”pengondisian”, terhadap kendaraan-kendaraan
bertonase besar saat melalui jalan yang tidak diperuntukkan baginya, boleh
jadi merupakan faktor lain yang memperpendek usia jalan. Dan pengondisian
seperti itu, seperti terlihat dalam aksi pungli di Jembatan Comal, berkaitan
juga dengan Polri selaku lembaga yang memiliki otoritas dalam menjalankan
fungsi penindakan tersebut.
Secuil
pun kelakuan korup oknum polisi dipastikan akan mencederai torehan-torehan
kerja positif yang telah Polri lakukan. Aksi korup oknum Tribrata berpeluang
mempertinggi sikap antagonistis masyarakat terhadap polisi. Manifestasinya
beragam, mulai dari enggannya masyarakat bekerja sama dengan polisi hingga
serangan frontal terhadap polisi.
Ragam
reaksi publik tersebut, pada gilirannya, dapat memicu polisi untuk kemudian
menggunakan pendekatan kekerasan yang melampaui batas manakala
berhadap-hadapan dengan masyarakat.
Tidak
sebatas pola perilaku yang nyata-nyata bermusuhan, sikap antipolisi juga
dapat mewujud ke dalam bentuk perilaku yang lebih ”halus”, semisal
terus-menerusnya masyarakat memancing polisi untuk cincai dalam berbagai
urusan. Efeknya adalah korupsi yang kian berputar-putar seperti angin puting
beliung.
Penilaian
Terhadap Korupsi
Beberapa
waktu silam, di lingkungan Kepolisian Republik Makedonia dilakukan survei
tentang reaksi para personel ketika mereka mengetahui bahwa kolega mereka
melakukan korupsi. Hasil survei tersebut menggembirakan. Lebih dari delapan
puluh persen responden mengaku akan menindak kolega mereka tersebut
sebagaimana terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh pihak selain
polisi.
Sekitar
empat belas persen memilih untuk berbicara (menegur)— tanpa tindakan lain—
rekan kerja yang korup tersebut. Angka-angka di atas sangat meyakinkan. Dan
apabila dilakukan di Indonesia, kuat dugaan bahwa para responden di
organisasi Polri pun akan memberikan respons serupa. Intinya, tak pandang
bulu; tatkala sejawat berbuat jahat, tetap akan disikat. Memang begitu
idealnya kerja hukum.
Namun,
tanpa maksud pesimistis, respons seperti ditunjukkan dari hasil survei di
atas kiranya sebatas pernyataan belaka. Pada kenyataannya, di dalam dunia
kepolisian berlaku code of silence
atau blue curtain sebagai istilah
untuk menunjukkan tendensi kuat polisi melindungi polisi.
Toleransi
terhadap korupsi, bersamaan dengan tuntutan untuk menjaga entitas sebagai
sebuah korps, membuat personel polisi cenderung menutup-nutupi kesalahan yang
diperbuat rekan kerja mereka, terlebih dari sorotan eksternal. Transparansi
berupa mengekspos data-data pelanggaran etika dan pidana yang dilakukan
aparat kepolisian, dikhawatirkan akan kian memperkuat sinisme khalayak luas
terhadap polisi.
Itu
sebabnya aksi tutup mulut bahkan resistensi terhadap pantauan pihak luar
dilakukan dengan maksud ”luhur”, yaitu mempertahankan reputasi lembaga
kepolisian di mata publik. Egosentrisme menjadi lebih didahulukan daripada
semangat pembersihan organisasi. Solidaritas menyimpang itulah yang
mengakibatkan regenerasi personel korup di organisasi kepolisian.
Keberadaan
blue curtain menjadi alasan saya untuk skeptis akan efektivitas imbauan Polri
agar masyarakat tidak menawarkan kongkalikong dengan personel yang tengah
menjalankan aksi penegakan hukum di lapangan. Pancingan oknum masyarakat agar
aparat Polri melakukan ”permufakatan busuk” adalah faktor eksternal belaka.
Tanpa faktor tersebut sekalipun, di dalam tubuh Polri sendiri selama ini acap
dinilai telah menumbuhsemikan blue curtain.
Jadi
betapa pun hasutan oknum masyarakat itu tidak ada, ”faktor pendorong” dari
internal Polri dikhawatirkan telah bergerak dengan sendirinya. Pada titik
itu, adalah pemimpin instansi kepolisian yang sepantasnya diharapkan dapat
memutus subkultur code of curtain. Sekali lagi, upaya memutus subkultur itu
akan berhasil apabila pemimpin kepolisian membangun standar kepatuhan pada
etika hingga level tertinggi.
Adakah
insan Polri yang memiliki rekam jejak meyakinkan dalam penegakan etika,
sehingga pantas menjadi orang nomor satu Korps Tribrata? Pada tataran
optimistis, jawabannya hanya satu: Insya
Allah, ada. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar