Dua
Agenda Pokok Perekonomian
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
08 Agustus 2014
DUNIA menyambut presiden dan wakil presiden terpilih dengan
antusias dan investor pun bergairah seusai penetapan Komisi Pemilihan Umum.
Dan benar, kemenangan tak perlu dirayakan berlebihan. Cukup
dengan pernyataan sederhana dari seorang presiden terpilih dan seruan lantang
kepada seluruh masyarakat untuk bekerja sama menghadapi persoalan bangsa. Tak
ada kemewahan berleha-leha karena persoalan rumit sudah menunggu di depan
mata, bahkan sudah terlalu lama.
Pertama, beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik yang
berpotensi menimbulkan komplikasi masalah, bahkan pada hari pertama
pemerintah baru nanti persis setelah dilantik. Kedua, beban neraca transaksi
berjalan yang tak semakin ringan sehingga berpotensi membalikkan seluruh
sentimen positif investor yang sekarang ini ada. Hal ini juga terkait dengan
kebijakan Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang tengah menjalankan normalisasi
kebijakan moneter lewat kenaikan suku bunga the Fed Fund Rate yang
direncanakan mulai tahun depan.
Ada korelasi antara kompleksitas domestik dan situasi global.
Tahun lalu, ketidakmampuan kita mengeksekusi kebijakan terkait BBM membuat
kita ”dipaksa” melakukannya di tengah situasi global yang kurang bersahabat.
Waktu itu, kenaikan harga BBM terjadi hampir bersamaan dengan pengumuman
rencana pengurangan stimulus AS (tapering-off).
Kebijakan buruk dilakukan dalam situasi tak baik menjadi kombinasi yang
membuat rupiah terguncang, indeks merosot, dan biaya penerbitan obligasi
menanjak. Hingga hari ini, pengetatan moneter masih terasa sehingga dunia
bisnis terasa tak bisa menghela napas lega.
Terkait momentum kebijakan ada dua hal pokok. Pertama, jangan
sampai kita mengulangi kesalahan yang sama, di mana kenaikan harga BBM
dilakukan bersamaan dengan penarikan likuiditas pada level global. Tahun
depan pengetatan likuiditas sudah bisa dibaca terkait rencana kenaikan Fed
Fund Rate. Kedua, momentum kepercayaan pada pasangan Jokowi-JK sebagai
eksekutor harus dibuktikan dengan akselerasi kebijakan konkret secara
progresif.
Defisit anggaran akibat
subsidi
Masalah pertama yang harus dihadapi pemerintah baru nanti adalah
pengetatan fiskal akibat beban subsidi energi. Tahun ini, akibat fluktuasi
rupiah dan beberapa faktor lain, beban subsidi terhadap fiskal bertambah
sekitar Rp 100 triliun. Dari negosiasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
terjadi kesepakatan pengetatan belanja kementerian dan lembaga hanya boleh
tak lebih dari Rp 50 triliun. Lalu, beban Rp 50 triliun lainnya dialihkan
pada anggaran 2015. Bisa dibayangkan, belum melakukan apa pun, pemerintah
baru sudah harus menanggung tambahan defisit Rp 50 triliun.
Potensi masalah yang harus dihadapi pemerintah baru tak hanya
pengalihan beban fiskal akibat kenaikan subsidi, tetapi juga terkait konsumsi
BBM. Dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) 2014 ditetapkan konsumsi BBM 2014 sebesar 46 juta kiloliter. Angka
itu mengacu pada konsumsi riil tahun sebelumnya. Jangan lupa, tahun lalu ada
kenaikan harga BBM sehingga konsumsinya berkurang. Tahun ini, tanpa kebijakan
berarti, dipastikan konsumsi BBM akan lebih tinggi. Kuota 46 juta kiloliter
sudah akan habis pada bulan November. Karena itu, harus ada revisi UU APBN-P
2014 melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu).
Bisa dibayangkan pemerintah baru dilantik 20 Oktober, bulan
berikutnya sudah harus bertarung di parlemen memperjuangkan perppu jika
konsumsi BBM tak bisa ditekan. Jadi, terkait subsidi BBM ini ada dua ancaman
sekaligus, yaitu pembengkakan anggaran yang berpotensi melanggar UU Keuangan
Negara jika defisit melampaui 3 persen, sekaligus UU APBN-P 2014 jika
konsumsi melewati 46 juta kiloliter.
Disengaja atau tidak, pemerintah dan parlemen lama telah
menimbulkan ruang gerak yang sempit bagi pemerintah baru. Karena itu, seruan
presiden terpilih untuk bersatu demi kepentingan bangsa menjadi hal amat
krusial. Persoalan defisit anggaran terkait besarnya konsumsi BBM menjadi
ujian politik pertama yang harus dilalui pemerintah baru. Keberhasilan
melakukan restrukturisasi fiskal dan energi ini juga menjadi acuan bagi para
investor karena mereka melihat defisit fiskal merupakan representasi dari
kekakuan ekonomi politik selama ini.
Pemerintah baru dan partai pengusung harus bersinergi secara
paralel melakukan ”pelonggaran kebijakan” melalui konversi energi sekaligus
”pelonggaran politik” lewat lobi di parlemen terkait beban fiskal akibat
subsidi. Pengurangan subsidi energi sudah tak bisa ditolak lagi, tinggal
bagaimana skenario yang akan diambil, apakah akan menaikkan harga secara
gradual selama lima tahun atau menetapkan subsidi dalam besaran tetap.
Keduanya membutuhkan konsensus politik yang kuat karena pasti menambah beban
rakyat sehingga sangat mudah dikonversi menjadi amunisi politik guna
”menjatuhkan” pemerintah baru.
Defisit neraca pembayaran
Mungkin saja banyak pendapat mengatakan, apa urusannya defisit
neraca pembayaran dengan kepentingan rakyat. Pemerintah baru yang diusung
rakyat tak perlu peduli terlalu besar dengan soal defisit neraca eksternal,
karena itu lebih terkait dengan kepentingan pihak luar. Tentu pendapat ini
salah total. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) memang merupakan rangkuman
seluruh transaksi kita dengan pihak asing dalam dua kategori besar, neraca
transaksi berjalan dan neraca modal finansial.
Secara sederhana bisa dikatakan defisit neraca transaksi
berjalan menunjukkan ketidakmampuan kita membiayai operasional (pertumbuhan)
ekonomi domestik dari sumber daya dalam negeri. Untuk itu perlu ditutup
dengan pembiayaan asing lewat surplus neraca modal dan finansial. Dengan
demikian, jika neraca modal dan finansial tak lagi mampu menutup defisit NPI,
artinya modal asing pun tak juga mau ”menolong” perekonomian kita untuk
tumbuh sesuai harapan kita.
Tentu saja, pertumbuhan ekonomi idealnya lebih banyak bertumpu
pada sumber daya domestik. Itulah esensi dari kemandirian ekonomi. Karena
itu, isu produktivitas dan penekanan pada pengembangan sumber daya manusia
menjadi penting. Namun, kebijakan sehebat apa pun baru akan terasa dampaknya
pada dua sektor ini setelah beberapa tahun bahkan dekade. Maka dari itu,
jelas tak bisa ditagih sebagai ukuran kinerja jangka pendek.
Meskipun demikian, ada berbagai faktor pendukung yang berfungsi
memandu kita menilai apakah target peningkatan produktivitas dan peningkatan
SDM sudah berada di jalur yang benar. Pembenahan birokrasi, izin investasi,
akselerasi pembangunan infrastruktur, pengaturan tata ruang, hingga kebijakan
pajak bisa menjadi leading indicator sehingga peningkatan produktivitas bisa
diukur keberhasilannya.
Pemerintah baru nanti mewarisi situasi tak terlalu baik dalam
hal produktivitas. Kita terlalu lamban membangun infrastruktur, energi, dan
reformasi birokrasi. Akibatnya, untuk membiayai pertumbuhan 5,3 persen tahun
ini, kita harus mengandalkan sumber daya asing cukup besar, ditunjukkan
dengan defisit transaksi berjalan yang masih berada pada kisaran 3 persen
tahun ini. Pada kuartal II tahun ini, defisit neraca transaksi berjalan
diperkirakan masih 9 miliar dollar AS atau setara dengan 4 persen produk
domestik bruto (PDB). Tahun lalu pada periode yang sama defisit mencapai 9,9 miliar
dollar AS atau 4,4 persen PDB. Kita masih ingat, akibat besarnya defisit itu,
investor berbalik arah sehingga kita dikategorikan dalam lima kelompok negara
paling rapuh (the Fragile Five)
oleh Morgan Stanley, bersama Brasil, Turki, India, dan Rusia.
Sejarah selalu berulang dalam siklus dengan pola yang lebih
kurang sama. Kelemahan kita tak banyak belajar dari pengalaman sehingga
cenderung melakukan kesalahan (kebijakan) yang sama. Pemerintah baru
diharapkan mampu keluar dari twin deficits (defisit neraca pembayaran dan
defisit fiskal) agar kita tak ditinggalkan para pemodal yang juga kita
butuhkan memupuk kinerja perekonomian sambil memperbaiki produktivitas yang
begitu rapuh ini. Selamat bekerja presiden dan wakil presiden baru, terutama
tim ekonominya. Semoga momentum yang baik ini melahirkan tim ekonomi yang
baik dan kebijakan-kebijakan yang baik pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar