Senin, 18 Agustus 2014

Nasionalisme Dimulai dari Sejarah, Kebudayaan, lalu Anak Muda

Nasionalisme Dimulai dari Sejarah,

Kebudayaan, lalu Anak Muda

Afra Suci Ramadhan  ;  Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Pada 2012; Bersama sejumlah temannya ia mendirikan Pamflet Generasi, sebuah lembaga independen di Jakarta yang bekerja melakukan riset dan kajian anak muda
INDOPROGRESS, 15 Agustus 2014
                                                


SEGERA setelah presiden terpilih resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014 lalu, para relawan tidak lantas beristirahat. Selang beberapa hari, segelintir relawan bahkan mengundang warga dunia maya berpartisipasi mengisi polling dari nominasi nama-nama yang dicalonkan sebagai menteri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Jokowi yang meminta usulan rakyat mengenai siapa saja yang akan mengisi kabinetnya.1 Langkah menyajikan berbagai versi ini merupakan upaya relawan untuk mengingatkan sekaligus membantu Jokowi agar kabinetnya bukan hasil bagi-bagi jatah koalisi. Saya sendiri tertarik untuk mengecek dan mengisi polling tersebut. Dari versi polling KAUR (Kabinet Alternatif Usulan Rakyat) yang tertera di jokowicenter.com, ada satu nama yang mencuri perhatian saya dan sempat membuat takjub, yakni nama-nama yang tercantum dalam posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pada posisi ini, KAUR menyodorkan tiga nama yaitu Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Yudi Latif, MA, PhD, dan Dr. Hilmar Farid. Terbersit di kepala saya,’Keren banget kalau Hilmar Farid jadi Mendikbud!’ Apa yang membuat saya berpendapat seperti itu?

Bermula dari peristiwa kurang-lebih 6 tahun lalu. Tadinya saya tidak terlalu tertarik dengan romantisme terkait isu nasionalisme. Bahkan, tadinya agak sinis dengan berbagai jargon tentang nasionalisme hasil bentukan Orde Baru. Beberapa tahun lalu, saya masih menjadi bagian dari Change Magazine, sebuah majalah gratis untuk anak muda yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Setiap menjelang edisi baru, kami biasanya melakukan diskusi untuk mendalami tema edisi baru. Waktu itu tema edisi yang diangkat adalah tentang nasionalisme dan anak muda, pemimpin redaksi kami mengundang Hilmar Farid (sering dipanggil dengan nama Fay) dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Di situlah pertama kalinya saya berdiskusi dengan Hilmar Farid. Ia memberikan banyak sudut pandang baru mengenai nasionalisme dan kaitannya dengan anak muda.

Saya adalah mantan siswi didikan kurikulum peninggalan Orde Baru. Karenanya, ide saya tentang nasionalisme dan pemuda pada saat itu, mentok di Sumpah Pemuda, Perhimpunan Indonesia, dan Boedi Oetomo. Berhubung saya masih berstatus mahasiswa saat diskusi berlangsung, saya cukup takjub sekaligus kecewa, ternyata pelajaran sejarah yang terus diulang saat sekolah belum cukup komprehensif untuk memahami peran pemuda melawan kolonialisme di Indonesia. Hilmar Farid menceritakan tentang Semaoen yang memimpin pemberontakan di umur 14 tahun, tidak lupa juga cerita tentang Tan Malaka dan konsep Indonesianya. Perjuangan pemuda yang selalu menjadi romantisme bangsa ini diceritakan dengan versi lebih lengkap dan bagaimana para pemuda melakukan konsolidasi gerakan, membangun konsep kebangsaan, hingga perbedaan ideologinya. Terkait soal wawasan tentang gerakan pada masa kolonial itu, pada 1997, Hilmar Farid ternyata pernah menerjemahkan salah satu karya penting dalam studi pergerakan masa kolonial, yakni sebuah buku karangan Takashi Shiraishi berjudul An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926.2

Yang menarik dari obrolan bersama Hilmar Farid pada waktu itu, yang dibicarakan bukan hanya soal gerakan perlawanan tetapi juga peran kebudayaan dan soal penggunaan bahasa. Semua retorika tentang Sumpah Pemuda yang begitu ideal di benak saya, kemudian surut ketika mengetahui bagaimana konsep tanah, bangsa, dan bahasa adalah kerangka kolonial Belanda. Memang diskusi tersebut bertujuan agar para kontributor atau penulis muda di Change Magazine bisa membicarakan isu nasionalisme bukan dengan jargon yang klise dan penuh romantisme. Bahkan di edisi ke-5 Change Magazine tersebut, kami juga membicarakan kedaulatan ekonomi, gerakan perempuan yang dilemahkan oleh Orde Baru, kurikulum kewarganegaraan serta sejarah, hingga kegiatan seremonial seperti upacara bendera di sekolah. Hilmar Farid menuturkan kembali sejarah Indonesia dengan cara yang seru dan gampang dipahami, sehingga kami pun pada waktu itu bersemangat menyerap fakta-fakta yang baru kami ketahui. Ketika saya membaca ulang edisi ke-5 Change Magazine yang diterbitkan pada 2008, saya hanya tersenyum mengingat bahwa apa yang diributkan di pilpres kemarin soal kedaulatan Indonesia, neoliberalisme, dan peran pemuda ternyata sudah pernah kami bahas 6 tahun lalu, bersama anak-anak SMA dan mahasiswa.

Setelah diskusi pertama dengan Hilmar Farid, saya terdorong untuk membaca dan menelusuri lebih lanjut tulisan-tulisannya beserta teman-temannya di ISSI. Kebetulan, beberapa teman saya pernah menjadi relawan untuk ISSI. Saya pun diperkenalkan dengan Media Kerja Budaya, sebuah media alternatif yang pertama kali terbit sekitar pertengahan 1990-an. Ternyata, ia yang awalnya saya lekatkan dengan sejarah, kemudian mengalami perluasan; tulisan dan kajian Hilmar Farid tentang seni dan budaya tidak kalah menarik. Saya jarang menemukan dan mengenal orang yang mampu memberi ulasan tentang seni dan budaya dengan pembahasan yang komprehensif. Tidak hanya soal seni rupa, ia pun sering membahas soal karya sastra yang kerap kali dikaitkan dengan konteks sosial-politiknya. Lewat sejarah, ia fokus mengkaji pembentukan dan perkembangan kebudayaan era Hindia Belanda hingga setelahnya, dengan mengkaji Balai Poestaka. Guna memberi sumbangan pada kajian perkembangan kebudayaan dan intelektual yang masih terbatas, kajian tersebut melengkapi narasi lain tentang pergerakan dan kondisi sosial politik Hindia Belanda pada masa kolonial. Kajian tersebut juga patut menjadi rujukan mengenai tidak sterilnya lembaga budaya dari kepentingan ekonomi-politik.

Dengan mempelajari fakta-fakta sejarah, terutama sejarah bangsa sendiri, anak muda seperti saya pada waktu itu bisa memahami konteks sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia beserta segala dinamikanya. Hilmar Farid mengajak kami untuk merujuk pada fakta-fakta yang muncul dari studi terbaru untuk kemudian mengaitkan konteks kini dan masa lalu seperti layaknya sebuah puzzle. Ia memperkenalkan kami pada studi-studi (baik yang dibuat para Indonesianis maupun peneliti Indonesia) tentang sejarah Indonesia yang belum dikenal khalayak umum. Studi-studi tersebut tentunyatidak dimaksudkan sebagai rujukan mutlak, melainkan sebagai dorongan awal agar kami, kelompok muda, juga melakukan studi lebih lanjut tentang isu-isu yang masih terbatas kajiannya.

Lama-kelamaan saya menyadari bahwa belajar sejarah tidak sekadar memuaskan rasa ingin tahu anak muda, tetapi juga memicu kami untuk berpikir kritis. Hasilnya adalah kemawasan baru bahwa persoalan nasionalisme pemuda, yang kerap dianggap makin terkikis karena pengaruh budaya barat, menjadi dapat dijawab. Nasionalisme bukan soalupaya membentengi-diri dari budaya luar, tetapi soal bagaimana kita mengenal, menggali, dan memahami sejarah bangsa sendiri. Pokok mendalam sejarah bangsa sendiri inilah yang sering luput dari kurikulum sekolah kita.

Ternyata duduk perkara pelajaran sejarah dalam kurikulum sekolah sudah lama menjadi perhatian Hilmar Farid dan teman-temannya di ISSI. Sejak 2006, teman-teman ISSI bekerja sama dengan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP Sejarah) untuk membuat program bersama gunamereformasi pendidikan sejarah. Kegiatannya untuk guru tidak hanya mencakup lokakarya dan seminar, tetapi juga memfasilitasi para guru untuk menerbitkan Jurnal Pendidikan Sejarah. ISSI dan AGSI sudah memulai untuk merumuskan materi penting dalam pelajaran sejarah tingkat SMA. Berdasarkan keterangan seorang teman yang pernah jadi relawan di ISSI, para murid juga dilibatkan dalam kegiatan, umpamanya lewat seminar di sekolah-sekolah dengan menghadirkan saksi sejarah seperti kesaksian para korban peristiwa 1965.

Sejarah adalah pelajaran kesukaan saya semasa sekolah, meskipun guru-gurunya seringkali membosankan. Sayang, jam pelajarannya hanya 2 jam seminggu dan tugas serta ujiannya kebanyakan pilihan ganda. Mungkin jika banyak guru yang bisa terlibat dalam program bersama ISSI, mereka bisa lebih kreatif dan partisipatif saat mengajar di kelas sejarah. Tidak berhenti di pelibatan guru-guru sejarah, ternyata Hilmar Farid pernah menjajal jadi guru sejarah di sebuah Sekolah Dasar di Jakarta. Mendengarnya, tentu saya dan teman-teman serasa ingin menjadi bagian dari kelas sejarah tersebut.

Saya bukan orang yang dekat secara personal dengan Hilmar Farid, tetapi setelah beberapa kali terlibat diskusi dan mengundangnya untuk berpartisipasi pada acara yang diinsiasi oleh kelompok muda, saya tidak ragu untuk memilihnya di polling KAUR. Poin penting lainnya yang mendasari pilihan saya adalah sikap Hilmar Farid yang terbuka untuk melibatkan anak-anak muda dalam berbagai inisiatif yang ia bangun. Saya rasa, tindakan untuk melibatkan anak muda dalam perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi program sangat diperlukan dalam lembaga Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,mengingat selama ini anak muda sebagai anak didik hanya dijadikan objek kebijakan dan program yang ditetapkan Kemendikbud. Padahal, kelompok muda adalah pihak yang merasakan dampak langsung dari program-program lembaga ini.

Pembentukan karakter dan peradaban bangsa Indonesia terkait erat dengan urusan pendidikan dan kebudayaan. Undang-Undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencatat tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Tidak mungkin kita mencapai tujuan tersebut tanpa sosok menteri yang progresif. Membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tidak bisa diwujudkan hanya dengan metode hafalan. Kreativitas dan potensi peserta didik juga tidak bisa hanya diukur dari ujian nasional. Persoalan pendidikan adalah tentang pembentukan karakter individual maupun kolektif dalam identitas kebangsaan. Tidak heran, Kementrian ini berupaya menggabungkan pendidikan dan kebudayaan dalam satu lembaga. Mulanya lembaga ini dikenal sebagaiDepartemen Pengajaran (1945-1948), kemudian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1999), laluDepartemen Pendidikan Nasional (1999-2009), dan Kementerian Pendidikan Nasional (2009-2011), hingga akhirnya sejak Oktober 2011 namanya ditetapkan menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sosok Hilmar Farid memang tidak akan bisa menyelesaikan semua persoalan pendidikan di Indonesia, tapi ia akan membuka ruang partisipasi lebar-lebar bagi pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan kurikulum yang lebih progresif dan sekolah yang layak bagi kita semua. Bayangkan ketika Tetralogi Buru dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya menjadi semacam bahan bacaan bagi siswa SMA. Mungkin nantinya kita bisa belajar sejarah atau fisika melalui musik. Ia juga akan terus meningkatkan kualitas infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesiaserta kualitas dan kelayakan hidup guru. Di antara semua cita-cita tersebut, entah mengapa, saya yakin seorang Hilmar Farid bisa membuat kebijakan agar lembaga OSIS menjadi sebuah laboratorium bagi para siswa untuk belajar mempraktikkan prinsip demokrasi dan peningkatan peran anak muda di lingkungan sekolah.

Kelak, terpilih tidaknya Hilmar Farid sebagai Mendikbud adalah hal lain. Yang paling penting adalah, sosok seperti dirinya, perlu terus didukung, karena integritas, keberpihakan, kerja keras dan komitmennya terhadap perubahan, sudah sering teruji dan sudah terbukti: ia tidak pernah melenceng dari apa yang ia yakini, yang diyakini oleh banyak orang dengan keras kepala, tentang perubahan masyarakat ke arah yang lebih waras, lebih baik. Kalau pun terpilih, ia perlu terus dijaga, diingatkan, dan dibantu dari gurita birokrasi pendidikan yang sudah sekian lama berkuasa dan sudah kita tahu kinerjanya yang centang perenang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar