Jumat, 08 Agustus 2014

Pemilu, Kiai, dan Fatwa Politik

Pemilu, Kiai, dan Fatwa Politik

Fariz Alniezar  ;   Peneliti dan Pengajar
di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU), Jakarta
KOMPAS, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

KONTESTASI pemilu, dalam arti ritus mencoblos, sudah selesai. Pemenangnya pun, sesuai dengan pengumuman resmi KPU, telah kita ketahui bersama: Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kecuali keriuhan di media sosial, kondisi berbangsa dan bernegara sampai saat ini terbilang aman dan rakyat tetap menjalani kehidupan setelah pemilu dengan riang gembira. Namun, di balik itu semua, ada pemandangan yang perlu diketengahkan dalam konteks pemilu presiden kali ini. Pemandangan tentang politik kiai yang tampaknya sudah mengalami pergeseran. Kiai yang dilabeli sebagai makelar budaya oleh Clifford Geertz (1980) pada kesempatan kali ini menjelma menjadi hanya sebatas makelar politik.

Dekadensi politik

Yahya C Staquf (2009) dalam sebuah esainya berjudul ”Dekadensi Politik Kiai” pernah menganalisis gejala degradasi pilihan politik kiai. Ia menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab mengapa ”suara” kiai dalam ranah perpolitikan tidak lagi didengarkan oleh masyarakat.

Pertama, bergesernya nilai-nilai perjuangan politik kiai yang awalnya idealis menjadi pragmatis dan cenderung hanya sebatas dukung-mendukung. Kedua, mengerdilnya kekuasaan kiai menjadi hanya sebatas pesantren yang diasuhnya sehingga menyebabkan warga di luar pesantren tidak menganggap ”suara” sang kiai lagi. Ketiga, rontoknya nilai luhur ideologi dari daftar motivasi politik rakyat.

Analisis yang ditawarkan oleh Yahya C Staquf di atas sangat relevan dengan dunia perpolitikan kita saat ini. Pendangkalan dan supervisialisme ketidakpercayaan terhadap suara politik kiai oleh masyarakat sudah sangat meluas.

Bahkan, sebagai bentuk penegasan terhadap anjuran memilih seorang calon tertentu, seorang kiai merasa perlu mengeluarkan fatwa sebagai legitimasi simbolik bahwa barang siapa tidak mengikuti pilihan kiainya akan durhaka. Lebih dari itu, kiai juga merasa perlu mengeluarkan semacam surat edaran yang intinya mengajak untuk mendukung calon presiden-calon wakil presiden tertentu.

Memang benar bahwa berdasarkan kajian antropologis, kiai adalah gelar agung yang diberikan masyarakat secara tulus karena kontribusinya dalam masyarakat dan mampu menjadi rujukan masyarakat atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, kiai bukanlah gelar yang dikejar, melainkan gelar yang didapatkan.

Berdasarkan hal itu, kiai adalah seorang yang alim. Kata alim dalam kajian leksikologi berarti ’memahami suatu persoalan secara komprehensif’, ia paham akan sesuatu secara menyeluruh. Dalam hal ini, Emha Ainun Najib (2008) mengatakan bahwa alim adalah to understand, mengerti dan tidak hanya sebatas mengetahui. Jika derajat seseorang hanya pada taraf mengetahui, berarti ia baru bisa disebut arif atau to know. Hal itulah yang bisa menjadi pijakan bagi kita bersama untuk mengatakan bahwa seorang kiai—terlebih dalam masa pemilu semacam sekarang ini—punya pandangan yang matang, punya keilmuan yang menyeluruh, serta punya kapasitas, kredibilitas, kapabilitas, dan akseptabilitas yang mumpuni.

Di pihak lain, sosiolog Ibnu Khaldun (1988) dalam Muqaddimah mengatakan bahwa hal mendasar yang paling memengaruhi pola pikir manusia adalah lingkungan serta alam sekitarnya. Artinya, jika kita balik ke masa Orde Baru, kiai yang berkecimpung dalam percaturan politik sangatlah sedikit dan bahkan bisa dihitung dengan jari. Mereka, para kiai beserta santrinya, cenderung menerapkan politik ”isolasi diri”.

Hal itu wajar karena alam demokrasi pada masa itu belum terbuka. Namun, jika kita tilik masa sekarang, ketika keran demokrasi sudah dibuka lebar, dapat dikatakan bahwa pesantren sudah mempunyai pikiran terbuka terhadap percaturan politik. Hal itulah yang kemungkinan besar membangkitkan gairah para kiai untuk ikut andil dalam rangka membangun serta meluruskan perpolitikan Indonesia yang masih karut-marut ini.

Kiai, sebagaimana gambaran di atas, adalah seorang ulama. Ia punya semangat yang menggebu-gebu dalam meneruskan perjuangan Rasulullah karena Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi.

Nabi sendiri, sebagaimana terekam dalam beberapa literatur sejarah, bukan saja seorang yang diutus untuk memperbaiki akhlak manusia dan menyampaikan wahyu, melainkan juga seorang negarawan dan politikus. Beliau adalah diplomat ulung yang mampu menyatukan penduduk Muslim dan non-Muslim melalui Piagam Madinah.

Artinya, berdasarkan hal itu, wajar jika para kiai pun banyak yang mengikuti jejak Rasulullah. Mereka tidak hanya berjuang lewat pesantren, tetapi juga merambah dunia politik.

Terjebak pragmatisme

Walaupun banyak calon pemimpin yang sebelum dilaksanakan pemilihan meminta dukungan para kiai, belum tentu dukung-mendukung itu punya pengaruh besar. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Kacung Marijan (2011), golongan pemilih yang berbasis pesantren (santri) sudah banyak yang memilih berdasarkan rasionalitas dan tidak jarang juga berdasarkan besar-kecilnya ”imbalan” yang diberikan calon pemimpin daerah tersebut.

Hal itu terbukti, sebagaimana yang dikatakan Akhmad Zaini (2009), bahwa pendapat seorang kiai sudah mengalami desakralisasi. Itu berarti banyak santri yang tidak menyakralkan anjuran politiknya dan berbelok memilih berdasarkan hal-hal yang pragmatis, seperti berdasarkan—meminjam istilah Akhmad Zaini—besar atau kecilnya sedekah.

Merujuk pada pandangan di atas, mau tidak mau, seharusnya seorang kiai di tengah konstelasi alam perpolitikan yang semakin kabur dan pragmatis, seperti yang terjadi pada pemilu kali ini, harus membekali diri dengan pandangan-pandangan yang luas. Seorang kiai sudah seharusnya memiliki ufuk serta cakrawala pengetahuan yang komprehensif sehingga pilihan-pilihan serta langkah politiknya tidak terjebak ke dalam ranah pragmatisme, bahkan machiavellianisme.

Walhasil, seharusnya pemilihan presiden kali ini adalah momen yang tepat untuk mengembalikan sakralitas politik kiai. Kiai bukanlah makelar politik yang hanya sibuk terlibat dalam dukung-mendukung serta fatwa-memfatwa demi kekuasaan. Kiai harus menjaga pandangan serta wejangan politiknya agar masyarakat tidak kabur dalam membedakan mana kiai yang ”sungguh-sungguh berpolitik” dan mana kiai yang ”berpolitik sungguh-sungguh”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar