Ideologi
Pembangunan
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe),
Ketua Dewan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
|
KORAN
SINDO, 20 Agustus 2014
Para
pendiri bangsa sebenarnya telah sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi
terbaik bagi bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku dan agama serta
sumber daya berlimpah dalam upaya menuju sebuah masyarakat yang adil dan
makmur.
Sayangnya,
setelah menapaki hampir tujuh dekade kemerdekaan, Pancasila sering menjadi
sekadar bahan hafalan ujian para murid atau calon pejabat yang mengikuti fit
and proper test, untuk kemudian dilupakan. Lebih dari itu, Pancasila sebagai
ideologi memerlukan teori dan praksis dalam implementasi nilai-nilainya.
Sayangnya,
sebagai kecenderungan global, pragmatisme telah ikut mempengaruhi negeri ini.
Berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat dan Timur, dua orientasi
utama pembangunan yang berangkat dari teori modernisasi dan dependensia,
seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi.
Krisis
Ideologi Pembangunan
Paling
tidak terdapat empat penyebab krisis ideologi pembangunan. Pertama, sebagai
teori, baik modernisasi maupun dependensia, kita tidak merasa perlu
menganalisis diferensiasi dalam istilah “negara berkembang”. Kedua, meskipun
beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi menanjaknya Korea Selatan empat
dekade terakhir menjadi sebuah negara yang mampu bersaing dengan
negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat diterangkan dengan
berbagai teori yang ada.
Menurut
teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke dalam pasar dunia, hanya
akan “memicu keterbelakangan”.
Ternyata, meski ditandai oleh berbagai hal negatif seperti relatif rendahnya
gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal
perkem-bangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan
signifikan. Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan oleh teori
modernisasi, yang pada awalnya menyebut “etika
Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu setelah mengamati
keberhasilan beberapa negara Asia Timur berbalik menyebut etika tersebut
sebagai prasyarat keberhasilan.
Hal
yang sama terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik, yang awalnya
mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi
pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat
percepatan pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab
ketiga dari krisis teori pembangunan. Untuk waktu yang sangat lama, semua
sepakat tentang tujuan mengejar ketertinggalan dalam proses industrialisasi.
Perdebatan hanya tentang “jalan yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu
antara paham sosialisme dalam tradisi Marx dengan paham neoklasik menurut
Adam Smith.
Berbagai
tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas tentang keterbatasan model
pembangunan industrial dan upaya mencontohnya oleh semua negara di muka bumi.
Penyebab keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan
model berbagai teori pembangunan tersebut di atas. Pada sisi teori, berbagai
perkembangan tersebut telah menyebabkan melemahnya aspek dogmatik yang
tadinya mewarnai perdebatan sepanjang 1970-an.
Saat
ini, selain para ekonom neoklasik dengan kepercayaan buta kepada pasar yang
diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada seorang pun yang mengaku
memegang kebenaran mutlak. Kompleksitas (under
development) hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri
sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh
berbagai faktor lokal. Studi dengan pendekatan pluralisme teori yang kini
mulai banyak dipraktikkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan
riil tentang sebuah situasi atau tentang sebuah kelompok masyarakat.
Selain
itu, setelah cukup lama terjebak dalam pemikiran murni-ekonomi, muncul
perdebatan tentang ekologi dan kesetaraan gender dalam teori pembangunan.
Setelah KTT Lingkungan pertama di Rio de Janeiro, tuntutan yang mengemuka
adalah restrukturisasi radikal masyarakat industrial. Tuntutan yang kini
semakin melunak dengan lebih banyak berupa pertanyaan tentang cara
menjinakkan kapitalisme agar tidak terlalu merusak pembangunan “berkelanjutan”.
Pembangunan
Mandiri
Emoh
teori dan pluralisme teori saat ini mengandung bahaya bahwa semua yang berbau
ideologi ditinggalkan, sehingga tidak memiliki acuan dan terombang-ambing
dalam pusaran windofchange usai Perang
Dingin, ketika angin yang berembus berasal dari arah neoliberal. Padahal,
meski harus diakui bahwa terdapat banyak elemen yang mubazir dan salah dalam
berbagai teori selain teori neoliberal, banyak pula hal-hal yang berguna
menjadi terlupakan.
Ambil
contoh teori terkait heterogenitas struktural. Hal ini, dalam era
globalisasi, sebenarnya masih tetap penting dan diperlukan untuk memahami
fenomena keterbelakangan. Konsep ini misalnya bisa menerangkan mengapa
Bangkok, atau bahkan Jakarta, sebagai metropol sebuah negara berkembang lebih
terkait dengan pasar dunia ketimbang dengan hinterland-nya sendiri. Begitu pula dengan konsep landreform sebagai persyaratan
pembangunan, mempunyai nilai pencerahan yang tinggi.
Pertanyaan
tentang penyebab vakumnya teori berbarengan dengan ambruknya model sosialisme
negara, juga di kalangan kiri nonortodoks, belum memberikan jawaban
memuaskan. Padahal, sosialisme demokrasi, anarkhisme utopis dan renungan
Gandhi tentang ekonomi autarki belum diwacanakan secara mendalam. Sama halnya
dengan konsep “berdikari” yang
diajukan Bung Karno, berupa proteksi terhadap ekonomi global, paling tidak
membuka kesempatan bagi perdebatan terkait pembangunan yang mandiri, agar
terbebas dari “pemaksaan” persyaratan neo-liberalistik perekonomian global.
Pancasila,
sebagai ideologi dan orientasi pembangunan yang cukup lama terbengkalai,
sebenarnya memberikan ruang yang luas dalam mengupayakan pembangunan
berkeadilan, baik bagi bangsa Indonesia maupun masyarakat global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar