Rabu, 20 Agustus 2014

Pesan dari Kematian Robin Williams

                        Pesan dari Kematian Robin Williams

Endang Suarini  ;   Pemerhati Kesehatan Masyarakat, @endangsuarini
JAWA POS, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DUNIA baru saja dikejutkan oleh kematian aktor Robin Williams dalam usia 63 tahun. Cara meninggal komedian yang dikenal lewat film Good Morning Vietnam, Mrs Doubtfire, dan serial televisi Mork and Mindy itu sungguh mengejutkan. Bayangkan, dia mencekik lehernya dengan sabuk (Jawa Pos, 12 dan 13 Agustus 2014).

Robin memang terkena gangguan kejiwaan yang disebut depresi sekaligus parkinson. Hingga kini kematiannya terus memicu polemik bagaimana kita menghadapi masalah kesehatan jiwa.

Jiwa manusia sejak lama menjadi persoalan. Pada era Yunani kuno, ada keyakinan yang memiliki jiwa adalah pria saja. Sementara itu, di zaman perbudakan pada abad ke-17 dan 18, orang kulit putih yang rasis memandang orang hitam, baik laki-laki maupun perempuan, tidak memiliki jiwa sebagaimana binatang. Jelas tidak mudah menjelaskan apa yang disebut jiwa. Hanya secara negatif kita memahami bahwa jiwa adalah sisi nonfisik manusia atau apa yang bersifat psikis atau rohani.

Manusia adalah makhluk jasmani sekaligus rohani. Sayang, terkait dengan kesehatan, kerap kita hanya memprioritaskan kesehatan fisik dan meremehkan kesehatan jiwa. Padahal, baik jasmani maupun rohani seharusnya mendapat perhatian yang sama. Bukankah kita ingin selalu sehat jiwa dan raga?

Penekanan berlebihan pada kesehatan fisik membuat kesehatan jiwa terabaikan, termasuk di negeri ini. Padahal, menurut perkiraan WHO, lebih dari 30 juta atau 12–15 persen dari 250 juta penduduk Indonesia terkena gangguan jiwa. Konyolnya, hanya ada sekitar 600 psikiater. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, diharapkan peran para psikolog, konselor, atau rohaniwan. Paling tidak mereka bisa memberikan pertolongan pertama sebelum penderita gangguan jiwa ditangani psikiater.

Memang definisi gangguan jiwa sendiri termasuk rumit. Dalam klasifikasi yang dipakai di Indonesia, yakni Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, terdapat lebih dari seratus penyakit karena gangguan jiwa. Klasifikasi atau penggolongan itu penting, mengingat tiap jenis gangguan jiwa memiliki solusi medis (pengobatan) sendiri.

Biasanya kita cenderung menyederhanakan semua gangguan jiwa sebagai ’’gila’’. Sebutan demikian jelas menimbulkan stigma berat bagi penderita, termasuk keluarganya. Tidak heran jika kemudian ada cukup banyak penderita diperlakukan tidak manusiawi seperti dipasung. Ada yang dikerangkeng seperti hewan atau diikat badannya pada sebuah pohon. Sangat memprihatinkan! Di Pacitan, daerah asal Presiden SBY, misalnya. Cukup banyak kasus orang dipasung.

Mereka dipasung karena pandangan yang salah. Seolah penderita gangguan jiwa bukan manusia lagi. Kalau toh disebut manusia, mereka dicap sebagai manusia berbahaya dan tak berperasaan. Sungguh ada pelecehan martabat manusia. Jelas hal demikian kian memperburuk keadaan. Padahal, penderita gangguan jiwa sesungguhnya tengah sakit dan membutuhkan bantuan.

Sebagaimana penyakit fisik bisa menimpa siapa pun, demikian pula dengan gangguan jiwa. Ada cukup banyak faktor pemicu gangguan jiwa seperti persaingan hidup yang kejam, bencana alam, perceraian, kemiskinan, atau krisis ekonomi. ’’Great Depression’’ di Amerika Serikat pada 1929 sampai awal 1940-an banyak memicu gangguan jiwa. Dalam novel The Grapes of Wrath karya John Ernst Steinbeck (1939), kita bisa melihat kegetiran mereka yang mengidap gangguan jiwa.

Meski kemiskinan disebut pemicu utama gangguan jiwa, tidak berarti semua orang kaya bisa bebas dari gangguan jiwa. Buktinya, dalam krisis keuangan global beberapa tahun silam, ada banyak kasus orang kaya yang bunuh diri karena mengetahui sebagian kekayaannya telah musnah.

Lagi pula, ada cukup banyak orang kaya di kota-kota besar yang mengidap salah satu jenis gangguan jiwa. Kekayaan tidak menjadi jaminan orang bisa kebal dari gangguan jiwa. Sosok setenar dan sekaya Oscar De La Hoya pun bisa depresi, bahkan beberapa kali mencoba bunuh diri. Orang yang punya banyak rumah atau mobil mewah dan penghasilan selangit bisa juga terkena insomnia (gangguan tidur), depresi, atau stres berat.

Upaya medis atau pengobatan untuk mengatasi gangguan jiwa memang merupakan solusi logis. Bahkan, penyembuhan skizofrenia yang dahulu dianggap mustahil kini bisa dilakukan dengan operasi ’’psychosurgery’’ berupa operasi bedah saraf.

Maka, mereka yang mendapati dirinya memerlukan bantuan psikolog, psikiater, konselor, atau rohaniwan bukanlah orang gila yang harus kita jauhi. Mereka adalah korban, mereka tengah sakit, dan mereka perlu perhatian serta dukungan orang-orang terdekat, khususnya keluarga.

Pihak keluarga yang memberikan dukungan kepada salah seorang anggotanya yang terkena gangguan jiwa jelas akan memberikan pengaruh positif. Sementara itu, keluarga yang tidak memberikan dukungan sama sekali, tapi malah memasung dan mengasingkan keluarganya yang terkena gangguan jiwa, justru semakin memperparah dan memperpanjang penderitaan.

Padahal, sudah terbukti bahwa konseling (bimbingan) secara intens atau pengobatan medis modern bisa meringankan, bahkan menyembuhkan. Tidak jarang, berkat dukungan keluarga, beban pasien gangguan jiwa bisa diringankan dan bahkan disembuhkan sehingga akhirnya menjadi pribadi yang bermakna, bahkan berprestasi. Jadi, bila ada yang terkena gangguan jiwa, segenap keluarga harus memberikan dukungan untuk pengobatan atau penyembuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar