Jumat, 15 Agustus 2014

Lompatan Kuantum

                                                 Lompatan Kuantum

Anonim  (Rhenald Kasali?) ;   ( Tanpa Penjelasan )
KORAN SINDO, 14 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Kita mengenal kaizen sebagai filosofi bisnis yang dianut raksasa automotif asal Jepang, Toyota Motor Corp. Kaizen artinya perbaikan sedikit demi sedikit, tetapi dilakukan secara terus-menerus (continous improvement).

Filosofi bisnis ini terbukti ampuh. Sebab dengan filosofinya tersebut, Toyota Motor Corporation pernah menyalip General Motors (GM) sebagai produsen automotif terbesar di dunia. Menurut The Wall Street Journal, sepanjang 2012, Toyota mampu menjual 9,75 juta mobil, sementara GM sedikit di bawahnya, 9,29 juta.

Ketika Korea Selatan ingin produk-produknya bisa mengalahkan Jepang di pasar dunia, mereka tentu tak bisa kalau hanya mengandalkan filosofi bisnis atau cara-cara kerja yang sama. Mereka harus melakukannya dengan cara yang berbeda. Kata Albert Einstein, Anda bisa gila kalau menginginkan hasil yang berbeda, tetapi terusmenerus melakukan hal yang sama. Maka, chaebol-chaebol Korea Selatan pun menggagas ide yang berbeda dengan keiretsu-keiretsu Jepang, yakni lompatan kuantum (quantum leap).

Apa gagasan utama dari lompatan kuantum? Sebetulnya sederhana. Mereka mematok target di depan, lalu berhitung mundur dengan menetapkan tahap-tahap apa saja yang harus mereka lakukan untuk mencapai target tersebut. Tapi, tentu target yang dipatok di depan bukan sekadar target yang biasa-biasa saja. Harus ambisius. Misalnya, jika biasanya kita hanya tumbuh 5% per tahun, ke depan target pertumbuhannya harus berlipat dua. Bahkan lipat tiga. Katakanlah menjadi 10% atau bahkan 15%. Itu baru lompatan kuantum.

Tiga Cara

Bagaimana cara mencapainya? Kunci dari keberhasilan strategi lompatan kuantum ada tiga, yakni memaksa diri, saling bersinergi, dan melakukannya secara konsisten. Pertama, memaksa diri itu artinya begini. Kalau ada suatu proses yang pada tahap biasa dilakukan membutuhkan waktu sampai satu minggu, entah bagaimana caranya waktu tersebut mesti berhasil dipangkas. Misalnya menjadi tinggal tiga hari.

Bagaimana caranya? Entah. Tapi, intinya adalah kita harus memaksa diri untuk mencari dan menemukan caranya. Memang sulit, tetapi kalau dicari caranya pasti akan ketemu. Hari-hari ini saya tengah kedatangan tamu-tamu penting dari Boston, para guru besar senior dari Babson College yang akan memberi pelatihan mendalam untuk para dosen Podomoro University yang saya pimpin.

Pimpinan rombongan bercerita betapa business school (MBA) Amerika mulai kehilangan market share karena kalah bersaing dengan sekolah-sekolah bisnis dari Eropa. Mengapa demikian? Jawabannya karena business school dari Eropa bisa menawarkan MBA satu tahun saja. “Saya usulkan agar membuat master program dalam entrepreneurial leadership dan hasil survei pasar menandaskan mereka mau ikut kalau hanya terdiri atas 42 SKS sudah selesai.” Ini sekadar contoh saja. Lantas berhasilkah?

“Nah itu tugasnya dekan, saya hanya memberi informasi pasar sekaligus meminta produknya. Seminggu kemudian mereka datang dengan menawar. Bisakah menjadi 54 SKS? Saya katakan, tidak bisa, pasar maunya 42 SKS. Akhirnya mereka bekerja lagi dan jadilah MBA baru itu.”

Bicara soal ini, saya kerap terkagum-kagum dengan sopir saya yang piawai menemukan jalan-jalan tikus. Kita pasti sudah sangat jenuh menghadapi kemacetan di Jakarta. Menghadapi kondisi semacam itu, pilihannya hanya tinggal kita jalan terus seraya terus mengutuk kemacetan tersebut. Atau kita mau berubah. Caranya? Kita keluar dari jalan utama dan mulai mencari jalan-jalan tikus. Memang tidak mudah. Kadang Anda harus berhadapan dengan jalan buntu. Tapi, kalau kita tidak lelah mencari, pasti akan ketemu juga jalannya.

Jadi, paksa diri dan temukan. Pasti ada. Mentalitas seperti ini harus ada kalau kita mau melakukan lompatan kuantum. Kedua, upaya memangkas waktu tersebut hanya bisa dilakukan kalau semua unit yang ada di dalam organisasi perusahaan saling bersinergi. Jadi, setiap unit saling memberikan dukungan kepada unit yang lain. Bahkan kalau perlu kita menanamkan sikap mental bahwa unit saya baru dinilai berhasil kalau unit yang lain juga berhasil. Bukan kita berhasil sendirian.

Dengan sikap mental yang seperti itu, semua unit kemudian memberikan kontribusinya untuk membenahi proses-proses yang ada pada setiap tahap. Bukan unit yang satu justru menjegal unit yang lain atau sebaliknya.

Ketiga, harus selalu ada pihak yang perannya mengingatkan secara terus-menerus. Kalau kita ingin produk kita menjadi nomor satu, harus ada bagian dalam organisasi di perusahaan yang selalu mengingatkan, “Hei, kita harus menjadi nomor satu ... kita harus menjadi nomor satu!” Begitu terus-menerus, berulang-ulang, persis seperti kaset rusak.

Konsistensi yang seperti itu, meski kadang sangat menjemukan, harus dilakukan dan harus ada bagian yang ditunjuk untuk melakukannya. Jangan mengandalkan kesediaan bagian lain untuk melakukannya secara sukarela (voluntary).

Dengan tiga cara tersebut, kini kita semua bisa menyaksikan hasil dari lompatan kuantum yang dilakukan Korea Selatan. Produk-produk elektronik mereka, seperti Samsung, kini mulai meninggalkan Sony. Bahkan smartphone Samsung terus mengimbangi iPhone dari Apple. Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman Samsung?

Semuanya Butuh Waktu

Saya selalu sebal kalau membaca atau mendengar iklan yang menawarkan iming-iming, “Cara cepat menjadi kaya ... cara cepat menjadi miliarder ... dan sebagainya.” Mereka seakanakan ingin mengatakan bahwa keberhasilan bisa kita raih secara instan. Omong kosong! Keberhasilan selalu bisa kita raih kalau kita mau bekerja keras dan bekerja cerdas. Bukan dengan cara-cara instan .

Orang-orang Jepang terkenal dengan kemampuan engineering-nya. Mereka mampu bekerja dengan sangat detail dan cermat. Tapi, tahukah Anda bagaimana caranya sehingga mereka bisa membentuk SDMSDM yang seperti itu? Anda tahu origami, seni melipat kertas menjadi berbagai macam mainan sampai hiasan yang indah.

Sejak kecil, di sekolah-sekolah, anak-anak Jepang itu diajari tentang bagaimana caranya membuat origami. Itulah pelajaran pertama yang membangkitkan kemampuan rancang bangun dari anak-anak Jepang. Setelah bertambahnya usia, anak-anak itu tumbuh, siap ditempa untuk menjadi engineer-engineer yang andal seraya sekaligus memiliki cita rasa akan keindahan. Jadi, mereka menempa SDM-nya sejak dini.

Keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki bukan hanya tertanam di dalam otak, tetapi juga dalam memori yang ada di syaraf dan otot. Saya menyebut ini dengan istilah myelin atau muscle memory . Membangun SDM yang seperti itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang terburuburu, yang maunya serbacepat. Cara-cara seperti itu hanya akan melahirkan mentalitas main terabas.

Padahal, dalam dunia bisnis kita juga harus taat aturan. Analogi yang sama juga bisa kita gunakan dalam membangun brand. Dari sejumlah brand favorit pilihan pembaca dari hasil survei Litbang KORAN SINDO, saya tak melihat ada di antara mereka yang dibentuk secara instan . Semuanya merek lama yang sudah bertahun-tahun kita rasakan kehadirannya termasuk jatuh bangunnya.

Dan, hampir semua brand itu sempat mengalami krisis. BCA pernah terkena isu rush. Beberapa produk Toyota sempat harus ditarik dari pasar. Nokia harus menghadapi gempuran BlackBerry dan berbagai gadget yang berbasis android. Dan sebagainya. Mereka melakukan kesalahan, terpukul, tetapi mampu bangkit kembali.

Benar kata Daniel Coyle, “One you makes mistakes, it makes you smarter.” Jadi, jangan malah mundur kalau Anda melakukan kesalahan. Sebab, kalau mundur, berarti Anda membuang pengalaman yang mestinya membuat Anda bertambah pintar. Sayang bukan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar