Radikalisme
dan Problematik Pendidikan
Junaidi Abdul Munif ;
Direktur el-Wahid Center
Universitas Wahid Hasyim Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Agustus 2014
BEBERAPA minggu ini media massa
dan dunia maya (media sosial) banyak memuat berita tentang ISIS (Islamic State of Iraq and Syam),
gerakan politik yang menggunakan Islam sebagai legitimasi untuk mendapatkan
kekuasaan. Di media sosial, banyak warga mengungkapkan dukungan kepada ISIS.
Hal itu tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat kita yang sering `heboh'
ketika ada peristiwa menarik dan kemudian meresponsnya melalui dunia maya,
baik secara serius ataupun hanya untuk bahan bercanda.
Dukungan tersebut sebetulnya
bisa dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, sekadar simpati dan mendukung
perjuangan ISIS. Kedua, selain simpati dan mendukung, ikut menyiapkan diri
untuk berjuang (baca: jihad) ke Irak ataupun Suriah (Syam). Model dukungan
kedua itulah yang sering disalahartikan dengan melakukan tindak kekerasan
terhadap kelompok lain di wilayah Indonesia.
ISIS awalnya muncul di Timur
Tengah, yang saat ini sedang menalami krisis politik dan berimbas pada kudeta
serta konflik perebutan kekuasaan. Timur Tengah merupakan kawasan yang tak
pernah lepas dari konflik keagamaan, terutama konflik PalestinaIsrael yang
melahirkan solidaritas internasional. Yang dikhawatirkan ialah lahirnya
solidaritas di kalangan Islam yang salah arah sehingga memunculkan
generalisasi yang dikotomis; Islam-kafir, IslamYahudi, atau Islam-Zionis. Oposisi
biner tersebut tidak sehat untuk keberlangsungan Indonesia yang secara
kodrati beragam.
Indonesia merupakan negara
muslim terbesar di dunia, tempat berbagai paham keagamaan tumbuh subur dan
berani berekspresi secara terbuka terutama setelah reformasi. Pada masa
pemerintahan Soeharto, lembaga kampus menjadi embrio bagi kajian-kajian
keagamaan yang beragam, antara lain berpaham Islam radikal yang berkembang di
Timur Tengah. Saat itu kajian tersebut masih berupa gerakan bawah tanah dan
dilakukan secara sporadis. Reformasi membuka jalan bagi aktivis gerakan
tersebut untuk tampil ke permukaan.
Setelah itu, kekerasan atas
nama agama pun marak terjadi di berbagai daerah, dengan bom Bali I-II serta
konflik Ambon dan Poso yang melibatkan orang-orang yang pernah berjihad di
Afghanistan. Dengan adanya konflik tersebut, meski belum meluas dalam skala
nasional hingga memunculkan kudeta, paham keagamaan sejenis ISIS harus
diwaspadai agar tidak semakin menggurita dan merongrong NKRI.
Rawan terpengaruh
Pelajar merupakan masyarakat
dengan usia yang sangat rentan untuk mengikuti halhal baru yang ditemuinya. Hal
baru tersebut utamanya berkaitan dengan `antitesis' dari pandangan mayoritas.
Artinya, ada `titik jenuh' pada pemikiran dan sikap remaja terhadap kondisi
sosial yang sudah mapan dan terkesan stagnan. Pada situasi demikian, akan
muncul fenomena pelajar berada di dua kutub yang bertolak belakang. Kalau
tidak semakin `menjauh' dari nilai-nilai dan ajaran agama, akan bergerak
semakin ke dalam pada ajaran agamanya.
Yang pertama lantas disebut
sebagai kenakalan remaja, dengan ekses negatif berupa tawuran remaja, mengonsumsi
miras, narkotika, dan perilaku seks bebas. Yang kedua disebut fundamentalisme
agama, beserta paham keagamaan yang eksklusif dan menegasi kelompok agama
lain. Keduanya merupakan problematik remaja yang berpotensi mencapai titik
kulminasi jika menemukan momentum yang tepat untuk meletup.
ISIS akan mudah diterima
pelajar dari golongan kedua, ketika semangat keber agamaan dibangkitkan dan
situasi sosial sedang menggelisahkan. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa
merupakan pasar potensial untuk disebari paham-paham keagamaan yang menganggap
radikalisme-destruktif sebagai perintah suci agama dan mendirikan negara
Islam adalah kewajiban umat Islam.
Apakah semua pelajar akan mudah
ter pengaruh oleh paham ISIS? Menurut Martin van Bruinessen (2013), model
gerak an sejenis ISIS lebih banyak menyasar mereka yang secara sosial-ekonomi
sudah sosial-ekonomi sudah mapan dan bukan berasal dari keluarga yang broken home. Mereka ialah kelompok
yang disebut mengidap deprivasi relatif, yakni rasa kecewa karena tidak menda
patkan sesuatu yang dianggap sebagai haknya. Mereka mengambinghitamkan
perubahan global, dengan dampak kapitalisme, yang menjadikan negara-negara
muslim dikelompokkan se bagai negara kelas dua dan tiga.
Artinya, kalau mengi kuti hasil
penelitian Bruinessen, siswa dari golongan menengah ke bawah sebetulnya sulit
untuk terpengaruh, apalagi sampai ikut berjuang bersama ISIS di medan ISIS di
medan konflik. Karena bisa dikatakan, mereka dari golongan menengah ke bawah
tidak begitu memiliki deprivasi relatif.
Namun, pendidikan dapat menjadi
pintu masuk bagi munculnya simpatisan ISIS.
Pendidikan merupakan sarana
bagi seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat kelas
atas. Dunia pendidikan secara tidak langsung akan menjadikan pelakunya
mengidap deprivasi relatif meski secara sosial ekonomi, itu belum
memungkinkan. Apalagi, masyarakat kelas atas diasumsikan sebagai kelompok
`melek media', dengan arus informasi begitu mudah didapat. Pendidikan, dengan
model pergaulan dan medium belajarnya, memungkinkan pelajar untuk melek
media.
Kurikulum pendidikan agama juga
berlangsung secara formal, belum menyentuh emosi pelajar untuk menumbuhkan
sikap empati dan menghargai perbedaan. Materi pembelajaran lebih bertumpu
pada aspek formal nilai-nilai agama. Apalagi jam pelajaran yang sedikit
menjadikan pelajaran agama tidak dapat dieksplorasi untuk menumbuhkan sikap
humanis.
Lewat ekstrakurikuler
Karena jam sedikit tersebut,
pelajaran agama lebih banyak dilakukan di luar jam pelajaran kelas. Benih
radikalisme agama di dunia pendidikan lebih banyak muncul melalui kegiatan
ekstrakurikuler yang diberikan di luar jam pelajaran sekolah. Modusnya bisa
lewat kajian keagamaan yang kemudian diselingi dengan doktrin-doktrin
tertentu yang menolak Indonesia sebagai negara demokrasi (dianggap sistem taghut) dan adanya persaudaraan sesama
muslim secara global.
Abdurrahman Wahid (2006)
menjelaskan gagasan negara Islam tidak konseptual dan hanya dipikirkan
segelintir pemimpin yang memandang Islam hanya dari sisi institusionalnya.
Mayoritas umat Islam tidak sepakat dengan pendirian negara Islam, apalagi
jika itu dilakukan dengan cara kekerasan. Pandangan seperti itu yang mesti
terus disebarkan ke masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kedamaian
Indonesia.
Untuk itu, sekolah ataupun
pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) bisa proaktif melakukan seleksi dan
pengawasan pada kegiatan ekstrakurikuler ini. Pengajar ekstra tersebut harus
merupakan orang yang berpaham nasionalis, dengan mengajarkan Islam yang rahmatan lil `alamin. Hal itu untuk
meminimalkan adanya perbedaan pengajaran agama di kelas dan luar kelas.
Intensitas model pengajaran ekstrakurikuler tersebut berlangsung secara
kontinu, tidak hanya berlangsung saat kegiatan di luar sekolah, tetapi juga
pada kegiatan masyarakat.
Selama ini, model pencegahan
gerakan radikalisme agama lebih banyak secara birokratis, dengan melibatkan
aparat keamanan dan pejabat pemerintah, dengan melakukan penyuluhan di
sekolah atau seminar. Cara tersebut akan rawan mendapat penolakan pada diri
siswa. Citra polisi dan pejabat negara (maaf) selama ini cukup negatif,
terutama karena kasus korupsi pejabat yang banyak ditayangkan di televisi.
Untuk polisi, citra negatif tersebut muncul dari masyarakat terkait dengan
penyelesaian pelanggaran lalu lintas, yang mana pelajar juga banyak
bersentuhan dengan hal itu.
Lebih baik penanaman paham
Islam yang inklusif yang sejalan dengan nasionalisme dilakukan dengan
melibatkan aktivis dan tokoh agama yang paham betul dengan kondisi psikologis
pelajar dan secara intensif berkumpul bersama pelajar dalam kegiatan yang
mengampanyekan Islam yang dapat menghargai umat agama lain. Mereka sedikit
banyak memiliki bekal perbandingan pemikiran keagamaan sehingga memungkinkan
terjadinya diskusi untuk melihat mana yang lebih sesuai dari paham-paham
keagamaan itu dengan kondisi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar