Lompatan
Kuantum
Anonim (Rhenald Kasali?) ; (
Tanpa Penjelasan )
|
KORAN
SINDO, 14 Agustus 2014
Kita
mengenal kaizen sebagai filosofi bisnis yang dianut raksasa automotif asal Jepang,
Toyota Motor Corp. Kaizen artinya perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi
dilakukan secara terus-menerus (continous
improvement).
Filosofi
bisnis ini terbukti ampuh. Sebab dengan filosofinya tersebut, Toyota Motor
Corporation pernah menyalip General
Motors (GM) sebagai produsen automotif terbesar di dunia. Menurut The Wall Street Journal, sepanjang
2012, Toyota mampu menjual 9,75 juta mobil, sementara GM sedikit di bawahnya,
9,29 juta.
Ketika
Korea Selatan ingin produk-produknya bisa mengalahkan Jepang di pasar dunia,
mereka tentu tak bisa kalau hanya mengandalkan filosofi bisnis atau cara-cara
kerja yang sama. Mereka harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Kata
Albert Einstein, Anda bisa gila kalau menginginkan hasil yang berbeda, tetapi
terusmenerus melakukan hal yang sama. Maka, chaebol-chaebol Korea Selatan pun
menggagas ide yang berbeda dengan keiretsu-keiretsu
Jepang, yakni lompatan kuantum (quantum
leap).
Apa
gagasan utama dari lompatan kuantum? Sebetulnya sederhana. Mereka mematok
target di depan, lalu berhitung mundur dengan menetapkan tahap-tahap apa saja
yang harus mereka lakukan untuk mencapai target tersebut. Tapi, tentu target
yang dipatok di depan bukan sekadar target yang biasa-biasa saja. Harus
ambisius. Misalnya, jika biasanya kita hanya tumbuh 5% per tahun, ke depan
target pertumbuhannya harus berlipat dua. Bahkan lipat tiga. Katakanlah
menjadi 10% atau bahkan 15%. Itu baru lompatan kuantum.
Tiga
Cara
Bagaimana
cara mencapainya? Kunci dari keberhasilan strategi lompatan kuantum ada tiga,
yakni memaksa diri, saling bersinergi, dan melakukannya secara konsisten.
Pertama, memaksa diri itu artinya begini. Kalau ada suatu proses yang pada
tahap biasa dilakukan membutuhkan waktu sampai satu minggu, entah bagaimana
caranya waktu tersebut mesti berhasil dipangkas. Misalnya menjadi tinggal
tiga hari.
Bagaimana
caranya? Entah. Tapi, intinya adalah kita harus memaksa diri untuk mencari
dan menemukan caranya. Memang sulit, tetapi kalau dicari caranya pasti akan
ketemu. Hari-hari ini saya tengah kedatangan tamu-tamu penting dari Boston,
para guru besar senior dari Babson
College yang akan memberi pelatihan mendalam untuk para dosen Podomoro University yang saya pimpin.
Pimpinan
rombongan bercerita betapa business
school (MBA) Amerika mulai kehilangan market
share karena kalah bersaing dengan sekolah-sekolah bisnis dari Eropa.
Mengapa demikian? Jawabannya karena business
school dari Eropa bisa menawarkan MBA
satu tahun saja. “Saya usulkan agar membuat master program dalam entrepreneurial leadership dan hasil
survei pasar menandaskan mereka mau ikut kalau hanya terdiri atas 42 SKS
sudah selesai.” Ini sekadar contoh saja. Lantas berhasilkah?
“Nah
itu tugasnya dekan, saya hanya memberi informasi pasar sekaligus meminta
produknya. Seminggu kemudian mereka datang dengan menawar. Bisakah menjadi 54
SKS? Saya katakan, tidak bisa, pasar maunya 42 SKS. Akhirnya mereka bekerja
lagi dan jadilah MBA baru itu.”
Bicara
soal ini, saya kerap terkagum-kagum dengan sopir saya yang piawai menemukan
jalan-jalan tikus. Kita pasti sudah sangat jenuh menghadapi kemacetan di
Jakarta. Menghadapi kondisi semacam itu, pilihannya hanya tinggal kita jalan
terus seraya terus mengutuk kemacetan tersebut. Atau kita mau berubah.
Caranya? Kita keluar dari jalan utama dan mulai mencari jalan-jalan tikus.
Memang tidak mudah. Kadang Anda harus berhadapan dengan jalan buntu. Tapi,
kalau kita tidak lelah mencari, pasti akan ketemu juga jalannya.
Jadi,
paksa diri dan temukan. Pasti ada. Mentalitas seperti ini harus ada kalau
kita mau melakukan lompatan kuantum. Kedua, upaya memangkas waktu tersebut
hanya bisa dilakukan kalau semua unit yang ada di dalam organisasi perusahaan
saling bersinergi. Jadi, setiap unit saling memberikan dukungan kepada unit
yang lain. Bahkan kalau perlu kita menanamkan sikap mental bahwa unit saya
baru dinilai berhasil kalau unit yang lain juga berhasil. Bukan kita berhasil
sendirian.
Dengan
sikap mental yang seperti itu, semua unit kemudian memberikan kontribusinya
untuk membenahi proses-proses yang ada pada setiap tahap. Bukan unit yang
satu justru menjegal unit yang lain atau sebaliknya.
Ketiga,
harus selalu ada pihak yang perannya mengingatkan secara terus-menerus. Kalau
kita ingin produk kita menjadi nomor satu, harus ada bagian dalam organisasi
di perusahaan yang selalu mengingatkan, “Hei,
kita harus menjadi nomor satu ... kita harus menjadi nomor satu!” Begitu
terus-menerus, berulang-ulang, persis seperti kaset rusak.
Konsistensi
yang seperti itu, meski kadang sangat menjemukan, harus dilakukan dan harus
ada bagian yang ditunjuk untuk melakukannya. Jangan mengandalkan kesediaan
bagian lain untuk melakukannya secara sukarela (voluntary).
Dengan
tiga cara tersebut, kini kita semua bisa menyaksikan hasil dari lompatan kuantum
yang dilakukan Korea Selatan. Produk-produk elektronik mereka, seperti
Samsung, kini mulai meninggalkan Sony. Bahkan smartphone Samsung terus
mengimbangi iPhone dari Apple. Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman
Samsung?
Semuanya
Butuh Waktu
Saya
selalu sebal kalau membaca atau mendengar iklan yang menawarkan iming-iming, “Cara cepat menjadi kaya ... cara cepat
menjadi miliarder ... dan sebagainya.” Mereka seakanakan ingin mengatakan
bahwa keberhasilan bisa kita raih secara instan. Omong kosong! Keberhasilan
selalu bisa kita raih kalau kita mau bekerja keras dan bekerja cerdas. Bukan
dengan cara-cara instan .
Orang-orang
Jepang terkenal dengan kemampuan engineering-nya. Mereka mampu bekerja dengan
sangat detail dan cermat. Tapi, tahukah Anda bagaimana caranya sehingga
mereka bisa membentuk SDMSDM yang seperti itu? Anda tahu origami, seni melipat kertas menjadi berbagai macam mainan sampai
hiasan yang indah.
Sejak
kecil, di sekolah-sekolah, anak-anak Jepang itu diajari tentang bagaimana
caranya membuat origami. Itulah pelajaran pertama yang membangkitkan
kemampuan rancang bangun dari anak-anak Jepang. Setelah bertambahnya usia,
anak-anak itu tumbuh, siap ditempa untuk menjadi engineer-engineer yang andal
seraya sekaligus memiliki cita rasa akan keindahan. Jadi, mereka menempa
SDM-nya sejak dini.
Keterampilan
dan pengetahuan yang mereka miliki bukan hanya tertanam di dalam otak, tetapi
juga dalam memori yang ada di syaraf dan otot. Saya menyebut ini dengan
istilah myelin atau muscle memory . Membangun SDM yang seperti itu tidak bisa
dilakukan dengan cara-cara yang terburuburu, yang maunya serbacepat.
Cara-cara seperti itu hanya akan melahirkan mentalitas main terabas.
Padahal,
dalam dunia bisnis kita juga harus taat aturan. Analogi yang sama juga bisa kita
gunakan dalam membangun brand. Dari
sejumlah brand favorit pilihan
pembaca dari hasil survei Litbang KORAN SINDO, saya tak melihat ada di antara
mereka yang dibentuk secara instan . Semuanya merek lama yang sudah
bertahun-tahun kita rasakan kehadirannya termasuk jatuh bangunnya.
Dan,
hampir semua brand itu sempat
mengalami krisis. BCA pernah terkena isu rush. Beberapa produk Toyota sempat
harus ditarik dari pasar. Nokia harus menghadapi gempuran BlackBerry dan
berbagai gadget yang berbasis android. Dan sebagainya. Mereka melakukan
kesalahan, terpukul, tetapi mampu bangkit kembali.
Benar
kata Daniel Coyle, “One you makes
mistakes, it makes you smarter.” Jadi, jangan malah mundur kalau Anda
melakukan kesalahan. Sebab, kalau mundur, berarti Anda membuang pengalaman
yang mestinya membuat Anda bertambah pintar. Sayang bukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar