Senin, 25 Agustus 2014

Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi

Djohansjah Marzoeki  ;   Guru Besar Emeritus Unair
JAWA POS, 25 Agustus 2014
                                                


LAMA berselang, terjadi dialog dalam suatu forum di perguruan tinggi. Salah seorang pejabatnya menjawab, kita sebagai pejabat di sini bukan hanya sebagai figur akademik, tetapi juga pejabat politik. Itu terjadi masih pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto di mana kebebasan akademik masih semu. Tetapi, tampaknya, sampai saat ini, sekalipun sudah banyak berubah, masih ada perguruan tinggi yang belum berjalan sesuai dengan budaya ilmiah.

Dasar fungsi perguruan tinggi adalah ilmu pengetahuan. Menularkan, mencari yang baru, dan kadang menerapkan dengan perilaku ilmiah. Perilaku ilmiah adalah perilaku yang memihak kepada kebenaran ilmiah, bukan kepada kekuasaan. Oleh karena itu, pejabat perguruan tinggi yang mengklaim dirinya adalah figur politik berarti dia akan lebih tunduk kepada kekuasaan daripada kepada kebenaran. Kekuasaan itu bisa bermacam-macam seperti pemerintah yang sedang berkuasa atau pemilik/pemodal dari perguruan tinggi itu. Perguruan tinggi seharusnya tidak tunduk kepada mereka. Mereka hanya sebagai fasilitator, bukan mengarahkan jalannya perguruan tinggi.

Perguruan tinggi harus berjalan tidak jauh dari kaidah ilmiah, iklim akademik. Sedangkan kaidah ilmiah itu self driving, bukan disetir dari luar keilmuan. Bantuan apa pun yang diterima untuk pengembangan perguruan tinggi, perguruan tinggi itu tidak boleh keluar dari budaya ilmiahnya. Bukan untuk kekuasaan dan uang.

Pemberian bantuan dana untuk perguruan tinggi harus murni dilakukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Baik itu dari perusahaan besar maupun para philanthropy kaya. Jangan bermaksud agar perguruan tinggi memberikan dukungan ilmiah dari proyek yang sedang dikerjakan. No authority in science.

Beberapa waktu yang lalu diberitakan ada perguruan tinggi yang kegiatan akademiknya hanya semu. Cukup bayar sejumlah uang, mahasiswanya bisa dapat ijazah dan gelar. Hal seperti itu sudah keterlaluan. Institusi seperti itu harus hilang dari dunia akademik.

Inti dari perilaku ilmiah adalah jujur pada kebenaran. Kebenaran tersebut adalah kebenaran material yang bisa dibuktikan dan diuji. Fantasi dan prediksi berdasar temuan ilmiah dikembangkan melalui hipotesis yang akan dibuktikan dan diuji kebenarannya.

Di dalam ilmu, kita mengenal ilmu dasar dan ilmu terapan. Ilmu dasar kadang hanya bergulat dalam keilmuan. Kalau mau dipakai, masih diperlukan sebuah teknologi. Di dalam laboratorium, kalau suatu percobaan bisa berhasil, secara alami memang itu bisa terjadi. Demikian pula kalau gagal, berarti secara alami itu tidak bisa. Karena itu, kita tidak perlu takut dengan ilmu dasar karena itu benar dan tidak ada dampak dalam masyarakat. Itu bisa dikembangkan tanpa protes dan batasan, kecuali batasan etika penelitiannya sendiri.

Ilmu dan budaya ilmiah bersifat universal, apa yang benar di sana benar juga di sini. Metode ilmiahnya sama. Tidak mengenal batas negara dan kelompok masyarakat. Karena itu, kerja sama keilmuan bisa dibuat antarnegara mana saja tanpa takut diperdayai. Ilmu itu pun terbentuk established karena kontribusi orang-orang di seluruh dunia.

Yang punya dampak dalam masyarakat adalah ilmu terapan dan teknologi. Yang ini, kalau mau diterapkan, dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan dan iklim yang ada dalam masyarakat terkait. Menyaring iptek lebih diarahkan pada validitas ilmu dasarnya dan teknologi, yang langsung terpakai di dalam masyarakat.

Demi suatu kebenaran, perguruan tinggi dituntut menggalakkan debat akademik. Dengan debat, kebenaran, hipotesis, dan kebijakan akan lebih teruji dan lebih jelas arahnya.

Debat bukan bertengkar. Debat adalah rasional, sedangkan bertengkar adalah emosional. Dulu kita takut mengadakan debat karena kebenaran yang timbul bisa mencoreng muka pejabat. Sekarang kita lebih terbuka. Kalau memang benar, siapa pun pejabatnya harus bisa menerima kebenaran. Bukan menyembunyikan atau merekayasa fakta agar jabatannya bisa berjalan panjang.

Dengan menggalakkan debat, akan banyak manfaat yang didapat, terutama untuk masalah yang dianggap kontroversial. Kalau tidak, masalah yang dianggap kontroversial hanya ada di dalam anggapan, bergantung siapa yang menganggap. Anggapan sesuatu itu kontroversial, bisa meminggirkan seseorang, dan itu tidak perlu. Tetapi, dengan debat, akan diketahui bagaimana masalah kontroversial itu sebenarnya. Kalau memang salah, itu harus dibuang, bila benar harus diambil. Dengan debat, kita belajar membuka diri memberikan peluang pendapat lain untuk diadu dengan pendapat kita.

Debat punya aturan sehingga akan efektif dan efisien, tidak rebutan bicara. Debat dimulai dari para dosen, para akademisi, tetapi juga untuk mahasiswanya agar nanti kalau lulus sudah biasa berdebat untuk mencari kebenaran. Belajar ilmu berarti belajar membuka diri untuk perubahan, bukan indoktrinasi seolah-olah kebenaran itu tidak bisa diganggu gugat.

Kalau tidak biasa berdebat, mereka akan menganggap kritik sebagai hujatan dan menimbulkan marah. Mereka hanya mengerti hal-hal yang emosional seperti bertengkar, mau menangnya sendiri, dan tawuran. Sedangkan rasionalnya tidak terlatih.

Kalau mahasiswa masih melakukan demo dan tawuran, bisa dipertanyakan iklim akademik di perguruan tinggi itu. Mahasiswa seharusnya menyelesaikan masalah dengan nalar, dengan debat, bukan dengan kekuatan fisik dan jumlah orang. Kecuali, fasilitas debat itu tidak tersedia atau belum dimengerti.

Mutu suatu perguruan tinggi, di samping fasilitas yang memadai dan personel yang mumpuni, akan semakin mudah meningkat dengan diterapkannya budaya akademik di dalam perguruan tingginya. Negara maju dan modern adalah negara yang lebih banyak memakai ilmu dan pengetahuan yang diterapkan dalam negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar