Perselisihan
Hasil Pilpres 2014
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (Pusako), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Agustus 2014
MENGAMATI proses persidangan
perselisihan ha sil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014
di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini setidaknya persoalan yang dikemukakan
pemohon dapat dikelompokkan menjadi dua masalah utama, yaitu; 1) perbedaan
hasil penghitungan antara pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa dengan rekapitulasi hasil pilpres yang ditetapkan KPU; dan 2) proses
penyelenggaraan pilpres yang dinilai pasangan Prabowo-Hatta penuh kecurangan
dan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.
Terkait perbedaan hasil
penghitungan, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU secara nasional, pasangan
Prabowo-Hatta memperoleh suara sebesar 62.576.444 (46,85%) dan pasangan
JokowiJK 70.997.833 (53,15%). Sebaliknya, menurut versi pasangan
Prabowo-Hatta, mereka memperoleh 67.139.153 suara (50,25%) dan pasangan
Jokowi-JK 66.435.124 (49,74%) suara. Terhadap masalah ini, sebaiknya
diserahkan kepada proses pembuktian di persidangan. Sebab, ini merupakan
masalah angka-angka yang sepenuhnya bergantung kepada alat bukti yang
dihadirkan dan diperiksa dalam persidangan.
Sementara terkait gugatan
mengenai telah terjadinya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis,
dan masif (TSM), dalam hal ini, pasangan Prabowo-Hatta, di antaranya,
mempersoalkan jumlah daftar pemilih (DPT) yang berubah-ubah dan pemilih yang
menggunakan KTP atau identitas kependudukan lainnya dalam daftar pemilih
khusus tambahan (DPKTb). Pasangan ini mendalilkan bahwa penyelenggara pemilu
bekerja sama dengan pasangan JokowiJK telah memanipulasi DPKTb sehingga
jumlahnya sangat tinggi. Menurut pemohon, jumlah DPKTb sangat tinggi terjadi
di 1.124 kecamatan, 10.827 kelurahan, 55.485 TPS di seluruh Indonesia, yakni
jumlah tersebut melebihi jumlah surat suara yang harus dikirim ke TPS, yaitu
jumlah DPT+2% surat suara.
Bagaimana sesungguhnya
persoalan yang dikemukakan pemohon ini harus dibaca dan diselesaikan dalam konteks
penyelesaian sengketa hasil pilpres? Saya mencoba menjelaskan lebih jauh
terkait masalah tersebut. Sebab, dari pemilu ke pemilu, persoalan daftar
pemilih selalu menjadi masalah yang dipersoalkan ketika terjadi sengketa
hasil pemilu.
Kekuasaan tertinggi
UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai konstitusi negara tegas menganut paham kedaulatan rakyat.
Hal itu dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar. Daulat rakyat
bermakna bahwa kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Dalam pelaksanaannya,
kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan dari kemauan masing-masing
pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh suara
terbanyak. Adapun proses penentuan suara terbanyak dilakukan melalui sebuah
pemilihan umum. Oleh karena itu, mengapa pemilu disebut sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, hak rakyat dalam menentukan pilihannya pada pemilu juga
mendapatkan perlindungan dan jaminan konstitusional. Ihwal ini, Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya; dan Pasal 28 D ayat (3), Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Sekalipun rumusan kedua Pasal
UUD 1945 di atas tidak se 1945 di atas tidak secara eksplisit menyatakan hak
pilih sebagai hak konstitusional, namun sebagai Penafsir konstitusi, MK
melalui Putusan No 011-017/ PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 menafsirkan
bahwa pasal-pasal tersebut sebagai jaminan hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih. Dalam putusan dimaksud, MK menyatakan; hak
konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin
oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga
pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Hak memilih dan dipilih sebagai
hak konstitusional warga negara di satu pihak dan pemilihan umum sebagai
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di pihak lain menuntut untuk dipenuhinya
dua kualitas berbeda secara bersamaan, yaitu; 1) kualitas administrasi pemilu
yang profesional; 2) kualitas pelayanan terhadap pemenuhan hak konstitusional
setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih.
Keduanya harus dipenuhi
secara bersamaan. Namun, bila dalam pelaksanaan terjadi benturan antara
keduanya, pemenuhan kualitas kedua yang harus diutamakan. Sebab, sebagai
sarana pelaksanaan daulat rakyat, esensi dari sebuah proses pemilu adalah
terpenuhinya pelaksanaan hak setiap warga negara yang memiliki hak pilih
untuk menunaikan haknya. Oleh karena itu, pemenuhan hak memilih dan dipilih
tidak boleh dirintangi dengan alasan administrasi kepemiluan.
Walaupun
demikian, hak memilih dan dipilih tetap harus ditunaikan dengan mengikuti
tertib administrasi sepanjang ditujukan untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan hak yang dapat menyebabkan hilangnya integritas pemilu.
Konstruksi cara berpikir
seperti itu ditegaskan dalam Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 terkait pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Dalam putusan tersebut dinyatakan;
bahwa hak-hak warga ne gara untuk memilih sebagaima na diuraikan di atas
telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga
negara (constitutional rights of
citizen) sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas
tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur
administratif apa pun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya.
KTP tetap berlaku
Atas alasan itulah kemudian
ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No 42 Tahun 2008 dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D
ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sebab, Pasal 28 dan Pasal 111 UU No
42/2008 mensyaratkan hanya warga negara yang terdapat dalam daftar pemilih
tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan saja yang dapat menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu presiden/wakil presiden. Terdaftar dalam DPT dinilai
oleh MK sebagai prosedur administratif sehingga tidak boleh menegasikan
hal-hal yang bersifat substansial, yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilu.
Atas pertimbangan itulah
kemudian MK berpendapat bahwa untuk melindungi hak pilih setiap warga negara,
maka penggunaan KTP atau paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak
pilih warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan
alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Hanya
saja, penggunaan KTP atau paspor tersebut juga dengan syarat sebagaimana
dinyatakan dalam salah satu pertimbangan hukum dan juga diktum putusan MK Nomor
102/PUU-VII/2009.
Putusan itu kemudian dijadikan
dasar hukum bagi KPU dalam memberi ruang bagi warga negara yang tidak
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Presiden Tahun 2009. Harus diakui
pula, putusan tersebut juga telah menyelamatkan proses penyelenggaraan Pemilu
2009 dari tuduhan melakukan pengabaian terhadap hak pilih warga negara yang
tidak terdaftar dalam DPT pada saat pelaksanaan pemilu legislatif 2009 yang
sangat ramai dengan persoalan banyaknya warga negara yang tidak terdaftar
dalam DPT.
Putusan tersebut pun telah
diadopsi ke dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, sekaligus juga menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2014. Di mana, tidak hanya warga negara
yang terdaftar dalam DPT saja yang dapat menggunakan hak pilihnya, melainkan
juga warga negara yang tidak terdaftar dengan memenuhi persyaratan pemberian
hak pilih yang ditentukan sesuai putusan dimaksud.
Hanya saja, banyaknya warga
negara yang tidak terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya [pemilih
yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)] justru
dipersoalkan pula melalui sengketa hasil pemilu yang saat ini sedang
diperiksa. Kali ini yang dipersoalkan adalah jumlah pemilih dalam DPKTb yang
secara nasional melebihi jumlah ketersediaan surat suara tambahan sebesar 2%
DPT.
Menurut saya, besarnya jumlah
DPKTb dibandingkan jumlah ketersediaan surat suara tambahan 2% DPT tidak
dapat dipersoalkan. Sebab, keduanya tidaklah linear. Dalam arti, pengguna hak
suara yang tidak terdaftar dalam DPT atau pemilih yang menggunakan KTP tidak
identik dengan jumlah surat suara tambahan yang disediakan. Mencoba
menghubungkan keduanya dan mempersoalkan jumlah pemilih dalam DPKTb yang
melampaui keterse diaan surat suara tambahan merupakan logika tidak tepat.
Sehubungan dengan tingginya
jumlah pemilih dalam DPKTb, jika dicermati daerahdaerah yang menjadi basis
dukungan kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2014,
justru tingginya jumlah DPKTb terjadi di daerah basis dukungan kedua pasangan
calon.
Sejumlah data dapat membantah
dalil yang menyatakan bahwa tingginya jumlah DPKTb sebagai hasil kolusi
antara salah satu pasangan calon dengan penyelenggara pemilu. Sebab, tuduhan
demikian tidak akan mungkin terjadi karena proses pemungutan suara diawasi banyak
pihak.
Lalu, alasan apa lagi yang
dapat menghubungkan antara tingginya jumlah DPKTb dan upaya memenangkan salah
satu pasangan calon tertentu? Memang masih ada dalil dan asumsi yang menilai
bahwa tingginya jumlah DPKTb hanya menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Jika
diasumsikan dalil tersebut benar adanya, jumlah yang dipersoalkan tetap tidak
signifikan dalam memengaruhi hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU.
Lalu, apakah kemudian masalah
DPKTb ini dapat dijadikan alasan untuk menuntut dilaksanakannya pemungutan
suara ulang (PSU) pada sekitar 55.485 TPS di seluruh Indonesia? Merujuk
pengalaman penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pemilu kada di MK, PSU
hanya terjadi dalam perkara yang dalam pemeriksaan terbukti telah terjadi
pelanggaran yang bersifat TSM serta berdampak terhadap hasil atau
keterpilihan pasangan calon.
Pada saat bersamaan,
pelanggaran yang dinilai bersifat TSM juga harus berpengaruh signifikan
terhadap perolehan suara atau keterpilihan seorang calon. Dalam arti,
pelanggaran TSM yang terjadi haruslah pelanggaran yang berdampak terhadap
keuntungan salah satu pasangan atau merugikan salah satu pasangan calon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar