Pekik
Perang ‘Relawan’ Melawan Oligarki
Paska
Pilpres 2014
Irwansyah ; Dosen di Ilmu Politik Universitas Indonesia
|
INDOPROGRESS,
13 Agustus 2014
SERUAN dari artikel Martin Suryajaya dan Coen Husain Pontoh,
sangatlah relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti oleh kalangan progresif
Indonesia. Seruan mereka adalah semacam battle cry (pekik perang) yang
mengajak rakyat (Martin pake istilah ‘Massa’) paska pilpres 2014 ini untuk
melanjutkan dukungan pada Jokowi, kali ini dalam misi melawan oligarki.
Kelihatannya, fenomena relawan ini bisa disebut sebagai pengalaman baru dalam
politik elektoral kita. Ada antusiasme besar terhadap massa karena operasi
politik kubu oligarki di pilpres bisa direspon secara kreatif oleh berbagai
aksi kolektif relawan yang melakukan mobilisasi dan pengawalan suara.
Tantangannya, apakah massa aksi kolektif gerakan para relawan ini masih punya
daya tahan dan strategi untuk melawan oligarki pada babak politik paska
pilpres?
Masalah fundamental yang penting dituntaskan guna merespon
battle cry tersebut adalah kejelasan mengenai apa yang dimaksud oligarki.
Konteksnya dibutuhkan pemahaman komprehensif sekaligus praktis tentang
oligarki yang ada di Kapitalisme Indonesia hari ini. Oligarki, sebagai aktor
politik, sudah ada sejak jaman Plato, sehingga bisa saja berkembang
pengertian bahwa kapitalisme tidak mempengaruhi oligarki.
Pengertian/framework oligarki yang kita pakai mesti diperiksa, karena bahkan
seorang Prabowo, yang jelas-jelas bagian dari oligarki, beretorika bahwa misi
politiknya adalah melawan oligarki yang melemahkan Negara Indonesia. Martin
dalam artikelnya mengacu pada kerangka analisis Hadiz-Robison (2004), yang
membangun kerangka analisa oligarki tidak sama dengan sebagai analisis
oligarki sebagai aktor. Tulisan ini juga mengacu pada kerangka analisis yang
melihat oligarki sebagai struktur relasi kuasa yang mewujud dalam aliansi
sosial dari bisnis dan birokrasi serta melibatkan pula kelompok-kelompok
sosial tertentu (umumnya melalui kooptasi dan berelasi tergantung kebutuhan
kontekstual yang spesifik) Jaring relasi kuasa ini beroperasi demi melakukan
penjarahan atas kekayaan negara dan juga kekayaan yang dihasilkan dari
eksploitasi rakyat pekerja. Kekayaan-kekayaan tersebut yang menjadi motor
penggerak dominan bagi kapitalisme Indonesia.
Terbentuknya Oligarki di
Indonesia
Banyak orang yang menyamakan demokrasi representatif saat ini
dengan kekuasaan oligarki, sebagai sistem yang terbaik yang mungkin ada saat
ini. Demokrasi representasi elektoral secara empiris memang adalah yang
terbaik sementara ini dalam sejarah Indonesia paska 1965. Demokrasi
representasi selama ini cenderung merugikan rakyat pekerja, karena rakyat
justru semakin tidak hadir dalam kekuasaan politik. Hadir bukan sebatas ada
orangnya saja, tapi juga ada dalam tindakan-tindakan dan kebijakan yang
mewujudkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, sebagai kaum progresif, kita
harus sadar bahwa demokrasi hari ini harus dan bisa dilampaui. Demokrasi saat
ini masih terlalu rentan dibajak jaringan oligarki dengan money politics,
sentiment sektarian, hingga kooptasi terhadap aktivis-aktivis gerakan untuk
mengabdi secara pragmatis pada kepentingan penguasa untuk terus meminggirkan
kehadiran dan kepentingan rakyat. Kerentanan yang bukan terutama berasal dari
masih lemahnya budaya dan kesadaran politik rakyat, atau masih terbelakangnya
lembaga dan prosedur politik yang ada di Indonesia. Kerentanan karena
demokrasi yang ada adalah arena pertarungan dimana oligarki berjaya membuat
kekuatan sosial lain, di luar kelas kapitalis dan aliansi sosial yang
dibangunnya, tidak berdaya (Irwansyah, 2010)
Ada dua pendekatan mengenai kelas kapitalis yang berkuasa
dalam politik Indonesia sejak Orde Baru (Orba). Menurut pendekatan teori
Ketergantungan, yang berkuasa di Indonesia adalah kapitalis komprador yang
satu kesatuan mengabdi dan patuh pada kepentingan modal kapitalisme pusat.
Relasi kuasa yang dinamis di antara faksi kelas kapitalis domestik tidak lah
penting. karena sifat kelas kapitalis menurut pendekatan ini mengikuti
konsekwensi relasi ketergantungan terhadap negara-negara kapitalis pusat.
Implikasi praktis dari pendekatan teoritis ala ketergantungan ini adalah
tesis berbagai kelompok gerakan mengenai pentingnya mencari borjuasi nasional
yang progresif. Pendekatan ketergantungan dikritik keras karena fokusnya
beralih menjadi relasi negara, dan menempatkan kelas borjuasi sebagai aktor
dalam relasi ketergantungan antara negara pusat dan pinggiran tersebut. Sementara
menurut pendekatan Rise of Capital (Robison 1986) yang tumbuh adalah
faksi-faksi kelas kapitalis yang bersama-sama, tapi juga saling berkompetisi,
membentuk rezim Orba. Salah satu penentu dalam kompetisi itu adalah kemampuan
memenangkan akomodasi negara untuk perkembangan kekayaan dan kekuasaan
kelas-kelas kapitalis tersebut. Maka secara politik terbentuklah
jaringan-jaringan sosial yang beraliansi untuk kepentingan memenangkan
akomodasi tersebut. Kita mengenalnya, di akhir masa kekuasaan Orba, sebagai
kritik moral terhadap jaringan Korupsi-kolusi-Nepotisme (KKN). Kenapa bentuk
jaringannya ‘KKN’? Karena politik berbasis massa seperti di era sebelumnya
diberangus. Semua di-‘wadahtunggal’-kan. Hanya yang bisa KKN yang bisa
berkuasa lewat wadah-wadah yang ada. Itu lah jaringan Oligarki yang
dihasilkan dari perkembangan Kapitalisme di Indonesia, yang mewujudkan
kekuasaannya lewat rezim Orba yang otoriter dan korporatis. Bukan lewat
mekanisme liberal non otoriter.
Oligarki Orba merujuk pada jaringan patron-klien yang
predatoris antara pemodal dengan negara. Jaringan ini terbentuk, karena pasca
kemerdekaan, Indonesia merdeka tanpa adanya kelas borjuasi dalam negeri yang
kuat. Sehingga negara yang baru ini berdiri di atas fondasi ekonomi yang
rapuh. Pada masa Soekarno, ada upaya untuk menciptakan kelas borjuasi pribumi
dengan, misalnya, program benteng. Asumsinya, dengan adanya kelas borjuas
pribumi yang kuat, maka Indonesia akan kuat menghadapi imperialisme. Tetapi
upaya ini blunder, lisensi ekspor impor segala macam yang diberikan ke
calon-calon borjuasi pribumi malah dijual lagi ke faksi borjuasi lain
khususnya borjuasi Tionghoa. Akhirnya mulai marak praktek rente atas berbagai
lisensi dan perijinan. Nasionalisasi di akhir 1950an juga menjadi blunder,
karena malah membuka jalan bagi tentara untuk masuk ke dunia bisnis secara
masif. Rezim Soekarno pun mengalami krisis inflasi dan diikuti oleh perebutan
kekuasaan yang membuka jalan bagi rezim Soeharto.
Apa yang dilakukan Soeharto pada masa awal kekuasaannya? Membuka
pintu bagi modal asing dan pinjaman luar negeri dalam skala masif. Salah satu
simbol periode ini juga adalah UU PMA. Inflasi berhasil diatasi dan di masa
awal Soeharto, yang berkuasa adalah para teknokrat liberal seperti mafia
Berkeley. Sementara itu jaringan-jaringan patronase yang sudah mulai
terbentuk di zaman Soekarno, terus bertahan, tapi posisi mereka masih lemah
secara ekonomi. Boom minyak tahun 1970an memungkinkan kapitalis dalam negeri,
yang sudah terlibat dalam jaringan patron klien dengan negara, memiliki
bargain terhadap kapitalis asing. Marak wacana membatasi masuknya modal
asing, karena persaingan berebut pengaruh atas kebijakan negara sebagai
sumber dana yang berusaha digarong jaringan oligarki. Dominasi teknokrat
liberal mulai tertandingi oleh intelektual-intelektual lain yang menjadi
cendekiawan faksi-faksi kapitalis yang tumbuh. Para pengusaha dalam negeri,
yang sebagian juga birokrat atau tentara, pun beramai-ramai membangun
dinastinya. Pertamina jadi ladang korupsi dengan kasus Ibnu Sutowo sebagai
salah satu simbol pentingnya. Tahun 80an harga minyak turun lagi, namun para
borjuasi kroni sudah berhasil membangun jejaring patron klien yang kuat
dengan negara dan lebih membutuhkan kerja sama dengan kapitalis asing. Yang
terjadi kemudian adalah diperluasnya lagi pintu untuk modal asing tetapi
tetap dibatasi. Hasilnya berbagai deregulasi setengah hati. Melalui proses
ini, kapitalis kroni berhasil membangun jaringan patron klien dengan negara
dengan cukup solid, meski harus membuat banyak konsesi dengan pemodal asing.
Robison menggambarkan faksi-faksi kapital oligarki seperti yang berpusat di
Cendana, yang ada di BUMN-BUMN, kapitalis tentara, kapitalis keturunan
Tionghoa dan bekas kapitalis pribumi masa sukarno. Mereka inilah yang membentuk
faksi kapitalis oligarki kita di zaman Orba.
Namun, persaingan-persaingan antar para kapitalis juga
melemparkan sebagian dari para kapitalis ini keluar dari kelompok oligarki.
Sementara itu, deregulasi 80an membuat ekonomi Indonesia mulai beralih dari
minyak ke manufaktur berorientasi ekspor. Tumbuhlah kelas proletariat
perkotaan yang mulai bergeliat. Salah satu faktornya, juga karena interaksi
dengan LSM-LSM dan gerakan mahasiswa, yang meski fluktuatif, tapi terus
berlanjut karena tidak pernah mengalami pembantaian seperti gerakan rakyat
lainnya. Bermunculanlah serikat-serikat alternatif, begitu pun di sektor
agraria, berbagai advokasi tanah juga mulai memunculkan gerakan tani. Aneka
elemen gerakan ini lah yang menjadi oposisi berserak di zaman Orba. Muncul
lah krisis moneter yang memunculkan momentum revolusioner untuk penjatuhan
soeharto. Kapitalis asing meningkatkan tekanannya untuk liberalisasi,
sementara, oposisi berserak seperti gerakan relawan. Saat itu, yang menjadi
ujung tombak blok reformasi paling mencolok adalah gerakan mahasiswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar