Komodifikasi
Pesan dalam Pilpres
Umaimah Wahid ; Dosen
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 13 Agustus 2014
Pemilihan
Umum Presiden (Pilpres) 2014 yang belum lama usai memberikan kita banyak
pengalaman. Salah satunya adalah pola komunikasi dalam kampanye.
Dalam
Pilpres 2014, isu-isu agama menjadi isu dominan yang diusung para capres dan
tim suksesnya. Isu-isu agama menjadi polemik yang keras di antara para
pendukung kedua capres, sebagai upaya untuk menarik perhatian dan
memperebutkan dukungan pemilih.
Dalam
upaya memperebutkan simpati massa atau pemilih Islam, masing-masing capres
berusaha mengubah penampilan keduanya agar tampil sedekat mungkin dengan
Islam, yaitu dengan menggunakan simbol dan atribut Islam, dan menunjukkan
gambar-gambar bahwa yang bersangkutan adalah umat yang taat. Komodifikasi
tersebut dilakukan kedua capres secara vulgar .
Kedua
capres sangat bergairah agar terlihat oleh masyarakat bahwa mereka dekat dan
bagian dari ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Keduanya melakukan safari ke pesantren dan ulama sebagai
representasi masyarakat Islam Indonesia. Bahkan, kedua kubu melakukan klaim
politik bahwa para ulama yang dipercaya dan berpengaruh ikut mendukung
mereka. Klaim tersebut kemudian menjadi perdebatan dalam proses sosialisasi
dan kampanye politik dalam Pilpres 2014 ini.
Simbol
dan atribut agama menjadi komoditas yang “diperjualbelikan” oleh capres
sesuaidengan tujuan dan target politik. Mereka tidak peduli bahwa apa yang
mereka lakukan dapat “merusak” persepsi masyarakat mengenai agama Islam. Para
politisi dan kandidat hanya berpikir apa yang dapat menguntungkan merekapada
saat itu saja.
Simboldan
atribut politik yang dimanfaatkan oleh para politisi dalam kampanye, di satu
sisi mampu mendekatkan diri mereka sekaligus membentuk persepsi dan opini
publik yang positif. Di sisi lain, penggunaan simbol dan atribut Islam justru
menciptakan persoalan baru di masyarakat. Masyarakat menilai secara sepihak
bahwa tampilan para politisi dan kandidat dalam kampanye tersebut merupakan
sesuatu yang nyata, terintegrasi dalam diri politisi dan kandidat.
Dalam
upaya mencapai realitas tersebut, para kandidat dan politisi melakukan
komodifikasi dan dibungkus dengan simbol-simbol dan atribut agama. Sehingga
mereka seolah- olah tampak “baik”, agamais dan jujur. Nyatanya telah terjadi
komodifikasi secara terencana dan masif oleh kedua belah pihak yang didukung
oleh para relawan dan pendukung masingmasing capres.
Media
kemudian menjadi bagian dari kekuatan politik yang dimanfaatkan secara
maksimal oleh capres dan timses serta didukung oleh pemilik media dalam upaya
menciptakan persepsi positif kepada khalayak dengan isu-isu yang dekat dengan
khalayak tersebut. Bahkan, media secara “sadar” melakukan manipulasi
kesadaran masyarakat dengan beragam pesan kampanye positif dan negatif, atau
bahkan apa yang disebut belakangan dengan kampanye hitam.
Capres
dan timses sangat menyadari bahwa pemanfaatan simbol agama dan atribut
sosial- budaya seperti peci, sarung, dan sorban dapat mendongkrak citra dan
penerimaan mereka oleh masyarakat. Para politisi telah berhasil menciptakan
sebuah sistem komunikasi politik yang pada dasarnya merupakan realitas
integral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat.
Mereka
melakukan konstruksi makna simbol dan atribut tersebut agar mempunyai
kekuatan dan nilai ekonomi dalam pasar politik. Inilah yang menurut Mosco
(1996 sebagai bentuk komodifikasi yaitu telah terjadi proses transformasi
barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada
nilai tukarnya di pasar. Dalam konteks itu, capres dan cawapres merupakan
sebuah komoditas yang dirancang sedemikian rupa sebagaimana produk yang
mempunyai nilai ekonomi.
Artinya
realitas yang muncul bukanlah realitas tanpa pertimbangan atau asal hadir
saja, melainkan realitas yang terencana dengan segala aspek komunikasinya
seperti komunikator, pesan, media, khalayak, efek bahkan feedback apa yang
sedang dirancang dalam proses kampanye tersebut. Hal itu dapat dijelaskan
dengan kategori komodifikasi Mosco yaitu komodifikasi isi media, komodifikasi
khalayak selaku konsumen, dan komodifikasi pekerja media.
Proses
politik membutuhkan kampanye politik. Kampanye politik harus dilakukan secara
maksimal untuk memunculkan persepsi sesuai kepentingan komunikator politik.
Atas dasar pertimbangan itulah, komodifikasi terjadi dalam proses konstruksi
konten atau isi media. Komodifikasi yang berlangsung tidak mungkin
terbantahkan karena khalayak sebagai pemilih juga menginginkan politisi yang
“memiliki kedekatan” dengan nilai-nilai sosial, budaya, ideologi bahkan agama
pemilih.
Konstruksi
makna terletak pada pikiran khalayak. Kekuatan pikiran yang berupa
persepsilah yang menciptakan pemahaman bersama mengenai suatu realitas.
Pemahaman bersama khalayak pemilih terhadap kandidat/ politisi yang
berimplikasi pada terpilihnya kandidat itulah yang kemudian dapat dijelaskan
bahwa khalayaklah yang menentukan makna bukan realitas itu sendiri.
Pemahaman
tersebut tercipta karena makna di dalam pikiran khalayak (Mulyana dan Rakhmat, 1996) atau
disebut juga dengan intentional meaning, yaitu makna yang dipersepsikan oleh
si pemakai lambang. Makna tak dapat divalidasi empiris. Makna ada pada
pikiran orang. “Words don’t mean,
people means” Khalayaklah yang menentukan seorang kandidat atau politisi
terpilih atau tidak dalam proses politik.
Upaya
agar memperoleh opini dan persepsi yang positif inilah yang mendorong secara
integral dalam setiap perilaku kampanye yang disebut oleh Vincent Mosco
dengan komodifikasi. Makna adalah milik khalayak yang tercipta dari proses
komunikasi, yaitu proses transformasi isi pesan yang diciptakan oleh pekerja
media dan disampaikan kepada khalayak sebagai target. Konten atau isi pesan
diharapkan bernilai ekonomi tinggi sehingga pasar politisi naik dan
memenangkan proses politik.
Dalam
proses tersebut, muncul upaya mendekatkan diri dengan pemahaman dan
nilai-nilai yang dekat dengan khalayak merupakan sebuah keharusan, walaupun
realitas tersebut adalah “semu” atau palsu semata. Kekuatan simbol dan nilai
agama terbukti mampu menciptakan makna yang positif di tengah khalayak
pemilih.
Menjadi
persoalan bila individu-individu yang menggunakan simbol dan atribut tersebut
hanya “komodifikasi” saja, maka muncul pemahaman yang semu, di mana politisi
digambarkan lekat dengan simbol dan atribut agama. Kondisi tersebut kerap
ditemui dalam beberapa kasus korupsi.
Politisi
tetap melakukan korupsi, manipulasi, dan kolusi yang sangat tidak koheren
dengan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam proses kampanye. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar