Kamis, 21 Agustus 2014

Radikalisme dan Problematik Pendidikan

                 Radikalisme dan Problematik Pendidikan

Junaidi Abdul Munif  ;   Direktur el-Wahid Center
Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA INDONESIA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

BEBERAPA minggu ini media massa dan dunia maya (media sosial) banyak memuat berita tentang ISIS (Islamic State of Iraq and Syam), gerakan politik yang menggunakan Islam sebagai legitimasi untuk mendapatkan kekuasaan. Di media sosial, banyak warga mengungkapkan dukungan kepada ISIS. Hal itu tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat kita yang sering `heboh' ketika ada peristiwa menarik dan kemudian meresponsnya melalui dunia maya, baik secara serius ataupun hanya untuk bahan bercanda.

Dukungan tersebut sebetulnya bisa dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, sekadar simpati dan mendukung perjuangan ISIS. Kedua, selain simpati dan mendukung, ikut menyiapkan diri untuk berjuang (baca: jihad) ke Irak ataupun Suriah (Syam). Model dukungan kedua itulah yang sering disalahartikan dengan melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain di wilayah Indonesia.

ISIS awalnya muncul di Timur Tengah, yang saat ini sedang menalami krisis politik dan berimbas pada kudeta serta konflik perebutan kekuasaan. Timur Tengah merupakan kawasan yang tak pernah lepas dari konflik keagamaan, terutama konflik PalestinaIsrael yang melahirkan solidaritas internasional. Yang dikhawatirkan ialah lahirnya solidaritas di kalangan Islam yang salah arah sehingga memunculkan generalisasi yang dikotomis; Islam-kafir, IslamYahudi, atau Islam-Zionis. Oposisi biner tersebut tidak sehat untuk keberlangsungan Indonesia yang secara kodrati beragam.

Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, tempat berbagai paham keagamaan tumbuh subur dan berani berekspresi secara terbuka terutama setelah reformasi. Pada masa pemerintahan Soeharto, lembaga kampus menjadi embrio bagi kajian-kajian keagamaan yang beragam, antara lain berpaham Islam radikal yang berkembang di Timur Tengah. Saat itu kajian tersebut masih berupa gerakan bawah tanah dan dilakukan secara sporadis. Reformasi membuka jalan bagi aktivis gerakan tersebut untuk tampil ke permukaan.

Setelah itu, kekerasan atas nama agama pun marak terjadi di berbagai daerah, dengan bom Bali I-II serta konflik Ambon dan Poso yang melibatkan orang-orang yang pernah berjihad di Afghanistan. Dengan adanya konflik tersebut, meski belum meluas dalam skala nasional hingga memunculkan kudeta, paham keagamaan sejenis ISIS harus diwaspadai agar tidak semakin menggurita dan merongrong NKRI.

Rawan terpengaruh

Pelajar merupakan masyarakat dengan usia yang sangat rentan untuk mengikuti halhal baru yang ditemuinya. Hal baru tersebut utamanya berkaitan dengan `antitesis' dari pandangan mayoritas. Artinya, ada `titik jenuh' pada pemikiran dan sikap remaja terhadap kondisi sosial yang sudah mapan dan terkesan stagnan. Pada situasi demikian, akan muncul fenomena pelajar berada di dua kutub yang bertolak belakang. Kalau tidak semakin `menjauh' dari nilai-nilai dan ajaran agama, akan bergerak semakin ke dalam pada ajaran agamanya.

Yang pertama lantas disebut sebagai kenakalan remaja, dengan ekses negatif berupa tawuran remaja, mengonsumsi miras, narkotika, dan perilaku seks bebas. Yang kedua disebut fundamentalisme agama, beserta paham keagamaan yang eksklusif dan menegasi kelompok agama lain. Keduanya merupakan problematik remaja yang berpotensi mencapai titik kulminasi jika menemukan momentum yang tepat untuk meletup.

ISIS akan mudah diterima pelajar dari golongan kedua, ketika semangat keber agamaan dibangkitkan dan situasi sosial sedang menggelisahkan. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa merupakan pasar potensial untuk disebari paham-paham keagamaan yang menganggap radikalisme-destruktif sebagai perintah suci agama dan mendirikan negara Islam adalah kewajiban umat Islam.

Apakah semua pelajar akan mudah ter pengaruh oleh paham ISIS? Menurut Martin van Bruinessen (2013), model gerak an sejenis ISIS lebih banyak menyasar mereka yang secara sosial-ekonomi sudah sosial-ekonomi sudah mapan dan bukan berasal dari keluarga yang broken home. Mereka ialah kelompok yang disebut mengidap deprivasi relatif, yakni rasa kecewa karena tidak menda patkan sesuatu yang dianggap sebagai haknya. Mereka mengambinghitamkan perubahan global, dengan dampak kapitalisme, yang menjadikan negara-negara muslim dikelompokkan se bagai negara kelas dua dan tiga.

Artinya, kalau mengi kuti hasil penelitian Bruinessen, siswa dari golongan menengah ke bawah sebetulnya sulit untuk terpengaruh, apalagi sampai ikut berjuang bersama ISIS di medan ISIS di medan konflik. Karena bisa dikatakan, mereka dari golongan menengah ke bawah tidak begitu memiliki deprivasi relatif. 

Namun, pendidikan dapat menjadi pintu masuk bagi munculnya simpatisan ISIS.
Pendidikan merupakan sarana bagi seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat kelas atas. Dunia pendidikan secara tidak langsung akan menjadikan pelakunya mengidap deprivasi relatif meski secara sosial ekonomi, itu belum memungkinkan. Apalagi, masyarakat kelas atas diasumsikan sebagai kelompok `melek media', dengan arus informasi begitu mudah didapat. Pendidikan, dengan model pergaulan dan medium belajarnya, memungkinkan pelajar untuk melek media.

Kurikulum pendidikan agama juga berlangsung secara formal, belum menyentuh emosi pelajar untuk menumbuhkan sikap empati dan menghargai perbedaan. Materi pembelajaran lebih bertumpu pada aspek formal nilai-nilai agama. Apalagi jam pelajaran yang sedikit menjadikan pelajaran agama tidak dapat dieksplorasi untuk menumbuhkan sikap humanis.

Lewat ekstrakurikuler

Karena jam sedikit tersebut, pelajaran agama lebih banyak dilakukan di luar jam pelajaran kelas. Benih radikalisme agama di dunia pendidikan lebih banyak muncul melalui kegiatan ekstrakurikuler yang diberikan di luar jam pelajaran sekolah. Modusnya bisa lewat kajian keagamaan yang kemudian diselingi dengan doktrin-doktrin tertentu yang menolak Indonesia sebagai negara demokrasi (dianggap sistem taghut) dan adanya persaudaraan sesama muslim secara global.

Abdurrahman Wahid (2006) menjelaskan gagasan negara Islam tidak konseptual dan hanya dipikirkan segelintir pemimpin yang memandang Islam hanya dari sisi institusionalnya. Mayoritas umat Islam tidak sepakat dengan pendirian negara Islam, apalagi jika itu dilakukan dengan cara kekerasan. Pandangan seperti itu yang mesti terus disebarkan ke masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kedamaian Indonesia.

Untuk itu, sekolah ataupun pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) bisa proaktif melakukan seleksi dan pengawasan pada kegiatan ekstrakurikuler ini. Pengajar ekstra tersebut harus merupakan orang yang berpaham nasionalis, dengan mengajarkan Islam yang rahmatan lil `alamin. Hal itu untuk meminimalkan adanya perbedaan pengajaran agama di kelas dan luar kelas. Intensitas model pengajaran ekstrakurikuler tersebut berlangsung secara kontinu, tidak hanya berlangsung saat kegiatan di luar sekolah, tetapi juga pada kegiatan masyarakat.

Selama ini, model pencegahan gerakan radikalisme agama lebih banyak secara birokratis, dengan melibatkan aparat keamanan dan pejabat pemerintah, dengan melakukan penyuluhan di sekolah atau seminar. Cara tersebut akan rawan mendapat penolakan pada diri siswa. Citra polisi dan pejabat negara (maaf) selama ini cukup negatif, terutama karena kasus korupsi pejabat yang banyak ditayangkan di televisi. Untuk polisi, citra negatif tersebut muncul dari masyarakat terkait dengan penyelesaian pelanggaran lalu lintas, yang mana pelajar juga banyak bersentuhan dengan hal itu.

Lebih baik penanaman paham Islam yang inklusif yang sejalan dengan nasionalisme dilakukan dengan melibatkan aktivis dan tokoh agama yang paham betul dengan kondisi psikologis pelajar dan secara intensif berkumpul bersama pelajar dalam kegiatan yang mengampanyekan Islam yang dapat menghargai umat agama lain. Mereka sedikit banyak memiliki bekal perbandingan pemikiran keagamaan sehingga memungkinkan terjadinya diskusi untuk melihat mana yang lebih sesuai dari paham-paham keagamaan itu dengan kondisi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar