Pemerintah
Baru, Masalah Lama
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua
Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
25 Agustus 2014
Pada
21 Agustus 2014 Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh permohonan dan
gugatan pihak Prabowo-Hatta, baik gugatan mengenai rekapitulasi suara oleh
KPU maupun gugatan menyangkut pelanggaran pelaksanaan Pilpres 2014, yang
diklaim bersifat terstruktur, masif, dan sistematis.
Dengan
demikian, masalah legalitas telah selesai, tetapi masalah legitimasi pimpinan
nasional terpilih ini seakan baru dimulai. Kita tahu, legalitas adalah
hubungan suatu jabatan dengan peraturan perundang-undangan: apakah adanya
suatu jabatan tertentu dibenarkan oleh UU, apakah pejabatnya sendiri memenuhi
persyaratan yang ditetapkan UU, dan apakah jabatan itu diperoleh melalui
prosedur yang tidak bertentangan dengan ketentuan UU? Karena itulah legalitas
ditetapkan oleh lembaga peradilan.
Legitimasi,
sebaliknya, merujuk pada hubungan antara seorang pemimpin dan rakyat yang
dipimpinnya. Di sini dipersoalkan apakah wewenang dan kekuasaan yang
diberikan kepada seorang pemimpin merupakan kekuasaan yang disetujui dan
dibenarkan oleh mereka yang akan dipimpinnya? Apakah suara dan persetujuan
rakyat diberikan melalui lembaga-lembaga yang mewakili rakyat dan melalui
proses yang menjamin keterwakilan rakyat?
Legitimasi
adalah kelayakan suatu kekuasaan politik untuk mendapat pengakuan (Anerkennungswuerdigkeit einer politischen
Ordnung, kata filsuf Juergen Habermas) karena didukung oleh kepercayaan
rakyat. Tentu saja kepercayaan itu diberikan berdasarkan keyakinan bahwa
pemimpin tersebut bakal memperhatikan aspirasi rakyat yang dipimpinnya dan
sanggup memenuhi aspirasi itu melalui program politiknya.
Sosialisasi
visi dan misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden selama masa
kampanye dimaksudkan untuk menunjukkan kepada rakyat apa yang hendak
dilakukan oleh sepasang calon kalau mereka diberi kekuasaan dan mandat
sebagai presiden dan wakil presiden. Sekalipun demikian, setiap sosialisasi
visi dan misi punya keterbatasannya sendiri.
Keterbatasan
pertama ialah visi dan misi menunjukkan apa yang hendak dan ingin dilakukan,
tetapi belum menunjukkan apakah pemimpin bersangkutan sanggup melaksanakan
apa yang diinginkannya. Selain itu, visi dan misi memang menunjukkan apa yang
dipikirkan seorang calon pemimpin, tetapi belum menunjukkan sama sekali siapa
sebenarnya calon pemimpin itu: bagaimana riwayat hidup dan riwayat kepemimpinannya,
bagaimana profil kepribadiannya, apa saja keunggulan kompetensi dan keutamaan
dalam wataknya yang bisa diandalkan, serta apa saja kelemahannya yang dapat
mengganggu dan merugikan kepemimpinannya.
Hal
ini tertolong dengan adanya debat di televisi antarpara calon. Dalam
debat-debat itu rakyat dapat menyaksikan bagaimana setiap pasangan
menyampaikan gagasan, mengajukan pertanyaan, dan memberikan jawaban.
Debat-debat itu dapat menunjukkan bagaimana setiap pasangan memperjelas dan
mempertahankan gagasan mereka. Selain itu, diperlihatkan juga sikap para
calon dalam menghadapi pujian dan kritik, bagaimana menangkis serangan dan
menanggapi pertanyaan yang sensitif, serta sejauh mana seorang calon pemimpin
membuka mata untuk melihat realitas sosial-politik tanpa distorsi berlebihan.
Beberapa pertanyaan
Dengan
putusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014, persoalan hukum dengan
pihak Prabowo-Hatta relatif selesai, tetapi kini pasangan Jokowi-JK
berhadapan dengan rakyat yang memilih mereka. Pada titik ini dapat muncul
beberapa pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tak cukup lagi
diberikan lewat pidato resmi atau orasi di berbagai kesempatan, tetapi
melalui tindakan dalam mengimplementasikan apa yang dijanjikan dalam visi dan
misi, dan secara khusus dalam sembilan program yang dinamakan Nawa Cita. Ada beberapa tingkat
pertanyaan yang patut diuraikan dengan lebih rinci di sini, sambil merujuk
pada sembilan program Nawa Cita.
Pertama,
apakah Jokowi-JK berkomitmen penuh dan sanggup meneruskan dan menyempurnakan
program yang belum terselesaikan dalam pemerintahan sebelumnya? Apakah mereka
sanggup menghadirkan negara sebagai institusi tertinggi yang harus memberikan
perlindungan dan rasa aman bagi seluruh bangsa dan setiap warga negara?
Dapatkah dibangun suatu pemerintahan bersih yang efektif sekaligus
demokratis? Apakah mereka cukup kuat mendorong terciptanya public good governance melalui
penegakan hukum dan reformasi birokrasi sehingga pemerintahan jadi
bermartabat dan tepercaya karena terbebas dari korupsi? Mungkinkah didorong
produktivitas rakyat dan dipacu kemampuan bersaing di pasar internasional? (Nawa Cita no 1, 2, 4, dan 6).
Kedua,
apakah mereka sanggup meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, fisik
dan nonfisik, yang akan tecermin dari naik-turunnya indeks pembangunan
manusia di Indonesia? Selanjutnya, apakah kemandirian ekonomi dapat makin
diperkuat dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik? Ini
artinya akan ada suatu ekonomi di Indonesia yang lebih mencerminkan kepentingan
Indonesia dan kekuatan ekonomi nasional, tak sekadar jadi bayangan atau gema
ekonomi global. Juga, adakah kesanggupan dan tekad berkelanjutan untuk
memperkuat kebinekaan yang pasti akan menghadapi dua tantangan sekaligus.
Dari dunia internasional, kebinekaan berhadapan dengan potensi homogenisasi
kebudayaan sebagai arus kuat yang datang bersama globalisasi kebudayaan
industrial. Dari dalam negeri, kebinekaan dan kemajemukan akan berhadapan
dengan kecenderungan sektarian dengan tendensi yang monolitik, yang melihat
perbedaan sebagai ancaman (Nawa Cita no
5, 7, dan 9).
Ketiga,
apakah pemerintahan baru nanti dapat membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah dan desa-desa dalam kerangka NKRI? Ini cita-cita
mulia yang orisinal, tetapi yang akan menghadapi kesulitan besar dalam
memfalsifikasi konsep center-periphery
dalam teori world system atau teori
dependentia dari Amerika Latin. Juga, sama ambisiusnya, meskipun sama sahnya
untuk melakukan revolusi karakter bangsa, antara lain dengan membalikkan
proporsi pendidikan karakter dan pengajaran ilmu pengetahuan dalam kurikulum
sekolah. Asasnya: makin rendah tingkat pendidikan, makin besar porsi
pendidikan karakter, dan makin tinggi tingkat pendidikan, makin besar porsi
pengajaran ilmu pengetahuan (Nawa Cita
no 3 dan 9).
Pertanyaan
pertama dapat dipastikan akan banyak mendapat dukungan dari Presiden SBY
karena program-program di tingkat ini lebih kurang meneruskan apa yang sudah
dilakukan oleh rezim pemerintahan sebelumnya. Sesuai janji SBY, kelanjutan
ini akan mendapat dukungannya dan dukungan Partai Demokrat yang dipimpinnya.
Pemerintahan yang bersih, good
governance, penegakan hukum dan reformasi birokrasi, serta peningkatan
produktivitas rakyat dan penguatan kemampuan bersaing dalam ekonomi adalah
program-program yang amat sering terdengar dalam pemerintahan SBY meskipun
pelaksanaannya belum mencapai hasil yang dapat dianggap sebagai warisan
pemerintahannya. Kalau program-program di tingkat ini dapat dilaksanakan
dengan mulus dan dapat mengatasi berbagai hambatan dalam pelaksanaannya,
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dapat dikatakan berhasil.
Program-program
menyangkut pertanyaan kedua dapat dianggap lebih berani dari yang sudah
dilakukan pemerintahan SBY. Mengusahakan ekonomi yang semakin mandiri dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis dalam ekonomi domestik merupakan langkah
untuk menjawab tuduhan tentang kecenderungan ke arah neoliberalisme dalam
ekonomi Indonesia sekarang. Ekonomi tidak sekadar diperlakukan sebagai sektor
yang bergantung pada kekuatan pasar, tetapi amat ditentukan oleh kekuatan
rakyat sendiri.
Demikian
pula peningkatan kualitas manusia, kalau dijalankan sungguh-sungguh akan
banyak memengaruhi berbagai bidang, seperti kesehatan, etos kerja, kemampuan
dan pencapaian dalam belajar, peningkatan gizi, serta perhatian yang semakin
luas terhadap peranan etik dalam ekonomi dan politik. Peningkatan kualitas
manusia mau tak mau harus memperhatikan terbentuknya individu yang lebih
sehat dan matang secara intelektual dan sosial, yang sampai kini banyak
terabaikan karena salah paham bahwa perhatian pada terbentuknya individu yang
kuat akan membawa kepada individualisme.
Demikian
pula apabila kebinekaan dan kemajemukan bisa dikembangkan secara seimbang
dalam politik Indonesia, hal ini jelas menjadi fasilitas besar dalam
pengembangan demokrasi substantif. Kalau program-program di tingkat ini dapat
diimplentasikan dan dapat mengatasi hambatan-hambatan yang ada, pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla bukan saja berhasil, melainkan juga menciptakan kemajuan
dalam politik Indonesia.
Program yang amat
menantang
Pertanyaan
ketiga boleh dikata merupakan hasil pemikiran kelompok Jokowi-JK dan
memperlihatkan keberanian politik yang amat menantang. Menggerakkan ekonomi
dari pinggir ke titik yang lebih sentral merupakan suatu paradigma yang
menentang banyak realitas besar dalam pembangunan. Hal ini pun sepertinya
belum pernah dicoba di dalam politik Indonesia. Gerak yang terlihat dalam
pembangunan di berbagai negara adalah gerak dari sentrum ke periferi, yaitu
dari tengah ke pinggiran. Pinggir dalam konsep ini bukan saja keterangan
tempat, melainkan juga suatu ukuran kualitatif. Gelombang yang bergerak dari
pusat berupa kekuasaan dan modal akan semakin mengecil ketika sampai ke
pinggiran sehingga dalam banyak kasus pinggir menjadi bagian yang seluruhnya
bergantung pada suatu pusat.
Otonomi
daerah masih dapat jadi contoh. Delegasi wewenang dari pemerintah pusat ke
daerah masih saja menyisakan ketergantungan daerah ke pusat dalam hal
keuangan, khususnya daerah-daerah dengan pendapatan asli daerah yang kecil,
sehingga wewenang yang diserahkan ke daerah dari pintu depan masuk kembali ke
pusat dari pintu belakang. Sebab, setiap bulan bupati-bupati menghabiskan
hari kerjanya lebih banyak di Jakarta daripada di daerah.
Demikian
pula revolusi mental dan karakter jelas gagasan baru Jokowi-JK. Persoalan,
apakah terobosan di tingkat mental dapat menembus jaringan sosial yang sudah
terbentuk menurut pola lama serta dapat memperbarui kebudayaan fisik dan
basis materiil dalam kebudayaan Indonesia. Baiklah diingat bahwa Revolusi
Kebudayaan di Tiongkok di bawah Mao lebih tercatat sebagai kegagalan yang
menimbulkan desintegrasi masyarakat Tiongkok daripada memajukannya.
Itu
sebabnya kalau program menyangkut pertanyaan ketiga ini dapat dilaksanakan,
pemerintahan Jokowi-JK bukan saja akan berhasil (pertanyaan satu), dan bukan
juga membawa kemajuan (pertanyaan dua), melainkan membawa perubahan dan
pembaruan yang historis. Ibaratnya, pemerintahan baru ini bukan saja melakukan
perbaikan suatu teks dengan melakukan copy-editing
yang cermat sehingga teks yang lama menjadi lebih jelas terbaca, melainkan
menciptakan teks baru dengan narasi baru yang dapat melahirkan imajinasi baru
dalam politik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar