Beribu
Keruwetan untuk 8.000 Hektare Lahan
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 25 Agustus 2014
Berbuat atau tidak
berbuat
Berbuat berisiko
Tidak berbuat tidak
berisiko
Berbuat?
Tidak perlu berbuat?
Berbuat
atau tidak berbuat. Itulah yang harus diputuskan untuk mengurai kekusutan
8.000 hektare lahan perkebunan BUMN di Medan. Sudah bertahun-tahun lahan itu
diduduki orang. Ribuan rumah permanen berdiri di lahan tersebut. Setiap hari
jumlahnya bertambah. Tanpa bisa dicegah.
Dari
8.000 hektare itu, yang jadi rumah mencapai 4.000-an hektare. Tapi, karena
letak rumah-rumah itu bertebaran, tanah kosong yang kalau dijumlah masih
4.000 hektare itu tidak bisa dikuasai juga.
Secara
hukum, tanah itu milik PTPN II (Persero). Tapi, kenyataannya penuh dengan
masalah. Ribuan kasus hukum terjadi di situ. Itulah profil wilayah perkebunan
yang terus terdesak oleh perkotaan. Itulah perkebunan yang sudah tidak ada
kebunnya. Itulah perkebunan yang sudah
lebih banyak rumah ilegalnya daripada pohon sawitnya.
Di
zaman Belanda, perkebunan itu memang berada di luar Kota Medan. Jumlah
penduduk Medan yang sedikit saat itu tidak menjadi ancaman sama sekali. Kian
lama penduduk bertambah. Kemiskinan juga meluas.
Maka,
pada zaman kegembiraan kemerdekaan, sebagian wilayah kebun itu ikut
“merdeka”. Ribuan hektare berubah menjadi permukiman dadakan.
Sekian
tahun kemudian jumlah penduduk meledak. Kemiskinan juga kian besar. Pada
pergolakan 1965, terjadi hal yang sama. Ribuan hektare lagi berubah wujud.
Ledakan jumlah penduduk tidak pernah berhenti. Kota Medan terus diperluas.
Pada zaman riuhnya reformasi 1998, sekian ribu hektare lagi berubah pula
menjadi permukiman tiba-tiba.
Hingga
hari ini, desakan penduduk ke wilayah perkebunan itu terus terjadi. Rumah
baru terus bertambah. Pohon sawit yang masih hidup disiram minyak. Agar mati
pelan-pelan. Agar ada alasan untuk ditebang. Lalu, diduduki. Didirikan rumah.
Gerakan seperti itu nyaris terstruktur, sistematis, dan masif.
Pelanggaran
itu sebenarnya sering diadukan. Tapi, proses bertambahnya kasus lebih cepat
daripada penyelesaiannya. Misalnya dilakukan tindakan keras, yang melawan
lebih besar daripada jumlah petugas.
Tidak
lama lagi sisa tanah 4.000 hektare itu pun akan menyusut. Sekarang pun
masalah itu sudah rumit. Tapi, kalau tidak diselesaikan, akan lebih rumit
lagi.
Berbuat atau tidak
berbuat?
Aset BUMN (PTPN II) itu perlu
diselamatkan atau tidak? Haruskah pendudukan itu dibiarkan? Sudah berapa
tahun “pembiaran” itu dilakukan?
Rasanya memang lebih aman
membiarkan itu daripada mengurusnya. Tapi, untuk apa ada pemerintah?
Maka, saya minta direksi PTPN II untuk mencari jalan terbaik.
Memang penuh risiko, tapi cobalah berbuat sesuatu. Atau bom ini akan meledak.
Tinggal tunggu waktu. Saya menyadari tugas itu tidak mudah. Risikonya luar
biasa: bisa masuk penjara, bahkan kehilangan nyawa.
Satu
hal yang sudah pasti: kawasan yang sudah masuk Kota Medan itu tidak mungkin
lagi dikembalikan menjadi areal perkebunan. Pasti tidak akan pernah bisa
panen. Bahkan sudah tidak rasional. Perkebunan kok di dalam kota. Mengusir
ribuan rumah permanen itu juga hil yang mustahal. Bisa terjadi revolusi.
Mereka
memang tidak akan pernah bisa mendapat sertifikat tanah. Tapi, kenyataannya,
mereka sudah bisa mewariskannya dan memperjualbelikannya.
Yang
lebih pasti lagi: pemerintah sudah melarang kawasan itu dijadikan perkebunan.
Tata ruangnya sudah berubah.
Berbuat
atau tidak berbuat?
Saya
putuskan untuk berbuat. Bisa saja kelak saya difitnah telah melepas tanah
8.000 hektare di tengah-tengah Kota Medan yang mahal. Bisa saja kelak saya
dianggap korupsi di situ. Bisa saja kelak saya dianggap salah dalam
memutuskan masalah tersebut dan harus masuk penjara.
Berbuat
atau tidak berbuat?
Saya
putuskan untuk berbuat. Tapi, saya minta prosesnya seterbuka mungkin.
Sebersih mungkin. Sebaik mungkin. Hasilnya pun nanti harus untuk beli lahan
perkebunan. Yang luasnya melebihi 8.000 hektare. Untuk menambah luasan kebun
PTPN II yang kini masih tersisa 43.000 hektare.
Idenya
pun ditemukan. Kawasan 8.000 hektare yang ruwet itu akan dijadikan kota baru
Medan. Namanya terserah. Seperti BSD di Jakarta. Toh, Kota Medan perlu
perluasan. Perencanaan kotanya harus bagus dan profesional. Jangan menjadi
pusat kekumuhan baru.
PTPN
II tidak mungkin mengerjakan itu sendiri. Harus cari partner. PTPN II hanya
ahli di perkebunan. Bukan ahli tata kota. PTPN II juga tidak punya kemampuan
bagaimana mengurus ribuan rumah ilegal yang menguasai 4.000 hektare tersebut.
Partner
itulah yang dicari setahun terakhir ini. Lewat tender terbuka. Bisa diikuti
siapa saja. Dalam proses tender ini, lembaga seperti BPKP dan Kejaksaan Agung
kami minta fatwanya. Takut prosesnya salah
atau kurang fair.
Di
ujung proses tender itu, seperti dilaporkan Dirut PTPN II Bhatara Moeda
Nasution, ada tiga perusahaan yang lolos: PT Danayasa Tbk dari Grup Artha
Graha, PT Pancing Medan, dan PT Ciputra Tbk dari Grup Ciputra. Seluruh proses
itu terjadi dan dilakukan di Medan. Menteri atau pejabat Kementerian BUMN
tidak ikut campur sama sekali.
Hasil
akhirnya: Ciputra yang menang. Tugasnya berat. Termasuk mengurus yang ribuan
rumah itu dengan cara yang baik.
Begitulah.
Sebuah kota baru yang indah dan besar akan lahir di Medan. Itu kalau proses
tersebut bisa diterima. Justru karena itulah proses ini saya ungkap saja
secara terbuka sekarang. Mumpung masih bisa dibatalkan.
Siapa
tahu ada yang berpendapat lebih baik saya tidak usah berbuat apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar