AQJ
dan Peradilan Pidana Anak
Putri Kusuma Amanda ; Pusat Kajian Perlindungan Anak FISIP UI
|
KOMPAS,
08 Agustus 2014
DI tengah hiruk-pikuk berita mengenai pemilihan presiden dan mudik,
satu isu penting tampaknya luput dari pemberitaan. Isu itu mengenai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA) yang harus sudah efektif diterapkan pada Agustus 2014. Ia semakin
penting setelah sebuah putusan yang tak kalah hangatnya atas perkara AQJ.
Sayangnya lagi, berita itu tenggelam oleh dinamika politik di sini.
Pengadilan Negeri baru-baru ini mengeluarkan putusan AQJ terkait
kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian seseorang. Hakim
memutuskan AQJ bersalah dan memberikan tindakan mengembalikan AQJ kepada
orangtua. Putusan ini contoh putusan yang berorientasi kondisi dan kebutuhan
seorang anak. Tersirat bahwa sebuah perkara, meski berat, dapat diselesaikan
dengan baik tanpa harus memasukkan seorang anak ke penjara.
Proses yang terjadi dalam perkara AQJ mencerminkan alternatif
penyelesaian perkara yang berpihak pada kepentingan anak. Sayangnya, proses
itu tak banyak terjadi pada anak-anak lain. Tulisan ini tak bermaksud menilai
putusan itu, tetapi lebih merefleksikan proses yang terjadi.
Ribuan ditahan di penjara
Sementara AQJ mendapat penangguhan penahanan, populasi anak yang
ditahan senantiasa meningkat. Data Ditjen Pemasyarakatan per 3 Juli 2014
menunjukkan 2.087 anak ditahan di berbagai institusi penahanan yang tersebar
di Indonesia. Angka ini meningkat dibandingkan populasi tahanan anak pada
2011: 1.971 tahanan anak menunggu proses peradilan pidana.
Ketika AQJ mendapat tindakan pengembalian kepada orangtua,
sebagian besar anak yang ditangkap justru mendapat putusan pidana penjara.
Departemen Kriminologi UI dan Unicef menemukan 85 persen anak yang ditangkap
karena melakukan tindak pidana akan langsung diproses ke tahap penuntutan, 80
persen di antaranya berlanjut ke pemeriksaan di persidangan, dan 61 persen di
antaranya diputus penjara. Sebagian besar kasus anak-anak itu: pencurian
ringan.
Kesempatan bagi AQJ kembali berkarya pun tak banyak dimiliki
anak-anak yang ditahan kemudian dipenjara. Hal ini disebabkan anak-anak yang
ditahan dan dipenjara pada umumnya tak mendapat bimbingan dan fasilitas yang
dibutuhkan untuk perkembangan jiwa mereka.
Beberapa bahkan terpaksa ditempatkan bersamaan dengan tahanan
dewasa sehingga meningkatkan kemungkinan anak menjadi korban kekerasan,
pelecehan, dan penyiksaan dari orang dewasa. Penggunaan alkohol dan peredaran
narkoba, buruknya kualitas makanan, dan penyakit yang tak mendapat pengobatan
layak jadi masalah selanjutnya.
Dengan berbagai dampak buruk yang diakibatkan penahanan dan
pemenjaraan anak, kebutuhan mencari alternatif penyelesaian perkara anak pun
semakin tinggi. Model-model alternatif dibuat untuk lebih menekankan pada
kebutuhan anak dibimbing dan dibina agar anak tumbuh menjadi pribadi yang
produktif bersama keluarga dan lingkungan yang mendukungnya.
Selandia Baru, misalnya, telah menerapkan family group
conference yang mempertemukan antara anak pelaku, korban, keluarga korban dan
pelaku, dan tokoh masyarakat menemukan penyelesaian bersama tanpa harus
melalui proses peradilan. Pengalihan seperti inilah yang dikenal dengan
istilah diversi yang berusaha diakomodasi Indonesia melalui UU SPPA.
Juli 2012 jadi sebuah momen penting perbaikan sistem pidana anak
di Indonesia dengan disahkannya UU SPPA yang menggantikan UU No 3/1997
tentang Pengadilan Anak. UU SPPA mencantumkan masa penahanan yang lebih
singkat dan juga mempromosikan upaya penangguhan penahanan. Dengan demikian,
anak-anak yang ditangkap masih mendapat kesempatan tidak ditahan, seperti
halnya yang terjadi pada kasus AQJ.
UU SPPA mengakomodasi mekanisme diversi yang sebelumnya tak
diatur di dalam UU Pengadilan Anak. Polisi, jaksa, dan hakim wajib
mengedepankan penyelesaian musyawarah terlebih dahulu sebelum membawa seorang
anak ke dalam mekanisme peradilan konvensional.
Diharapkan, dengan adanya mekanisme ini, akan muncul tiga
manfaat. Pertama, anak yang melakukan tindak pidana terhindar dari pengaruh
negatif penahanan dan penjara. Kedua, telah ditemukan penyelesaian yang lebih
bermanfaat untuk pemulihan korban. Ketiga, meningkatnya kesadaran masyarakat
melalui tokoh masyarakat untuk membimbing—bukan menstigma— anak yang
melakukan tindak pidana itu.
Berbagai alternatif
UU SPPA juga memberikan berbagai alternatif bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan sesuai dengan kebutuhan anak. Jika proses musyawarah
diversi tak berhasil menemukan titik temu dan proses penanganan anak
dilanjutkan hingga ke tahap pemeriksaan di pengadilan, hakim dapat
menjatuhkan putusan lain selain pemenjaraan. Alternatif putusan yang dapat
dijatuhkan hakim antara lain adalah pembinaan di dalam lembaga, pelayanan
masyarakat, pelatihan kerja, dan rehabilitasi.
Dengan UU ini, diharapkan anak-anak yang melakukan tindak pidana
mendapat perlakuan dan fasilitas memadai sesuai kebutuhan mereka untuk
dibina. Bukannya dijauhkan dari keluarga, mendapatkan perlakuan kasar dari
petugas penegak hukum, lalu kemudian mendapatkan stigma masyarakat sebagai
”anak nakal” atau ”penjahat”.
Dua tahun sudah UU SPPA disahkan, dua tahun ini pula waktu yang
harus dipersiapkan pemerintah agar UU ini dapat diterapkan secara efektif dan
meminimalkan kendala yang muncul di dalam pelaksanaannya. Agustus 2014 jadi
momen penting bagi sistem peradilan pidana anak karena tepat pada bulan
tersebut UU SPPA harus sudah diberlakukan. Namun, berbagai strategi dan
langkah tindak lanjut untuk menerapkan UU ini belum terencana dengan baik.
Peraturan pemerintah yang seharusnya bisa memberikan pedoman
tindak lanjut dalam menerapkan UU SPPA hingga saat ini tak kunjung rampung.
Padahal, UU SPPA telah mengamanatkan peraturan lebih lanjut mengenai jenis
penjatuhan pidana dan tindakan, mekanisme diversi, program pendidikan dan
pembinaan anak, serta pedoman koordinasi dan evaluasi antarinstansi. Sampai
saat ini belum terdapat pedoman yang lengkap dan seragam yang bisa digunakan
berbagai instansi yang berperan besar mencapai tujuan UU itu.
Selain itu, jumlah petugas dan hakim anak masih sangat minim,
dan jumlah fasilitas pembinaan khusus anak masih belum mencapai target
minimal yang dibutuhkan untuk menerapkan UU SPPA. Situasi ini semakin
diperparah dengan minimnya data yang akurat tentang jumlah anak yang masuk
dan keluar dari sistem peradilan pidana. Padahal, data merupakan salah satu
ukuran yang bisa digunakan menentukan strategi perbaikan sistem peradilan
pidana anak.
Amat disayangkan jika kesempatan dua tahun mempersiapkan
pelaksanaan UU SPPA tak dimanfaatkan. Sebuah UU yang telah dirancang dengan
baik jadi percuma jika instansi yang bertugas menerapkannya tak menerima
pedoman memadai. Semangat dan tujuan yang diangkat UU SPPA pun sulit dicapai.
Dengan segala keterbatasan persiapan yang ada, setiap institusi
perlu mengatasi ketertinggalan dalam menyiapkan pelaksanaan UU SPPA itu.
Mahkamah Agung tengah merancang peraturan Mahkamah Agung untuk pedoman bagi
hakim dalam menerapkan UU SPPA.
Pada waktu bersamaan Kementerian Sosial senantiasa melakukan
pendekatan kepada pemerintah daerah dan institusi lain menjalin kerja sama
dalam pembangunan pusat-pusat pembinaan anak. Harapan kami, inisiatif yang
sama juga dilakukan institusi lain yang terlibat dalam penerapan UU ini.
Saatnya seluruh pihak bekerja sama supaya anak-anak yang
melanggar hukum dapat menerima pendidikan dan pembimbingan yang tepat sesuai
dengan tingkat keseriusan perkara, kedewasaan pelaku anak, dan akibat yang
di- timbulkan kepada korban. Dengan begitu, akan muncul solusi alternatif
atau putusan yang lebih memperhatikan kondisi dan kebutuhan anak sebagaimana
halnya pada perkara AQJ.
Putusan serupa seharusnya diterapkan juga kepada anak-anak lain,
yang tak tersentuh media, yang orangtuanya tak berlatar ekonomi memadai, yang
tak punya akses pada pendampingan hukum dan psikososial yang layak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar