Pesan
dari Kematian Robin Williams
Endang Suarini ; Pemerhati Kesehatan Masyarakat, @endangsuarini
|
JAWA
POS, 20 Agustus 2014
DUNIA
baru saja dikejutkan oleh kematian aktor Robin Williams dalam usia 63 tahun.
Cara meninggal komedian yang dikenal lewat film Good Morning Vietnam, Mrs Doubtfire, dan serial televisi Mork and Mindy itu sungguh
mengejutkan. Bayangkan, dia mencekik lehernya dengan sabuk (Jawa Pos, 12 dan 13 Agustus 2014).
Robin
memang terkena gangguan kejiwaan yang disebut depresi sekaligus parkinson.
Hingga kini kematiannya terus memicu polemik bagaimana kita menghadapi
masalah kesehatan jiwa.
Jiwa
manusia sejak lama menjadi persoalan. Pada era Yunani kuno, ada keyakinan
yang memiliki jiwa adalah pria saja. Sementara itu, di zaman perbudakan pada
abad ke-17 dan 18, orang kulit putih yang rasis memandang orang hitam, baik
laki-laki maupun perempuan, tidak memiliki jiwa sebagaimana binatang. Jelas
tidak mudah menjelaskan apa yang disebut jiwa. Hanya secara negatif kita
memahami bahwa jiwa adalah sisi nonfisik manusia atau apa yang bersifat
psikis atau rohani.
Manusia
adalah makhluk jasmani sekaligus rohani. Sayang, terkait dengan kesehatan,
kerap kita hanya memprioritaskan kesehatan fisik dan meremehkan kesehatan
jiwa. Padahal, baik jasmani maupun rohani seharusnya mendapat perhatian yang
sama. Bukankah kita ingin selalu sehat jiwa dan raga?
Penekanan
berlebihan pada kesehatan fisik membuat kesehatan jiwa terabaikan, termasuk
di negeri ini. Padahal, menurut perkiraan WHO, lebih dari 30 juta atau 12–15
persen dari 250 juta penduduk Indonesia terkena gangguan jiwa. Konyolnya,
hanya ada sekitar 600 psikiater. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia,
diharapkan peran para psikolog, konselor, atau rohaniwan. Paling tidak mereka
bisa memberikan pertolongan pertama sebelum penderita gangguan jiwa ditangani
psikiater.
Memang
definisi gangguan jiwa sendiri termasuk rumit. Dalam klasifikasi yang dipakai
di Indonesia, yakni Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa, terdapat
lebih dari seratus penyakit karena gangguan jiwa. Klasifikasi atau
penggolongan itu penting, mengingat tiap jenis gangguan jiwa memiliki solusi
medis (pengobatan) sendiri.
Biasanya
kita cenderung menyederhanakan semua gangguan jiwa sebagai ’’gila’’. Sebutan
demikian jelas menimbulkan stigma berat bagi penderita, termasuk keluarganya.
Tidak heran jika kemudian ada cukup banyak penderita diperlakukan tidak manusiawi
seperti dipasung. Ada yang dikerangkeng seperti hewan atau diikat badannya
pada sebuah pohon. Sangat memprihatinkan! Di Pacitan, daerah asal Presiden
SBY, misalnya. Cukup banyak kasus orang dipasung.
Mereka
dipasung karena pandangan yang salah. Seolah penderita gangguan jiwa bukan
manusia lagi. Kalau toh disebut manusia, mereka dicap sebagai manusia
berbahaya dan tak berperasaan. Sungguh ada pelecehan martabat manusia. Jelas
hal demikian kian memperburuk keadaan. Padahal, penderita gangguan jiwa sesungguhnya
tengah sakit dan membutuhkan bantuan.
Sebagaimana
penyakit fisik bisa menimpa siapa pun, demikian pula dengan gangguan jiwa.
Ada cukup banyak faktor pemicu gangguan jiwa seperti persaingan hidup yang
kejam, bencana alam, perceraian, kemiskinan, atau krisis ekonomi. ’’Great Depression’’ di Amerika
Serikat pada 1929 sampai awal 1940-an banyak memicu gangguan jiwa. Dalam
novel The Grapes of Wrath karya
John Ernst Steinbeck (1939), kita bisa melihat kegetiran mereka yang mengidap
gangguan jiwa.
Meski
kemiskinan disebut pemicu utama gangguan jiwa, tidak berarti semua orang kaya
bisa bebas dari gangguan jiwa. Buktinya, dalam krisis keuangan global
beberapa tahun silam, ada banyak kasus orang kaya yang bunuh diri karena
mengetahui sebagian kekayaannya telah musnah.
Lagi
pula, ada cukup banyak orang kaya di kota-kota besar yang mengidap salah satu
jenis gangguan jiwa. Kekayaan tidak menjadi jaminan orang bisa kebal dari
gangguan jiwa. Sosok setenar dan sekaya Oscar De La Hoya pun bisa depresi,
bahkan beberapa kali mencoba bunuh diri. Orang yang punya banyak rumah atau
mobil mewah dan penghasilan selangit bisa juga terkena insomnia (gangguan
tidur), depresi, atau stres berat.
Upaya
medis atau pengobatan untuk mengatasi gangguan jiwa memang merupakan solusi
logis. Bahkan, penyembuhan skizofrenia
yang dahulu dianggap mustahil kini bisa dilakukan dengan operasi ’’psychosurgery’’ berupa operasi bedah
saraf.
Maka,
mereka yang mendapati dirinya memerlukan bantuan psikolog, psikiater,
konselor, atau rohaniwan bukanlah orang gila yang harus kita jauhi. Mereka
adalah korban, mereka tengah sakit, dan mereka perlu perhatian serta dukungan
orang-orang terdekat, khususnya keluarga.
Pihak
keluarga yang memberikan dukungan kepada salah seorang anggotanya yang
terkena gangguan jiwa jelas akan memberikan pengaruh positif. Sementara itu,
keluarga yang tidak memberikan dukungan sama sekali, tapi malah memasung dan
mengasingkan keluarganya yang terkena gangguan jiwa, justru semakin
memperparah dan memperpanjang penderitaan.
Padahal,
sudah terbukti bahwa konseling (bimbingan) secara intens atau pengobatan
medis modern bisa meringankan, bahkan menyembuhkan. Tidak jarang, berkat
dukungan keluarga, beban pasien gangguan jiwa bisa diringankan dan bahkan
disembuhkan sehingga akhirnya menjadi pribadi yang bermakna, bahkan
berprestasi. Jadi, bila ada yang terkena gangguan jiwa, segenap keluarga
harus memberikan dukungan untuk pengobatan atau penyembuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar