Jumat, 08 Agustus 2014

Pembangunan Manusia Indonesia

Pembangunan Manusia Indonesia

Kadir  ;   Bekerja di Badan Pusat Statistik
KORAN JAKARTA, 08 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) baru saja merilis Laporan Pembangunan Manusia 2014 pada Kamis (24/7). Dalam laporan bertema “Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerabilities and Building Resilience” itu disebutkan pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memperlihatkan kecenderungan global, termasuk Indonesia, perlambatan pertumbuhan.

Karena itu, Indonesia harus mengakselerasi agar tidak tertinggal dari negara-negara lain. UNDP melaporkan IPM Indonesia pada 2013 sebesar 0,684 atau naik 0,44 persen dari 2012 sebesar 0,681. Meski demikian, peringkat IPM Indonesia tetap di urutan 108 dari 287 negara. Indonesia juga belum beranjak dari kelompok menengah dalam soal capaian pembangunan manusia. Di ASEAN, Indonesia satu kelompok dengan Filipina, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Laos.

Laporan UNDP juga menunjukkan akselerasi pembangunan manusia Indonesia boleh dibilang sedikit lambat. Sepanjang 2000–2013, pertumbuhan IPM rata-rata 0,9 persen per tahun. Angka ini di bawah rata-rata pertumbuhan IPM negera-negara kelompok pembangunan menengah (1,17 persen) serta Asia Timur dan Pasifik (1,29 persen). Akselarasi yang lambat juga tercermin dari perubahan peringkat IPM Indonesia, hanya naik empat peringkat sepanjang 2008-2013.

Karena itu, menggenjot peningkatan kualitas pembangunan manusia merupakan salah satu tantangan utama pemerintah mendatang. Harus ada akselerasi pembangunan manusia Indonesia. Pendapatan IPM mengukur kualitas pembangunan manusia melalui tiga dimensi (1) hidup sehat dan umur panjang berdasarkan harapan hidup; (2) akses ilmu pengetahuan berdasarkan rata-rata lama bersekolah, (3) dan standar hidup layak berdasarkan pendapatan nasional bruto per kapita.

Tahun lalu, berdasarkan laporan UNDP, angka harapan hidup penduduk Indonesia 70,8 tahun, rata-rata lama bersekolah 7,5 tahun (hanya tamat sekolah dasar), lama rata-rata yang diharapkan bersekolah 12,7 tahun (tamat sekolah menengah atas). Kemudian, pendapatan per kapita tahun 2011 (paritas daya beli) mencapai 8.970 dollar AS. Agar efektif, upaya akselerasi pembangunan manusia harus difokuskan pada ukuran-ukuran IPM tersebut. Untuk meningkatkan umur harapan hidup, perlu meminimalkan risiko kematian.

Peluang kematian tertinggi ada pada kelompok bayi dan balita. Keberhasilan menekan kematian bayi dan balita akan berdampak signifikan pada kenaikan umur harapan hidup. Secara faktual, data bayi secara nasional, 34 kematian per tahun untuk tiap 1.000 kelahiran hidup. Sementara untuk balita, 43 kematian per tahun tiap 1.000 balita. Umur harapan hidup juga dapat ditingkatkan dengan menekan kematian ibu yang juga masih tinggi, 359 kematian per tahun untuk tiap 100 ribu kelahiran hidup (BPS, 2013). Untuk dimensi pendidikan, meningkatkan angka partisipasi sekolah, terutama pada kelompok umur 13–15 tahun (setingkat SMP) baru 89,66 persen, sedangkan 16–18 tahun (setingkat SMA) baru 61,06 persen.

Namun patut diperhatikan, sebetulnya cukup sulit mengharapkan ekselerasi pembangunan manusia tinggi dalam jangka pendek dengan menggenjot dimensi pendidikan dan kesehatan. Sebagai gambaran, kenaikan umur harapan hidup sebesar satu poin hanya bisa terwujud bila dalam setahun tidak ada satu pun penduduk meninggal dunia. Ini tentu mustahil. Sementara indeks pendidikan cenderung melandai dalam beberapa tahun terakhir. Ruang yang cukup besar untuk memacu akselerasi pembangunan manusia sebetulnya ada pada dimensi ketiga: standar hidup layak.

Maka, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan dibarengi pemerataan. Secara faktual, saat ini gini rasio— indikator ukuran kesenjangan pendapatan— sudah mencapai 0,41. Artinya, kesenjangan sudah memasuki skala medium. Upaya mewujudkan pemerataan ekonomi sangat penting. Kesenjangan pemerataan pendapatan sejatinya mereduksi kualitas pembangunan manusia. Laporan UNDP menunjukkan bila disesuaikan dengan kesenjangan pemerataan pendapatan, IPM Indonesia turun menjadi 0,553, atau berkurang sebesar 19,1 persen. Tiongkok adalah contoh terbaik mengenai peran pertumbuhan ekonomi dalam ekselerasi pembangunan manusai.

Sepanjang 2000–2013 tumbuh 1,52 persen per tahun. Perubahan peringkat IPM Tiongkok juga sangat mengagumkan. Betapa tidak, sepanjang 2008–2013, naik 10 peringkat. Capaian mengagumkan ini tentu tidak terlepas dari kontribusi pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang rata-rata mencapai 10 persen dalam dua dasawarsa terakhir. Anggaran Patut pula dicamkan, upaya memacu akselerasi pembangunan manusia membutuhkan dukungan anggaran yang besar untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Sayang, kini ruang fiskal pemerintah sangat terbatas karena terbebani porsi belanja pemerintah (pusat dan daerah) sangat besar, serta subsidi BBM yang terus membengkak.

Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014 sebesar 1.635 triliun rupiah, porsi belanja pemerintah mencapai sepertiganya. Sementara 350 triliun dari jumlah tersebut digelentorkan untuk subsidi BBM. Bila kondisi seperti ini terus berlanjut, program-program mendatang terkait rakyat banyak seperti Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat, bakal sulit direalisasi karena keterbatasan anggaran. Subsidi BBM yang terus membengkak juga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen bakal sulit dicapai karena pembangunan infrastruktur untuk mendorong investasi menjadi terhambat.

Konsekuensinya, Indonesia bisa terperosok dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap) dan gagal memanfaatkan momentum bonus demografi. Dalam laporan “Indonesia: Avoiding The Trap” yang dirilis belum lama ini, Bank Dunia menyebutkan, berpotensi menjadi negera maju pada 2030—dengan pendapatan per kapita mencapai 8.531 dollar AS—bila mampu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6 persen per tahun.

Tentu saja, ini sangat sulit diwujudkan bila APBN terus tersandera subsidi BBM. Maka, selain meningkatkan penerimaan pajak dan menghemat tambahan ruang fiskal, pemerintah juga harus berani menghapus subsidi BBM secara bertahap dalam lima tahun mendatang agar posisi pembangunan manusia Indonesia naik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar