Berkaca
pada Deflasi di Zona Euro
Firmanzah ; Staf Khusus Presiden Bidang
Ekonomi dan Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 25 Agustus 2014
Pemulihan
ekonomi Zona Euro kembali menghadapi ancaman serius ketika tiga kekuatan
ekonomi terbesar kawasan itu pada Juli lalu mencatatkan kinerja di luar perkiraan
Bank Sentral Eropa (ECB). Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kawasan
Euro diperkirakan hanya mencapai 0,1% pada kuartal kedua dan lebihrendahdari
kuartalpertama sebesar 0,2%.
Ekonomi
Jerman terkontraksi 0,2%, Prancis melaporkan mengalami stagnasi pertumbuhan
dengan ancaman defisit di atas 4%, sementara Italia kembali meneruskan tren
kontraksi mengarah ke resesi yang telah dialami dalam beberapa kuartal
terakhir. Di Eropa Timur, khususnya Polandia, Republik Ceko, dan Rumania juga
menunjukkan perlambatan, bahkan ekonomi Rumania dilaporkan berkontraksi 1%
pada kuartal II 2014. Kondisi di atas diperburuk situasi politik Zona Euro
dengan perseteruan antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan potensi
terhentinya bantuan internasional ke kawasan ini.
Indeks
kepercayaan konsumen di 18 negara yang tergabung dalam Zona Euro juga
melemah. ECB Juli lalu mengumumkan kawasan Zona Euro kembali dibayang-bayangi
risiko deflasi yang berpotensi menjerumuskan ekonomi kawasan tersebut. Bank
Sentral Eropa itu melaporkan inflasi yang sangat rendah Juli lalu di level
0,4% dan merupakan inflasi terendah sejak 2009. Inflasi yang di bawah 1% ini
dipandang banyak kalangan akan semakin menyulitkan otoritas kawasan tersebut
untuk mendorong pemulihan di kawasan Eropa.
Dengan
profil inflasi terebut, ECB mengisyaratkan akan menurunkan suku bunga ke
level 0,15% atau lebih rendah dari saat ini 0,25% dan rencana peningkatan
stimulus moneter di kawasan tersebut. Ekspektasi inflasi kawasan Euro yang
didesain 2% oleh ECB untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sepertinya sulit
diwujudkan dari perkembangan yang dijelaskan di atas. Deflasi memiliki efek
yang sama dengan inflasi yang terlalu tinggi sehingga inflasi perlu dijaga
dalam rentang yang aman dan memungkinkan ekonomi terus tumbuh, tetapi tidak
membahayakan fundamental ekonomi.
Negara-negara
kawasan Euro yang menghadapi risiko inflasi rendah (deflasi) seperti
Portugal, Spanyol, dan Italia diperkirakan semakin membebani pemulihan
kawasan Euro dengan target inflasi yang disampaikan ECB. Tingkat inflasi di
Portugal mencapai minus 0,7% pada kuartal II 2014, inflasi di Spanyol diperkirakan
turun ke level 0,3%, sementara Italia juga semakin buruk. Kinerja inflasi di
Portugal, Spanyol, dan Italia ini juga menyebabkan ekonomi di ketiga negara
tersebut semakin sulit keluar dari persoalan utang dengan tren yang terus
meningkat.
Italia
kini menghadapi persoalan utang yang sangat serius di mana rasio utang
terhadap PDB telah mencapai 135,6%, sementara rasio utang Portugal juga
meningkat ke level 132,9%. Belajar dari realitas di kawasan Euro, pengelolaan
risiko inflasi menjadi sangat relevan bagi perekonomian nasional. Desain
kebijakan ekonomi nasional, khususnya pengelolaan risiko inflasi, menjadi
fokus perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dilakukan tidak hanya
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga menggairahkan aktivitasaktivitas
ekonomi produktif.
Badan
Pusat Statistik (BPS) melansir indeks harga konsumen Juli 2014 sebesar 0,93%,
inflasi tahun kalender sebesar 2,94%, inflasi tahun ke tahun (yoy) 4,53%,
inflasi komponen inti 0,52%, dan inflasi komponen inti yoy 4,64%. Inflasi
Juli 2014 dipengaruhi utamanya oleh kelompok bahan makanan sebesar 1,94%.
Kinerja neraca perdagangan semester I 2014 juga menunjukkan perbaikan
signifikan. Pada periode semester I 2014, nilai ekspor Indonesia kumulatif
mencapai USD88,83 miliar atau menurun 2,46% jika dibandingkan periode tahun
lalu. Dan nilai impor mencapai USD89,98 miliar atau menurun 4,7% dibandingkan
periode tahun lalu.
Dengan
demikian secara keseluruhan defisit semester I 2014 berkisar USD1 miliar
akibat besarnya defisit migas. Namun kinerja perdagangan nonmigas semester I
2014 mencatatkan surplus USD5 miliar (di luar migas yang defisit USD6,1
miliar). Kebijakan masuk ke pasarpasar nontradisional seperti Nigeria, Mesir,
Peru, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan, Laos, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dan
Hong Kong telah berhasil mendorong kinerja perdagangan nasional di tengah
melambatnya permintaan dunia. Perbaikan kinerja neraca dagang dan inflasi
menunjukkan berjalannya bauran kebijakan (policy
mix) yang ditempuh selama ini.
Bauran
kebijakan antara otoritas fiskal dan moneter dilakukan untuk terus menjaga
stabilitas perekonomian nasional di tengah risiko global yang semakin
kompleks. Pengendalian inflasi di rentang tertentu yang dipandang tidak hanya
sebagai instrumen pertumbuhan, melainkan juga mendorong penguatan fundamental
ekonomi nasional sehingga sejumlah proses pembangunan dapat terus berjalan.
Tahun 2014, pemerintah dalam APBN Perubahan 2014 menargetkan pertumbuhan
ekonomi nasional di level 5,5%, sedangkan inflasi ditargetkan berada di level
5,3%.
Dengan
target ini, perekonomian nasional diharapkan dapat tumbuh positif sehingga
sejumlah agenda pembangunan dapat semakin ditingkatkan. Pengendalian risiko
inflasi juga ditunjukkan pemerintah pada tahun 2013 lalu ketika menempuh
kebijakan penyesuaian harga BBM subsidi. Artinya desain kebijakan inflasi
perlu dirumuskan dengan sangat hati-hati. Inflasi yang terlalu tinggi dan
terlalu rendah (deflasi) adalah kondisi yang dihindari pemerintah dalam
beberapa tahun terakhir.
Hal
ini menyebabkan kehati-hatian dalam sejumlah kebijakan yang akan ditempuh.
Pengendalian inflasi juga diwujudkan dengan membentuk tim pengendalian
inflasi baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga gejolak harga di tingkat
masyarakat dapat terus terjaga. Kita optimistis pemerintahan berikutnya
periode 2014- 2019 akan terus meningkatkan pengelolaan inflasi sebagai salah
satu kebijakan utama perekonomian nasional. Pemerintahan ke depan juga perlu
mewaspadai dan mengantisipasi normalisasi moneter dengan dinaikkannya suku
bunga di Amerika Serikat yang direncanakan tahun 2015 dan tentunya akan
memiliki dampak bagi perekonomian nasional.
Koordinasi
dan bauran kebijakan baik di sektor fiskal, moneter maupun riil perlu untuk
terus ditingkatkan sebagai manifestasi kedisiplinan serta kehati-hatian dalam
pengelolaan kebijakan perekonomian nasional. Dengan upaya ini, kita berharap
perekonomian nasional akan terus tumbuh kuat, berkualitas, dan semakin
bertenaga dalam mewujudkan pembangunan yang sedang berjalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar