Senin, 18 Agustus 2014

Pekik Perang ‘Relawan’ Melawan Oligarki Paska Pilpres 2014

Pekik Perang ‘Relawan’ Melawan Oligarki

Paska Pilpres 2014

Irwansyah  ;  Dosen di Ilmu Politik Universitas Indonesia
INDOPROGRESS, 13 Agustus 2014
                                                


SERUAN dari artikel Martin Suryajaya dan Coen Husain Pontoh, sangatlah relevan dan mendesak untuk ditindaklanjuti oleh kalangan progresif Indonesia. Seruan mereka adalah semacam battle cry (pekik perang) yang mengajak rakyat (Martin pake istilah ‘Massa’) paska pilpres 2014 ini untuk melanjutkan dukungan pada Jokowi, kali ini dalam misi melawan oligarki. Kelihatannya, fenomena relawan ini bisa disebut sebagai pengalaman baru dalam politik elektoral kita. Ada antusiasme besar terhadap massa karena operasi politik kubu oligarki di pilpres bisa direspon secara kreatif oleh berbagai aksi kolektif relawan yang melakukan mobilisasi dan pengawalan suara. Tantangannya, apakah massa aksi kolektif gerakan para relawan ini masih punya daya tahan dan strategi untuk melawan oligarki pada babak politik paska pilpres?

Masalah fundamental yang penting dituntaskan guna merespon battle cry tersebut adalah kejelasan mengenai apa yang dimaksud oligarki. Konteksnya dibutuhkan pemahaman komprehensif sekaligus praktis tentang oligarki yang ada di Kapitalisme Indonesia hari ini. Oligarki, sebagai aktor politik, sudah ada sejak jaman Plato, sehingga bisa saja berkembang pengertian bahwa kapitalisme tidak mempengaruhi oligarki. Pengertian/framework oligarki yang kita pakai mesti diperiksa, karena bahkan seorang Prabowo, yang jelas-jelas bagian dari oligarki, beretorika bahwa misi politiknya adalah melawan oligarki yang melemahkan Negara Indonesia. Martin dalam artikelnya mengacu pada kerangka analisis Hadiz-Robison (2004), yang membangun kerangka analisa oligarki tidak sama dengan sebagai analisis oligarki sebagai aktor. Tulisan ini juga mengacu pada kerangka analisis yang melihat oligarki sebagai struktur relasi kuasa yang mewujud dalam aliansi sosial dari bisnis dan birokrasi serta melibatkan pula kelompok-kelompok sosial tertentu (umumnya melalui kooptasi dan berelasi tergantung kebutuhan kontekstual yang spesifik) Jaring relasi kuasa ini beroperasi demi melakukan penjarahan atas kekayaan negara dan juga kekayaan yang dihasilkan dari eksploitasi rakyat pekerja. Kekayaan-kekayaan tersebut yang menjadi motor penggerak dominan bagi kapitalisme Indonesia.

Terbentuknya Oligarki di Indonesia

Banyak orang yang menyamakan demokrasi representatif saat ini dengan kekuasaan oligarki, sebagai sistem yang terbaik yang mungkin ada saat ini. Demokrasi representasi elektoral secara empiris memang adalah yang terbaik sementara ini dalam sejarah Indonesia paska 1965. Demokrasi representasi selama ini cenderung merugikan rakyat pekerja, karena rakyat justru semakin tidak hadir dalam kekuasaan politik. Hadir bukan sebatas ada orangnya saja, tapi juga ada dalam tindakan-tindakan dan kebijakan yang mewujudkan kepentingan rakyat. Akan tetapi, sebagai kaum progresif, kita harus sadar bahwa demokrasi hari ini harus dan bisa dilampaui. Demokrasi saat ini masih terlalu rentan dibajak jaringan oligarki dengan money politics, sentiment sektarian, hingga kooptasi terhadap aktivis-aktivis gerakan untuk mengabdi secara pragmatis pada kepentingan penguasa untuk terus meminggirkan kehadiran dan kepentingan rakyat. Kerentanan yang bukan terutama berasal dari masih lemahnya budaya dan kesadaran politik rakyat, atau masih terbelakangnya lembaga dan prosedur politik yang ada di Indonesia. Kerentanan karena demokrasi yang ada adalah arena pertarungan dimana oligarki berjaya membuat kekuatan sosial lain, di luar kelas kapitalis dan aliansi sosial yang dibangunnya, tidak berdaya (Irwansyah, 2010)

Ada dua pendekatan mengenai kelas kapitalis yang berkuasa dalam politik Indonesia sejak Orde Baru (Orba). Menurut pendekatan teori Ketergantungan, yang berkuasa di Indonesia adalah kapitalis komprador yang satu kesatuan mengabdi dan patuh pada kepentingan modal kapitalisme pusat. Relasi kuasa yang dinamis di antara faksi kelas kapitalis domestik tidak lah penting. karena sifat kelas kapitalis menurut pendekatan ini mengikuti konsekwensi relasi ketergantungan terhadap negara-negara kapitalis pusat. Implikasi praktis dari pendekatan teoritis ala ketergantungan ini adalah tesis berbagai kelompok gerakan mengenai pentingnya mencari borjuasi nasional yang progresif. Pendekatan ketergantungan dikritik keras karena fokusnya beralih menjadi relasi negara, dan menempatkan kelas borjuasi sebagai aktor dalam relasi ketergantungan antara negara pusat dan pinggiran tersebut. Sementara menurut pendekatan Rise of Capital (Robison 1986) yang tumbuh adalah faksi-faksi kelas kapitalis yang bersama-sama, tapi juga saling berkompetisi, membentuk rezim Orba. Salah satu penentu dalam kompetisi itu adalah kemampuan memenangkan akomodasi negara untuk perkembangan kekayaan dan kekuasaan kelas-kelas kapitalis tersebut. Maka secara politik terbentuklah jaringan-jaringan sosial yang beraliansi untuk kepentingan memenangkan akomodasi tersebut. Kita mengenalnya, di akhir masa kekuasaan Orba, sebagai kritik moral terhadap jaringan Korupsi-kolusi-Nepotisme (KKN). Kenapa bentuk jaringannya ‘KKN’? Karena politik berbasis massa seperti di era sebelumnya diberangus. Semua di-‘wadahtunggal’-kan. Hanya yang bisa KKN yang bisa berkuasa lewat wadah-wadah yang ada. Itu lah jaringan Oligarki yang dihasilkan dari perkembangan Kapitalisme di Indonesia, yang mewujudkan kekuasaannya lewat rezim Orba yang otoriter dan korporatis. Bukan lewat mekanisme liberal non otoriter.

Oligarki Orba merujuk pada jaringan patron-klien yang predatoris antara pemodal dengan negara. Jaringan ini terbentuk, karena pasca kemerdekaan, Indonesia merdeka tanpa adanya kelas borjuasi dalam negeri yang kuat. Sehingga negara yang baru ini berdiri di atas fondasi ekonomi yang rapuh. Pada masa Soekarno, ada upaya untuk menciptakan kelas borjuasi pribumi dengan, misalnya, program benteng. Asumsinya, dengan adanya kelas borjuas pribumi yang kuat, maka Indonesia akan kuat menghadapi imperialisme. Tetapi upaya ini blunder, lisensi ekspor impor segala macam yang diberikan ke calon-calon borjuasi pribumi malah dijual lagi ke faksi borjuasi lain khususnya borjuasi Tionghoa. Akhirnya mulai marak praktek rente atas berbagai lisensi dan perijinan. Nasionalisasi di akhir 1950an juga menjadi blunder, karena malah membuka jalan bagi tentara untuk masuk ke dunia bisnis secara masif. Rezim Soekarno pun mengalami krisis inflasi dan diikuti oleh perebutan kekuasaan yang membuka jalan bagi rezim Soeharto.

Apa yang dilakukan Soeharto pada masa awal kekuasaannya? Membuka pintu bagi modal asing dan pinjaman luar negeri dalam skala masif. Salah satu simbol periode ini juga adalah UU PMA. Inflasi berhasil diatasi dan di masa awal Soeharto, yang berkuasa adalah para teknokrat liberal seperti mafia Berkeley. Sementara itu jaringan-jaringan patronase yang sudah mulai terbentuk di zaman Soekarno, terus bertahan, tapi posisi mereka masih lemah secara ekonomi. Boom minyak tahun 1970an memungkinkan kapitalis dalam negeri, yang sudah terlibat dalam jaringan patron klien dengan negara, memiliki bargain terhadap kapitalis asing. Marak wacana membatasi masuknya modal asing, karena persaingan berebut pengaruh atas kebijakan negara sebagai sumber dana yang berusaha digarong jaringan oligarki. Dominasi teknokrat liberal mulai tertandingi oleh intelektual-intelektual lain yang menjadi cendekiawan faksi-faksi kapitalis yang tumbuh. Para pengusaha dalam negeri, yang sebagian juga birokrat atau tentara, pun beramai-ramai membangun dinastinya. Pertamina jadi ladang korupsi dengan kasus Ibnu Sutowo sebagai salah satu simbol pentingnya. Tahun 80an harga minyak turun lagi, namun para borjuasi kroni sudah berhasil membangun jejaring patron klien yang kuat dengan negara dan lebih membutuhkan kerja sama dengan kapitalis asing. Yang terjadi kemudian adalah diperluasnya lagi pintu untuk modal asing tetapi tetap dibatasi. Hasilnya berbagai deregulasi setengah hati. Melalui proses ini, kapitalis kroni berhasil membangun jaringan patron klien dengan negara dengan cukup solid, meski harus membuat banyak konsesi dengan pemodal asing. Robison menggambarkan faksi-faksi kapital oligarki seperti yang berpusat di Cendana, yang ada di BUMN-BUMN, kapitalis tentara, kapitalis keturunan Tionghoa dan bekas kapitalis pribumi masa sukarno. Mereka inilah yang membentuk faksi kapitalis oligarki kita di zaman Orba.

Namun, persaingan-persaingan antar para kapitalis juga melemparkan sebagian dari para kapitalis ini keluar dari kelompok oligarki. Sementara itu, deregulasi 80an membuat ekonomi Indonesia mulai beralih dari minyak ke manufaktur berorientasi ekspor. Tumbuhlah kelas proletariat perkotaan yang mulai bergeliat. Salah satu faktornya, juga karena interaksi dengan LSM-LSM dan gerakan mahasiswa, yang meski fluktuatif, tapi terus berlanjut karena tidak pernah mengalami pembantaian seperti gerakan rakyat lainnya. Bermunculanlah serikat-serikat alternatif, begitu pun di sektor agraria, berbagai advokasi tanah juga mulai memunculkan gerakan tani. Aneka elemen gerakan ini lah yang menjadi oposisi berserak di zaman Orba. Muncul lah krisis moneter yang memunculkan momentum revolusioner untuk penjatuhan soeharto. Kapitalis asing meningkatkan tekanannya untuk liberalisasi, sementara, oposisi berserak seperti gerakan relawan. Saat itu, yang menjadi ujung tombak blok reformasi paling mencolok adalah gerakan mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar