Karen
dan Kemandirian Pertamina
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Etika Bisnis
Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 20 Agustus 2014
PENGUNDURAN
diri Karen Agustiawan dari jabatan direktur utama (Dirut) PT Pertamina
(Persero) mengejutkan publik. Karen yang sudah 6,5 tahun memimpin perusahaan
minyak dan gas itu mengajukan pengunduran langsung ke Menteri BUMN Dahlan
Iskan (18/8). Karen resmi mundur dari Pertamina per 1 Oktober 2014. Publik
tentu bertanya, apakah betul pengunduran Karen dilatarbelakangi keinginan
untuk fokus mengurus keluarga dan mengajar di Universitas Harvard, Boston,
Amerika Serikat?
Sulit
diterima nalar profesional apabila Dirut BUMN sekaliber Karen mundur di
tengah jalan hanya dengan alasan pribadi. Perlu diingat, Karen pernah
terpilih sebagai perempuan paling berpengaruh keenam di dunia versi majalah
Fortune (2013). Karen merupakan CEO perempuan pertama yang berhasil mengantarkan
Pertamina masuk dalam jajaran perusahaan global terbaik yang dirilis Fortune
(12/7/2013). Waktu itu Pertamina berhasil menempati urutan ke-122 dari 500
perusahaan terbesar dunia. Sebelumnya, pada 2012 Pertamina berhasil mencetak
pendapatan USD 70,9 miliar dengan laba USD 2,8 miliar.
Anehnya,
pengunduran Karen justru terjadi pada saat pemerintah dan Pertamina tak
sejalan soal harga liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji 12 kg.
Pemerintah tidak ingin harga elpiji naik, sedangkan Pertamina ingin
sebaliknya demi menekan kerugian korporasi. Menteri Koordinator (Menko)
Perekonomian Chairul Tanjung (CT) sudah mengingatkan Pertamina agar tidak
semena-mena dalam menaikkan harga elpiji 12 kg meskipun elpiji tidak termasuk
barang yang disubsidi pemerintah (Kompas
Online, 13/8).
Menurut
CT, menaikkan harga elpiji harus melalui proses koordinasi yang dipimpin
Menko. Dan hasil koordinasi tersebut masih harus dibawa ke sidang kabinet
terbatas. Atas dasar itu, CT mengatakan bahwa harga elpiji belum tentu naik
pada pertengahan Agustus 2014 sebagaimana direncanakan Pertamina. Menurut
dia, meskipun kenaikan elpiji 12 kg tergolong aksi korporasi, Pertamina
sebaiknya mau berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah.
Sementara
itu, pihak Pertamina menganggap rencana kenaikan harga elpiji 12 kg sudah
sesuai dengan road map enam bulan
sekali, mulai awal tahun ini hingga 2016. Kenaikan harga tersebut tidak perlu
meminta persetujuan pemerintah karena nonsubsidi. Kewajiban Pertamina ialah
melaporkan kenaikan itu sesuai dengan aturan di Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). Jika harga elpiji tidak naik, Pertamina bakal terus
merugi. Pada semester pertama tahun ini saja Pertamina mengaku telah rugi Rp
2,81 triliun akibat harga elpiji nonsubsidi yang lebih rendah daripada harga
pasar.
Perusahaan
Negara atau Persero?
Mundurnya
Karen bisa ditafsirkan publik sebagai reaksi atas ketidakjelasan posisi
Pertamina dalam aksi-aksi korporasi, termasuk dalam menentukan harga elpiji
12 kg. Padahal, pemerintah telah menjadikan Pertamina perusahaan persero
berupa perseroan terbatas (PT). Konsekuensinya, manajemen Pertamina tidak
boleh lagi diintervensi pemerintah meskipun pemerintah bertindak sebagai
pemilik saham mayoritas.
Pertamina
sebagai badan hukum PT wajib tunduk pada aturan main dalam UU Nomor 40 Tahun
2007 tentang PT, yang menekankan pada kemandirian manajemen. Dengan begitu,
BUMN yang sudah berbadan hukum PT sudah otomatis mengejar profit yang nanti
dipertanggungjawabkan di hadapan rapat umum pemegang saham (RUPS). Jadi,
selama manajemen melakukan aksi korporasi secara profesional, pemegang saham
tidak boleh mengintervensi.
Hal
itu sesuai dengan prinsip-prinsip good
corporate governance (GCG) berupa transparency,
accountability, responsibility, independency, dan fairness. Dewan direksi PT Pertamina merupakan kepercayaan RUPS
untuk menjalankan perusahaan secara mandiri, bukan lagi menjalankan kebijakan
politik pemerintah. Semangat itulah yang terus dibangun Dahlan Iskan dalam
memajukan BUMN. Nah, dalam kemandirian inilah dewan direksi tidak mau
perusahaan yang dikelolanya merugi di hadapan RUPS. Sebagai kaum profesional,
Karen dan jajarannya tentu ingin Pertamina untung dan mendapat pengakuan dari
RUPS.
Untuk
itulah, Pertamina seharusnya bebas dalam menentukan harga produk nonsubsidi
tersebut. Pemerintah harus menempatkan Pertamina secara konsisten. Jangan
menaruh Pertamina di area abu-abu (grey
area). Pertamina sebagai perusahaan persero tidak bisa dikelola dengan
dua karakter sekaligus (manajemen publik dan ala swasta). Kedudukan Pertamina
yang wajib dipertegas pemerintah adalah: apakah Pertamina bakal dijadikan
mirip perusahaan negara atau diperlakukan sebagai badan hukum mandiri
berbentuk PT?
Perlu
diingat, makna ”terbatas” dalam PT adalah tanggung jawab pemegang saham
terbatas pada sahamnya di korporasi itu. Artinya, pemegang saham tidak boleh
masuk ke dalam manajemen korporasi. Selain itu, fungsi dan wewenang manajemen
terbatas pada pengelolaan usaha, aset, dan saham korporasi, bukan mengurusi
atau dipusingkan dengan kebijakan negara.
Sayangnya,
1 Januari lalu Pertamina sempat dicerca elite politik karena secara mandiri
menaikkan harga elpiji 12 kg menjadi Rp 117.708 untuk mengatasi kerugian korporasi
sekitar Rp 7 triliun (berdasar temuan BPK). Kemandirian Pertamina ternyata
wajib memperhatikan kebijakan pemerintah dan melihat reaksi publik yang tak
setuju kenaikan harga elpiji tersebut. Jika Pertamina harus berkoordinasi
dengan pemerintah dalam menaikkan harga elpiji nonsubsidi, langkah itu sudah
tidak patut dianggap sebagai aksi korporasi.
Berbeda
halnya jika Pertamina dikembalikan seperti dulu, yaitu perusahaan negara.
Artinya, pemerintah berperan besar dalam manajemen Pertamina, termasuk penetapan
harga produk. Pertamina tidak lagi menjalankan bisnis untuk laba, tetapi
menyelaraskan operasinya dengan kebijakan politik dan program sosial
pemerintah. Jika ini yang diterapkan, budaya Pertamina bakal kembali mundur
jauh ke manajemen tertutup dan cenderung korup. Sebenarnya, kita hanya butuh
keberanian pemerintah untuk mengatasi sekaligus menerima segala risiko (citra
buruk) ketika Pertamina terpaksa menaikkan harga produknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar