Kabinet Jokowi : Bagi
Kuasa atau Koalisi Rakyat?
Edy Mulyadi ; Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta (KMJ)
|
INILAH.COM,
13 Agustus 2014
Beberapa hari silam Jokowi menyatakan keinginannya kabinet
bersih dari orang Parpol. Hati terasaadem tentremmendengar pernyataan yang
sepertinya menegaskan kembali komitmennya saat kampanye Capres. Beberapa
bulan silam, mantan Walikota Solo itu memang sesumbar tidak akan ada acara
bagi-bagi kursi dalam penyusunan kabinet.
Mudah-mudahan Jokowi mau belajar dari sejarah. Setelah 16
tahun reformasi, praktik ‘dagang sapi’ membuat Indonesia tidak kunjung
terbang. Buat para elit, berkuasa berarti menumpuk dan menggelembungkan
pundi-pundi yang digunakan untuk kembali melanggengkan kekuasaan. Perkara
nasib dan kesejahteraan rakyat, itu urusan nomor 248 (saking gapentingnya, hehehe...).
Ide Jokowi agar menteri lepas dari pengurus Parpol memang
belum jelas bentuknya. Tapi sudah bisa dipastikan, kalau gagasan ini
menggelinding dengan mulus, maka bakal menjegal sejumlah kader partai yang
dianggap potensial jadi menteri. Mereka antara lain Tjahjo Kumolo, Puan
Maharani, dan, tentu saja, Muhaimin Iskandar.
Politik, di Indonesia, memang lucu sekaligus naif. Ketika arah
angin kemenangan makin kencang berhembus ke kubu Jokowi-JK, maka sejumlah
orang sibuk ancang-ancang. Mereka yang merasa pantas masuk lingkaran kabinet,
mulai mematut diri. Ada yang norak dan vulgar, juga ada yangcooldan menempuh
cara-cara smart.
Bolak-balik molor
Jokowi dan tim Rumah Transisinya, bisa jadi, kini tengah sibuk
berkutat menyusun kompoisi kabinet dan siapa saja yang layak masuk. Begitu
serunya pemberitaan seputar soal ini, hingga publik mungkin lupa memerhatikan
satu hal, Jusuf Kalla.
Kenapa tokoh yang akrab disapa JK ini terlihat anteng-anteng
saja? Beberapa hari lalu, dia diketahui justru asyik berlibur bersama anak
dan cucunya ke Amerika Serikat. Ada yang bilang, dia liburan,
belanja-belanja, dangeneral check uprutin. Seolah-olah dia tidak peduli
dengan siapa akan menjadi apa di kabinetnya kelak.
Benarkah demikian? Satu hal yang pasti, dalam foto-fotoya yang
beredar di media sosial, ada Sofjan Wanandi dalam rombongan JK.
Pertanyaannya, sejak kapan pentolan CSIS dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) itu jadi keluarga besar JK? Atau, jangan-jangan mereka
tengah mematangkan susunan dan personel kabinet?
Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita mundur pada tahun
2004. Saat itu, bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dia dipercaya menjadi
Presiden dan Wakil Presiden. Kita tahu, SBY memperkenalkan tradisi baru
rekrutmen menteri. Di tangan SBY, memilih menteri berubah menjadi sinetron
yang heboh. Ada pemanggilan ke Cikeas untuk wawancara, ada tes kesehatan,
juga ada fit and proper test.
Apa yang dilakukan JK saat itu? Sepertinya almost nothing! Dia cuek bebek,
(seolah-olah) tidak peduli. Tapi, apa yang terjadi di ujung cerita?
Pengumuman susunan kabinet yang direncanakan pukul 15.00, ternyata harus berkali-kali
molor. Waktu itu, petugas protokol menyatakan pengumuman akan dilakukan pukul
16.00.Tapi, ternyatangaret. Lalu, dijanjikan pukul 20.00. Eh, lagi-lagi
tertunda. Kemudian, akan disampaikan pukul 22.00, ternyata meleset lagi.
Keruan saja wartawan yang sudahstand bysejak siang jadi kesal dan menggerutu.
Baru setelah menjelang tengah malam, kabinet yang
ditunggu-tunggu pun akhirnya diumumkan. Hasilnya, kabinet supergemuk yang
sarat dengan kepentingan dan praktik ‘dagang sapi’. Dari sisi kinerja, maaf,
di bawah banderol.
Menyalip di tikungan
Sebetulnya, apa yang terjadi hingga penundaan harus
berkali-kali dilakukan? Di sinilah JK punya peran dahsyat. Pria asal Bugis
yang kemudian menjadi Ketum Partai Golkar satu ini memang beda. Dia punya
seabrek kelebihan ketimbang tokoh ecek-ecek yang lain.
Keunggulan utama JK adalah keahliannya dalam ‘menyalip di
tikungan’. Orang lain, bahkan termasuk presiden sekali pun, boleh saja sibuk
dan heboh mempersiapkan ini-itu. Tapilast minute, JK tiba-tiba mampu muncul
sebagai pemenang. Itulah yang dilakukannya pada penyusunan Kabinet Indonesia
Bersatu jilid 1.
Sebagai orang kawasan Timur, pada awalnya JK bisa berperan
lebih Jawa daripada orang Jawa. Dia senyum-senyum,inggah-inggih, dan penurut.
JK seolah-olah membiarkan SBY sibuk dengan mainan barunya,fit and propers
testpara calon menteri. Lagi pula, bukankah konstitusi memberi Presiden hak
prerogatif menyusun kabinet?
Tapi, JK mulai melancarkan jusur-jurus mautnya beberapa saat
menjelang susunan kabinet diumumkan. Saat itulah dia menyodorkan sejumlah
nama yang diinginkannya. Tentu saja, apa yang dilakukannya itu bagai
mengacak-acak rambut yang sudah disisir rapi. Tapi, di sinilah kehebatan JK.
Dengan berbagai dalih, dia mampu meyakinkan SBY (baca:fait acompli) untuk
menerima nama-nama yang disorongkannya.
Saat itu SBY memang seperti dihadapkan pada situasi apa boleh
buat.Ngeyelberdebat apalagi menolak usulan JK, akan memperpanjang waktu
penundaan pengumuman. Yang lebih buruk lagi, publik bisa saja menuding
pasangan SBY-JK sudah pecah sejak awal. Sebagaisafety playerdan pemuja citra,
tentu saja SBY sangat menhindari kesan seperti ini.
Akhirnya, dengan pertimbangan akan dilakukanreshufflesetelah 6
bulan atau selambatnya setahun kemudian, SBY ‘terpaksa’ menyetujui komposisi
dan personel kabinet versi JK. Tentu saja, ada kompromi di sana-sini. Tapi,
apa pun, saat itu JK sudah keluar jadi pemenang.
Dengan susunan personel kabinet versi JK itu, bandul
pembangunan ekonomi Indonesia semakin bergerak ke kanan. Aroma neolib amat
kental dengan duduknya sejumlah nama yang memang sudah sejak lama dikenal
sebagai komparador Barat, khususnya IMF dan Bank Dunia.
Indonesia kembali sibuk mengejar pertumbuhan dan abai dengan
pemerataan. Selama lima tahun pertama (ditambah lima tahun kedua)
pemerintahan SBY, pertumbuhan lebih banyak disebabkan blessing faktor ekseternal. Pertama, harga komoditas primer, termasuk hasil
tambang, terus meroket. Kedua, dana asing dari negara-negara maju mengalir
deras ke Indonesia. Maklum, di tempat asalnya tengah terjadi kelesuan
ekonomi.
Sayangnya kendati dapat berkah dari faktor eksternal,
pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5,5-6%. Padahal dengan tambahan
sedikit kretivitas dan kebijakan terobosan, niscaya ekonomi bisa dipacu
tumbuh dua dijit.
Koalisi dengan rakyat
Kalau tidak hati-hati, Jokowi bisa mengulangi kesalahan SBY
dalam menyusun kabinet. Di tengah lingkaran para penumpang gelap, Jokowi
tidak mustahil bakal ‘dipaksa’ setuju dengan praktik ‘dagang sapi’ yang jadi
tradisi kekuasaan di sini.
Kalau pun dia berhasil lolos dari ‘tekanan’ Para petinggi
Parpol pendukung, ancaman yang tidak kalah serius justru datang dari JK
sendiri. Bisa saja tokoh gaek ini mencoba mengulang kembali suksesnya
menelikung SBY.
Untuk itu, meminjam istilah ekonom senior Rizal Ramli, cuma
ada dua pilihan bagi Jokowi. Pertama,bagi-bagi kekuatan dengan elit. Pilihan
ini membawa konsekwensi rakyat kecewa karena tidak akan pernah ada perubahan.
Kedua, berkoalisi dengan rakyat dan meninggalkan elitnegeri ini.
Seharusnya Jokowi memili berkoalisi dengan rakyat. Dengan
begitu dia bisa melawan dominasi serta hegemoni para elit politik dan
ekonomi. Caranya, pertama, jangan masukkan penganut dan pejuang mazhab neolib
ke dalam kabinet. Kedua, buat kebijakan di bidang ekonomi yang berdasar
konstitusi dan berpihak kepada rakyat.
Penyebab utama timpangnya kesejahteraan rakyat Indonesia
adalah karena suburnya ekonomi rente. Kebijakan kuota impor adalah lahan
subur bagi lahirnya berbagai mafia. Ada mafia migas, mafia gula, kedelai,
daging, migas, dan lainnya. Kalau kebijakan ini dihapus dan diganti dengan
sistem tarif, maka ekonomi berkeadilan akan terwujud.
Jika langkah ini dilakukan, sudah bisa dipastikan Jokowi akan
(kembali) mendulang simpati dan dukungan rakyat. Betapa tidak, harga berbagai
kebutuhan yang selama ini dikuasai kartel akan turun dengan signifikan. Gula
bisa anjlok hingga 70%, daging melorot sampai 80%, dan kedelai turun sekitar
30%.
Dan yang yang tidak kalah kerennya, dengan memberantas mafia
migas, pemerintah tidak harus menaikkan harga minyak dengan dalih mengurangi
subsidi dan mengamankan APBN. Pembohongan publik atas nama subsidi BBM sudah
semestinya dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar