Dilema
Pemilu secara Langsung
Pranatal Hutajulu ; Pasis Sespimmen Polri
|
JAWA
POS, 25 Agustus 2014
PEMILIHAN
umum dengan metode pemilihan secara langsung sejatinya mempunyai maksud dan
tujuan yang mulia, yaitu rakyat dapat memilih presiden/wakil presiden dan
kepala daerahnya secara langsung, transparan, serta bebas berdasar konsep
demokrasi dan koridor hukum yang berlaku. Dengan begitu, dapat diperoleh
pasangan presiden/wakil presiden dan kepala daerah yang capable, credible, dan acceptable
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Awalnya,
konsep pemilu langsung ini terlihat begitu cantik dan seksi. Namun, dalam
pelaksanaan di berbagai daerah, ternyata konsep ini mulai memperlihatkan
wajah buruknya. Konflik sosial karena pelaksanaan pilkada kerap terjadi di
seluruh wilayah Indonesia. Misalnya, konflik pilkada yang terjadi di
Mojokerto pada 2010 yang mengakibatkan 22 mobil hancur dan 10 di antaranya
dibakar massa dengan bom molotov saat penyampaian visi misi calon bupati dan
calon wakil bupati setempat. Konflik sosial terbesar terjadi pada 2012 pada
pilkada Puncak Ilaga, Papua, yang menelan 47 korban jiwa dan ratusan orang
terluka. Terakhir, kasus kerusuhan massa pendukung capres yang menolak
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan aparat kepolisian dan TNI di sekitar
Patung Kereta Kencana, Jakarta Pusat, pada Kamis, 21 Agustus 2014,
mengakibatkan korban dari massa dan aparat keamanan yang bertugas, serta
rusaknya beberapa fasilitas umum.
Di
sisi lain, pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan dana yang sangat
besar. Menteri Keuangan Agus Martowardojo kepada wartawan pada 15 Maret 2014
mengatakan, pemerintah menganggarkan Rp 16 triliun untuk dana pelaksanaan
pemilu 2014. Sedangkan dana untuk pilkada selalu di atas Rp 1 miliar. Bahkan,
ada beberapa provinsi yang biaya pilkadanya mencapai Rp 1 triliun.
Perhitungan rata-rata biaya pilbup/pilwali Rp 25 miliar, sedangkan pilgub Rp
500 miliar. Dalam lima tahun, uang negara untuk pilkada di Indonesia minimal
Rp 30 triliun. Itu belum termasuk dana yang dikeluarkan masing-masing
kandidat. Beberapa kenyamanan di area publik menjadi terganggu seperti
terjadinya kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas karena kampanye hingga
kecelakaan lalu lintas ketika dilaksanakannya konvoi massa pendukung calon
kepala daerah.
Kenapa Bisa
Rusuh?
Ada
tiga kajian yang bisa menjelaskan kenapa pemilu kita bisa rusuh. Pertama,
kajian aspek politik, menghalalkan segala cara. Nicollo Machiavelli
(1469–1527), seorang filsuf dan politikus Italia, pernah menulis buku
berjudul Il Principe (sang pangeran) yang menguraikan tindakan yang bisa atau
perlu dilakukan individu atau kelompok untuk mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaan. Menurut Machiavelli, dalam rangka mendapatkan kekuasaan atau
mempertahankannya, seseorang dibenarkan melakukan segala cara sekalipun yang
ditempuh melalui cara kekerasan, sadis, dan melanggar hukum.
Machiavelli
adalah yang kali pertama memisahkan teori politik dan etika. Masalah politik
adalah murni masalah merebut dan mempertahankan kekuasaan, tidak bisa
dipengaruhi tindakan etis atau hal lain yang bersifat moral. Pemikiran
Machiavelli ini sangat bertentangan dengan tradisi Barat yang mempelajari
teori politik berkaitan erat dengan etika. Seperti pemikiran Aristoteles yang
mendefinisikan politik sebagai perluasan etika.
Beberapa
kasus kerusuhan dalam pemilu di Indonesia merupakan contoh konkret bagaimana
paham Machiavelli dilaksanakan di zaman modern ini. Para elite politik atau
mereka yang terlibat dalam akses politik formal dalam gelanggang pemilu akan
melakukan segala cara untuk bisa mendapatkan kekuasaan atau
mempertahankannya. Budaya luhur masyarakat Indonesia yang tepa selira dan
selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dikesampingkan. Nilai moral dan
agama yang mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan mengasihi sesama
saudaranya dibuang jauh-jauh. Semua itu dilakukan dengan tujuan satu, yaitu
mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Kedua,
kajian aspek sosiologis. Menurut teori mobilisasi, kerusuhan adalah alat
politik. Ia dengan mudah dapat digunakan kelompok tertentu dalam rangka
kepentingan politik. Teori ini beranggapan bahwa kerusuhan itu diciptakan dan
secara sengaja dimobilisasi. Kekerasan yang lahir dalam kerusuhan adalah
bagian dari skenario untuk menghasilkan efek politik tertentu. Dengan topeng
manis bernama demokrasi dan kebebasan berpendapat, mereka memaksakan kehendak
dengan memobilisasi massa untuk melakukan tindakan destruktif pada lawan
politiknya, mulai menyebar teror, intimidasi, sampai pada kerusuhan dengan
tujuan menghasilkan efek politik tertentu seperti pembatalan pilkada,
penghitungan ulang, atau tawar-menawar pembagian kekuasaan (sharing of power)
Ketiga,
kajian aspek psikologi massa. Teori perilaku kolektif dapat diartikan sebagai
suatu tindakan yang relatif spontan, tidak terstruktur, dan tidak stabil dari
sekelompok orang yang bertujuan menghilangkan rasa ketidakpuasan dan
kecemasan. Pada sekumpulan individu yang mempunyai kepentingan yang sama
mudah sekali digerakkan pada perilaku tertentu. Penggeraknya adalah individu
yang dianggap tokoh. Pada proses pemilu, para calon presiden/kepala daerah
merupakan tokoh yang menggerakkan kekerasan karena ketidakpuasan atas hasil
pemilihan.
Dipertahankan atau
Dihapus
Berbagai
peristiwa yang terjadi terkait dengan pemilu ini memaksa kita untuk mengkaji
apakah layak konsep pemilu secara langsung ini dipertahankan dalam alam
demokrasi kita? Berbagai wacana tentang penghapusan pemilu secara langsung,
khususnya pada pilkada, banyak bergulir. Salah satunya datang dari mantan
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Hasyim Muzadi yang
mengusulkan pilkada secara langsung dihapus. Sistem pilkada langsung justru
menyuburkan pragmatisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Menurut
Hasyim, pragmatisme akan menghancurkan tata nilai serta keluhuran lokal dan
pribadi masyarakat. Ini akan mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta pemimpin dengan sikap cash and carry. Artinya, ketika
ditagih janjinya, mereka tidak bertanggung jawab karena merasa sudah membeli
suara rakyat. Sementara itu, wacana yang bersifat ’’jalan tengah’’ datang
dari Mendagri Gamawan Fauzi yang mengusulkan, dalam rangka penghematan
anggaran, pilkada langsung hanya dilakukan pada pemilihan bupati/wali kota.
Gubernur cukup dipilih langsung oleh presiden. Hal tersebut sudah
ditindaklanjuti dengan membawa wacana ini dalam pembahasan revisi UU No 32
Tahun 2004. Terlepas dari berbagai wacana tersebut, menurut saya, tidak ada
yang salah dengan sistem pemilu secara langsung. Yang salah adalah personal
atau individu yang menjalankan sistem. Ibarat pisau, bila dipergunakan oleh
orang jahat, ia bisa melukai bahkan membunuh. Sebaliknya, bila digunakan oleh
juru masak, ia bisa membantu proses pembuatan masakan yang lezat dan bisa
menyejahterakan orang yang memakan. Sekarang mampukah para elite politik dan
masyarakat menjalankan sistem ini dengan baik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar