Kamis, 21 Agustus 2014

Perselisihan Hasil Pilpres 2014

                                 Perselisihan Hasil Pilpres 2014

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA, 18 Agustus 2014

                                                                                                                                   

MENGAMATI proses persidangan perselisihan ha sil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini setidaknya persoalan yang dikemukakan pemohon dapat dikelompokkan menjadi dua masalah utama, yaitu; 1) perbedaan hasil penghitungan antara pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan rekapitulasi hasil pilpres yang ditetapkan KPU; dan 2) proses penyelenggaraan pilpres yang dinilai pasangan Prabowo-Hatta penuh kecurangan dan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Terkait perbedaan hasil penghitungan, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU secara nasional, pasangan Prabowo-Hatta memperoleh suara sebesar 62.576.444 (46,85%) dan pasangan JokowiJK 70.997.833 (53,15%). Sebaliknya, menurut versi pasangan Prabowo-Hatta, mereka memperoleh 67.139.153 suara (50,25%) dan pasangan Jokowi-JK 66.435.124 (49,74%) suara. Terhadap masalah ini, sebaiknya diserahkan kepada proses pembuktian di persidangan. Sebab, ini merupakan masalah angka-angka yang sepenuhnya bergantung kepada alat bukti yang dihadirkan dan diperiksa dalam persidangan.

Sementara terkait gugatan mengenai telah terjadinya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), dalam hal ini, pasangan Prabowo-Hatta, di antaranya, mempersoalkan jumlah daftar pemilih (DPT) yang berubah-ubah dan pemilih yang menggunakan KTP atau identitas kependudukan lainnya dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Pasangan ini mendalilkan bahwa penyelenggara pemilu bekerja sama dengan pasangan JokowiJK telah memanipulasi DPKTb sehingga jumlahnya sangat tinggi. Menurut pemohon, jumlah DPKTb sangat tinggi terjadi di 1.124 kecamatan, 10.827 kelurahan, 55.485 TPS di seluruh Indonesia, yakni jumlah tersebut melebihi jumlah surat suara yang harus dikirim ke TPS, yaitu jumlah DPT+2% surat suara.

Bagaimana sesungguhnya persoalan yang dikemukakan pemohon ini harus dibaca dan diselesaikan dalam konteks penyelesaian sengketa hasil pilpres? Saya mencoba menjelaskan lebih jauh terkait masalah tersebut. Sebab, dari pemilu ke pemilu, persoalan daftar pemilih selalu menjadi masalah yang dipersoalkan ketika terjadi sengketa hasil pemilu.

Kekuasaan tertinggi

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara tegas menganut paham kedaulatan rakyat. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undangundang dasar. Daulat rakyat bermakna bahwa kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Dalam pelaksanaannya, kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan dari kemauan masing-masing pribadi, yang jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh suara terbanyak. Adapun proses penentuan suara terbanyak dilakukan melalui sebuah pemilihan umum. Oleh karena itu, mengapa pemilu disebut sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, hak rakyat dalam menentukan pilihannya pada pemilu juga mendapatkan perlindungan dan jaminan konstitusional. Ihwal ini, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan Pasal 28 D ayat (3), Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sekalipun rumusan kedua Pasal UUD 1945 di atas tidak se 1945 di atas tidak secara eksplisit menyatakan hak pilih sebagai hak konstitusional, namun sebagai Penafsir konstitusi, MK melalui Putusan No 011-017/ PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 menafsirkan bahwa pasal-pasal tersebut sebagai jaminan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih. Dalam putusan dimaksud, MK menyatakan; hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Hak memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional warga negara di satu pihak dan pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di pihak lain menuntut untuk dipenuhinya dua kualitas berbeda secara bersamaan, yaitu; 1) kualitas administrasi pemilu yang profesional; 2) kualitas pelayanan terhadap pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih. 

Keduanya harus dipenuhi secara bersamaan. Namun, bila dalam pelaksanaan terjadi benturan antara keduanya, pemenuhan kualitas kedua yang harus diutamakan. Sebab, sebagai sarana pelaksanaan daulat rakyat, esensi dari sebuah proses pemilu adalah terpenuhinya pelaksanaan hak setiap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menunaikan haknya. Oleh karena itu, pemenuhan hak memilih dan dipilih tidak boleh dirintangi dengan alasan administrasi kepemiluan. 

Walaupun demikian, hak memilih dan dipilih tetap harus ditunaikan dengan mengikuti tertib administrasi sepanjang ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan hak yang dapat menyebabkan hilangnya integritas pemilu.
Konstruksi cara berpikir seperti itu ditegaskan dalam Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam putusan tersebut dinyatakan; bahwa hak-hak warga ne gara untuk memilih sebagaima na diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen) sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apa pun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.

KTP tetap berlaku

Atas alasan itulah kemudian ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU No 42 Tahun 2008 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sebab, Pasal 28 dan Pasal 111 UU No 42/2008 mensyaratkan hanya warga negara yang terdapat dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan saja yang dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu presiden/wakil presiden. Terdaftar dalam DPT dinilai oleh MK sebagai prosedur administratif sehingga tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial, yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilu.

Atas pertimbangan itulah kemudian MK berpendapat bahwa untuk melindungi hak pilih setiap warga negara, maka penggunaan KTP atau paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Hanya saja, penggunaan KTP atau paspor tersebut juga dengan syarat sebagaimana dinyatakan dalam salah satu pertimbangan hukum dan juga diktum putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009.

Putusan itu kemudian dijadikan dasar hukum bagi KPU dalam memberi ruang bagi warga negara yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Presiden Tahun 2009. Harus diakui pula, putusan tersebut juga telah menyelamatkan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 dari tuduhan melakukan pengabaian terhadap hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT pada saat pelaksanaan pemilu legislatif 2009 yang sangat ramai dengan persoalan banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.

Putusan tersebut pun telah diadopsi ke dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sekaligus juga menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden Tahun 2014. Di mana, tidak hanya warga negara yang terdaftar dalam DPT saja yang dapat menggunakan hak pilihnya, melainkan juga warga negara yang tidak terdaftar dengan memenuhi persyaratan pemberian hak pilih yang ditentukan sesuai putusan dimaksud.

Hanya saja, banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT yang menggunakan hak pilihnya [pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)] justru dipersoalkan pula melalui sengketa hasil pemilu yang saat ini sedang diperiksa. Kali ini yang dipersoalkan adalah jumlah pemilih dalam DPKTb yang secara nasional melebihi jumlah ketersediaan surat suara tambahan sebesar 2% DPT.

Menurut saya, besarnya jumlah DPKTb dibandingkan jumlah ketersediaan surat suara tambahan 2% DPT tidak dapat dipersoalkan. Sebab, keduanya tidaklah linear. Dalam arti, pengguna hak suara yang tidak terdaftar dalam DPT atau pemilih yang menggunakan KTP tidak identik dengan jumlah surat suara tambahan yang disediakan. Mencoba menghubungkan keduanya dan mempersoalkan jumlah pemilih dalam DPKTb yang melampaui keterse diaan surat suara tambahan merupakan logika tidak tepat.

Sehubungan dengan tingginya jumlah pemilih dalam DPKTb, jika dicermati daerahdaerah yang menjadi basis dukungan kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu 2014, justru tingginya jumlah DPKTb terjadi di daerah basis dukungan kedua pasangan calon.

Sejumlah data dapat membantah dalil yang menyatakan bahwa tingginya jumlah DPKTb sebagai hasil kolusi antara salah satu pasangan calon dengan penyelenggara pemilu. Sebab, tuduhan demikian tidak akan mungkin terjadi karena proses pemungutan suara diawasi banyak pihak.

Lalu, alasan apa lagi yang dapat menghubungkan antara tingginya jumlah DPKTb dan upaya memenangkan salah satu pasangan calon tertentu? Memang masih ada dalil dan asumsi yang menilai bahwa tingginya jumlah DPKTb hanya menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Jika diasumsikan dalil tersebut benar adanya, jumlah yang dipersoalkan tetap tidak signifikan dalam memengaruhi hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU.

Lalu, apakah kemudian masalah DPKTb ini dapat dijadikan alasan untuk menuntut dilaksanakannya pemungutan suara ulang (PSU) pada sekitar 55.485 TPS di seluruh Indonesia? Merujuk pengalaman penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pemilu kada di MK, PSU hanya terjadi dalam perkara yang dalam pemeriksaan terbukti telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM serta berdampak terhadap hasil atau keterpilihan pasangan calon.

Pada saat bersamaan, pelanggaran yang dinilai bersifat TSM juga harus berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara atau keterpilihan seorang calon. Dalam arti, pelanggaran TSM yang terjadi haruslah pelanggaran yang berdampak terhadap keuntungan salah satu pasangan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar