Ketakutan
dan Demokrasi
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ilmu Politik,
Ohio
State University, Amerika Serikat
|
KOMPAS,
25 Agustus 2014
Dalam
sejarah demokrasi Indonesia, baru pada Pemilu Presiden 2014 ada calon
presiden yang menakutkan banyak orang. Kenyataan tersebut mendorong berbagai
pihak bersikap lebih waspada dan bertindak lebih tegas agar capres itu tak
memenangi pilpres secara tak patut. Akibatnya adalah lembaga-lembaga
demokrasi, baik formal maupun informal, makin kukuh dan responsif kepada
kemauan masyarakat.
Lembaga
formal yang saya maksudkan tentu terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU). International Foundation for Electoral
Systems (IFES), yang sejak awal Reformasi memantau dari dekat pelaksanaan
pemilu-pemilu di Indonesia, menyimpulkan bahwa Pilpres 2014 adalah yang
terbaik dari segi pendaftaran pemilih dan pengorganisasian hari pemilu
sendiri. Juga terpuji: keputusan KPU membuat proses rekapitulasi transparan
dari awal supaya bisa diikuti semua orang.
Selain
KPU, polisi, tentara, dan Presiden SBY ikut berjasa. Menjelang akhir proses
rekapitulasi, relawan capres Prabowo Subianto mulai memobilisasi kekuatan
demi ”pengamanan” pengumuman hasil pilpres.
Dalih
berbau Orde Baru itu dijawab langsung tiga ribuan polisi, termasuk pasukan
berkuda, yang disuruh mengelilingi kantor KPU. Panglima TNI menetapkan
kondisi siaga tinggi. Secara tidak langsung Presiden SBY mengajak ”semua pihak” (baca: Prabowo) agar
menghormati hasil pilpres.
Cemerlang realistis
Aktor
informal yang memainkan peran terdiri atas dua kelompok, masyarakat madani
dan tokoh politik. Sumbangan kedua-duanya patut diberi penghargaan paling
tinggi. Mereka bertindak atas sebuah visi yang cemerlang sekaligus realistis.
Lagi pula, mereka menyampaikan visi itu secara polos dan rasional.
Dalam
konteks itu, saya tentu tidak mau meremehkan peran pemerintah. Namun, pada
akhirnya pejabat pemerintah hanya memenuhi tugas, sementara perbuatan aktor
swasta berdasarkan sesuatu yang lebih dalam dan terpikirkan sendiri.
Kebangkitan
masyarakat madani sudah lama kentara, terutama setiap kali kewibawaan Komisi
Pemberantasan Korupsi terancam oleh pejabat dan politisi yang berkepentingan
sempit dan pribadi. Dalam Pilpres 2014, kasusnya banyak, termasuk pembelaan
terhadap kredibilitas hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, kecaman
terhadap media massa yang melanggar kode etik, dan munculnya kawalpemilu.org
yang mengawasi rekapitulasi.
Validitas
metodologi hitung cepat sudah lama tertanam dalam budaya demokrasi Indonesia.
Kalau dilakukan lembaga profesional, penemuannya biasanya diterima khalayak.
Akibatnya, masyarakat tak mudah dihasut pihak tak berwenang. Tahun ini tim
Prabowo-Hatta mempersoalkan sejumlah lembaga survei yang tidak mengungguli
mereka. Untungnya, Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) langsung
bertindak. Dewan etik mengeluarkan dari keanggotaannya dua lembaga survei
yang tak bisa mempertanggungjawabkan metodologinya. Lalu, banyak akademisi
dan intelektual publik mendukung kecaman Persepi.
Kontroversi
hitung cepat juga berakibat buruk bagi sejumlah media, terutama Viva Group,
yang membawahkan TV One dan portal berita internet viva.co.id. Sebagai
pembaca setia, saya pun terkejut ketika membuka portal itu dan hanya
menemukan hasil hitung cepat lembaga survei yang bermasalah. Hukumannya
berat: lembaga survei ternama Poltracking
Institute meninggalkan TV One; saham Viva
Group anjlok di bursa efek. Tampaknya para investor mendambakan pers
tepercaya, salah satu pilar utama demokrasi di mana-mana.
Peran teknologi
Kawalpemilu.org
didirikan Ainun Najib, ahli teknologi informasi muda di Singapura. Situs web
itu dipakai untuk mengecek kebenaran hasil rekapitulasi resmi. Ainun dan
teman-teman mengaku prihatin pada kemungkinan manipulasi dan terinspirasi
oleh keputusan KPU mengunggah semua formulir dari tingkat tempat pemungutan
suara. Keberhasilan mereka mengisyaratkan betapa alat dunia maya, seperti crowdsourcing, Facebook, dan Twitter, dapat dimanfaatkan untuk
memperkuat suara rakyat dalam demokrasi modern.
Tokoh
politik yang paling berjasa kepada kukuhnya demokrasi dalam Pilpres 2014
adalah orang- orang yang melanggar kepentingan mereka sendiri. Mereka merasa
terpanggil mematuhi standar perilaku politik yang lebih tinggi ketimbang
ikatan partisan.
Contoh
pertama: Abdillah Toha, pendiri Partai Amanat Nasional yang mengimbau ketua
partainya, calon wakil presiden Hatta Rajasa, menerima hasil hitung cepat
lembaga-lembaga kredibel. Sayang, imbauan itu ditampik yang bersangkutan.
Tokoh
paling mengagetkan sekaligus mengagumkan adalah Mahfud MD. Seperti
pendahulunya selaku Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, integritas
pribadi Mahfud tak teragukan. Kiranya bersama dengan banyak orang, saya
bingung ketika Mahfud menerima tawaran Prabowo menjadi ketua tim sukses.
Namun, pada akhirnya Mahfud membuktikan komitmennya kepada negara hukum
ketika memisahkan diri dari gugatan Prabowo-Hatta ke MK.
Akhirulkata,
di Amerika polarisasi budaya politik belakangan ini semakin mencemaskan.
Kesenjangan pengertian tentang hal-hal yang amat mendasar antara Partai
Republik dan Demokrat tengah menggerogoti kemauan politik bangsa saya.
Kejujuran dan akal sehat semakin sulit ditemukan. Mungkin keprihatinan itulah
yang membuat saya lebih berapresiasi kepada apa yang saya lihat di Indonesia
seusai Pilpres 2014: sebuah masyarakat tempat anggotanya bersama-sama
menggalang kekuatan untuk menyelamatkan demokrasi. Hampir tanpa kekecualian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar