Nasionalisme
Dimulai dari Sejarah,
Kebudayaan,
lalu Anak Muda
Afra Suci Ramadhan ; Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Pada 2012; Bersama
sejumlah temannya ia mendirikan Pamflet Generasi, sebuah lembaga independen
di Jakarta yang bekerja melakukan riset dan kajian anak muda
|
INDOPROGRESS,
15 Agustus 2014
SEGERA setelah presiden terpilih resmi diumumkan oleh Komisi
Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014 lalu, para relawan tidak lantas
beristirahat. Selang beberapa hari, segelintir relawan bahkan mengundang
warga dunia maya berpartisipasi mengisi polling dari nominasi nama-nama yang
dicalonkan sebagai menteri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Jokowi yang
meminta usulan rakyat mengenai siapa saja yang akan mengisi kabinetnya.1
Langkah menyajikan berbagai versi ini merupakan upaya relawan untuk
mengingatkan sekaligus membantu Jokowi agar kabinetnya bukan hasil bagi-bagi
jatah koalisi. Saya sendiri tertarik untuk mengecek dan mengisi polling
tersebut. Dari versi polling KAUR (Kabinet Alternatif Usulan Rakyat) yang
tertera di jokowicenter.com, ada satu nama yang mencuri perhatian saya dan
sempat membuat takjub, yakni nama-nama yang tercantum dalam posisi Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Pada posisi ini, KAUR menyodorkan tiga nama yaitu Prof. Dr.
Abdul Munir Mulkhan, Yudi Latif, MA, PhD, dan Dr. Hilmar Farid. Terbersit di
kepala saya,’Keren banget kalau Hilmar Farid jadi Mendikbud!’ Apa yang
membuat saya berpendapat seperti itu?
Bermula dari peristiwa kurang-lebih 6 tahun lalu. Tadinya saya
tidak terlalu tertarik dengan romantisme terkait isu nasionalisme. Bahkan,
tadinya agak sinis dengan berbagai jargon tentang nasionalisme hasil bentukan
Orde Baru. Beberapa tahun lalu, saya masih menjadi bagian dari Change
Magazine, sebuah majalah gratis untuk anak muda yang diterbitkan oleh Yayasan
Jurnal Perempuan. Setiap menjelang edisi baru, kami biasanya melakukan
diskusi untuk mendalami tema edisi baru. Waktu itu tema edisi yang diangkat
adalah tentang nasionalisme dan anak muda, pemimpin redaksi kami mengundang
Hilmar Farid (sering dipanggil dengan nama Fay) dari Institut Sejarah Sosial
Indonesia (ISSI). Di situlah pertama kalinya saya berdiskusi dengan Hilmar
Farid. Ia memberikan banyak sudut pandang baru mengenai nasionalisme dan
kaitannya dengan anak muda.
Saya adalah mantan siswi didikan kurikulum peninggalan Orde
Baru. Karenanya, ide saya tentang nasionalisme dan pemuda pada saat itu,
mentok di Sumpah Pemuda, Perhimpunan Indonesia, dan Boedi Oetomo. Berhubung
saya masih berstatus mahasiswa saat diskusi berlangsung, saya cukup takjub
sekaligus kecewa, ternyata pelajaran sejarah yang terus diulang saat sekolah
belum cukup komprehensif untuk memahami peran pemuda melawan kolonialisme di
Indonesia. Hilmar Farid menceritakan tentang Semaoen yang memimpin
pemberontakan di umur 14 tahun, tidak lupa juga cerita tentang Tan Malaka dan
konsep Indonesianya. Perjuangan pemuda yang selalu menjadi romantisme bangsa
ini diceritakan dengan versi lebih lengkap dan bagaimana para pemuda
melakukan konsolidasi gerakan, membangun konsep kebangsaan, hingga perbedaan
ideologinya. Terkait soal wawasan tentang gerakan pada masa kolonial itu,
pada 1997, Hilmar Farid ternyata pernah menerjemahkan salah satu karya
penting dalam studi pergerakan masa kolonial, yakni sebuah buku karangan
Takashi Shiraishi berjudul An Age in Motion: Popular Radicalism in Java,
1912-1926.2
Yang menarik dari obrolan bersama Hilmar Farid pada waktu itu,
yang dibicarakan bukan hanya soal gerakan perlawanan tetapi juga peran
kebudayaan dan soal penggunaan bahasa. Semua retorika tentang Sumpah Pemuda
yang begitu ideal di benak saya, kemudian surut ketika mengetahui bagaimana
konsep tanah, bangsa, dan bahasa adalah kerangka kolonial Belanda. Memang
diskusi tersebut bertujuan agar para kontributor atau penulis muda di Change
Magazine bisa membicarakan isu nasionalisme bukan dengan jargon yang klise
dan penuh romantisme. Bahkan di edisi ke-5 Change Magazine tersebut, kami
juga membicarakan kedaulatan ekonomi, gerakan perempuan yang dilemahkan oleh
Orde Baru, kurikulum kewarganegaraan serta sejarah, hingga kegiatan
seremonial seperti upacara bendera di sekolah. Hilmar Farid menuturkan
kembali sejarah Indonesia dengan cara yang seru dan gampang dipahami,
sehingga kami pun pada waktu itu bersemangat menyerap fakta-fakta yang baru
kami ketahui. Ketika saya membaca ulang edisi ke-5 Change Magazine yang
diterbitkan pada 2008, saya hanya tersenyum mengingat bahwa apa yang
diributkan di pilpres kemarin soal kedaulatan Indonesia, neoliberalisme, dan
peran pemuda ternyata sudah pernah kami bahas 6 tahun lalu, bersama anak-anak
SMA dan mahasiswa.
Setelah diskusi pertama dengan Hilmar Farid, saya terdorong
untuk membaca dan menelusuri lebih lanjut tulisan-tulisannya beserta
teman-temannya di ISSI. Kebetulan, beberapa teman saya pernah menjadi relawan
untuk ISSI. Saya pun diperkenalkan dengan Media Kerja Budaya, sebuah media
alternatif yang pertama kali terbit sekitar pertengahan 1990-an. Ternyata, ia
yang awalnya saya lekatkan dengan sejarah, kemudian mengalami perluasan;
tulisan dan kajian Hilmar Farid tentang seni dan budaya tidak kalah menarik.
Saya jarang menemukan dan mengenal orang yang mampu memberi ulasan tentang
seni dan budaya dengan pembahasan yang komprehensif. Tidak hanya soal seni
rupa, ia pun sering membahas soal karya sastra yang kerap kali dikaitkan
dengan konteks sosial-politiknya. Lewat sejarah, ia fokus mengkaji
pembentukan dan perkembangan kebudayaan era Hindia Belanda hingga setelahnya,
dengan mengkaji Balai Poestaka. Guna memberi sumbangan pada kajian
perkembangan kebudayaan dan intelektual yang masih terbatas, kajian tersebut
melengkapi narasi lain tentang pergerakan dan kondisi sosial politik Hindia
Belanda pada masa kolonial. Kajian tersebut juga patut menjadi rujukan
mengenai tidak sterilnya lembaga budaya dari kepentingan ekonomi-politik.
Dengan mempelajari fakta-fakta sejarah, terutama sejarah
bangsa sendiri, anak muda seperti saya pada waktu itu bisa memahami konteks
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia beserta segala dinamikanya.
Hilmar Farid mengajak kami untuk merujuk pada fakta-fakta yang muncul dari
studi terbaru untuk kemudian mengaitkan konteks kini dan masa lalu seperti
layaknya sebuah puzzle. Ia memperkenalkan kami pada studi-studi (baik yang
dibuat para Indonesianis maupun peneliti Indonesia) tentang sejarah Indonesia
yang belum dikenal khalayak umum. Studi-studi tersebut tentunyatidak
dimaksudkan sebagai rujukan mutlak, melainkan sebagai dorongan awal agar
kami, kelompok muda, juga melakukan studi lebih lanjut tentang isu-isu yang
masih terbatas kajiannya.
Lama-kelamaan saya menyadari bahwa belajar sejarah tidak
sekadar memuaskan rasa ingin tahu anak muda, tetapi juga memicu kami untuk
berpikir kritis. Hasilnya adalah kemawasan baru bahwa persoalan nasionalisme
pemuda, yang kerap dianggap makin terkikis karena pengaruh budaya barat,
menjadi dapat dijawab. Nasionalisme bukan soalupaya membentengi-diri dari
budaya luar, tetapi soal bagaimana kita mengenal, menggali, dan memahami
sejarah bangsa sendiri. Pokok mendalam sejarah bangsa sendiri inilah yang
sering luput dari kurikulum sekolah kita.
Ternyata duduk perkara pelajaran sejarah dalam kurikulum
sekolah sudah lama menjadi perhatian Hilmar Farid dan teman-temannya di ISSI.
Sejak 2006, teman-teman ISSI bekerja sama dengan Asosiasi Guru Sejarah
Indonesia (AGSI) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP Sejarah)
untuk membuat program bersama gunamereformasi pendidikan sejarah. Kegiatannya
untuk guru tidak hanya mencakup lokakarya dan seminar, tetapi juga
memfasilitasi para guru untuk menerbitkan Jurnal Pendidikan Sejarah. ISSI dan
AGSI sudah memulai untuk merumuskan materi penting dalam pelajaran sejarah
tingkat SMA. Berdasarkan keterangan seorang teman yang pernah jadi relawan di
ISSI, para murid juga dilibatkan dalam kegiatan, umpamanya lewat seminar di
sekolah-sekolah dengan menghadirkan saksi sejarah seperti kesaksian para
korban peristiwa 1965.
Sejarah adalah pelajaran kesukaan saya semasa sekolah,
meskipun guru-gurunya seringkali membosankan. Sayang, jam pelajarannya hanya
2 jam seminggu dan tugas serta ujiannya kebanyakan pilihan ganda. Mungkin
jika banyak guru yang bisa terlibat dalam program bersama ISSI, mereka bisa
lebih kreatif dan partisipatif saat mengajar di kelas sejarah. Tidak berhenti
di pelibatan guru-guru sejarah, ternyata Hilmar Farid pernah menjajal jadi
guru sejarah di sebuah Sekolah Dasar di Jakarta. Mendengarnya, tentu saya dan
teman-teman serasa ingin menjadi bagian dari kelas sejarah tersebut.
Saya bukan orang yang dekat secara personal dengan Hilmar
Farid, tetapi setelah beberapa kali terlibat diskusi dan mengundangnya untuk
berpartisipasi pada acara yang diinsiasi oleh kelompok muda, saya tidak ragu
untuk memilihnya di polling KAUR. Poin penting lainnya yang mendasari pilihan
saya adalah sikap Hilmar Farid yang terbuka untuk melibatkan anak-anak muda
dalam berbagai inisiatif yang ia bangun. Saya rasa, tindakan untuk melibatkan
anak muda dalam perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi program sangat
diperlukan dalam lembaga Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,mengingat
selama ini anak muda sebagai anak didik hanya dijadikan objek kebijakan dan
program yang ditetapkan Kemendikbud. Padahal, kelompok muda adalah pihak yang
merasakan dampak langsung dari program-program lembaga ini.
Pembentukan karakter dan peradaban bangsa Indonesia terkait
erat dengan urusan pendidikan dan kebudayaan. Undang-Undang no.20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mencatat tujuan pendidikan nasional
sebagai berikut:
“Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Tidak mungkin kita mencapai tujuan tersebut tanpa sosok
menteri yang progresif. Membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat tidak bisa diwujudkan hanya dengan metode hafalan. Kreativitas
dan potensi peserta didik juga tidak bisa hanya diukur dari ujian nasional.
Persoalan pendidikan adalah tentang pembentukan karakter individual maupun
kolektif dalam identitas kebangsaan. Tidak heran, Kementrian ini berupaya
menggabungkan pendidikan dan kebudayaan dalam satu lembaga. Mulanya lembaga
ini dikenal sebagaiDepartemen Pengajaran (1945-1948), kemudian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1999), laluDepartemen Pendidikan Nasional
(1999-2009), dan Kementerian Pendidikan Nasional (2009-2011), hingga akhirnya
sejak Oktober 2011 namanya ditetapkan menjadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sosok Hilmar Farid memang tidak akan bisa menyelesaikan semua
persoalan pendidikan di Indonesia, tapi ia akan membuka ruang partisipasi
lebar-lebar bagi pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan kurikulum yang lebih
progresif dan sekolah yang layak bagi kita semua. Bayangkan ketika Tetralogi
Buru dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer lainnya menjadi semacam bahan
bacaan bagi siswa SMA. Mungkin nantinya kita bisa belajar sejarah atau fisika
melalui musik. Ia juga akan terus meningkatkan kualitas infrastruktur, sarana
dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesiaserta kualitas dan kelayakan
hidup guru. Di antara semua cita-cita tersebut, entah mengapa, saya yakin
seorang Hilmar Farid bisa membuat kebijakan agar lembaga OSIS menjadi sebuah
laboratorium bagi para siswa untuk belajar mempraktikkan prinsip demokrasi
dan peningkatan peran anak muda di lingkungan sekolah.
Kelak, terpilih tidaknya Hilmar Farid sebagai Mendikbud adalah
hal lain. Yang paling penting adalah, sosok seperti dirinya, perlu terus
didukung, karena integritas, keberpihakan, kerja keras dan komitmennya
terhadap perubahan, sudah sering teruji dan sudah terbukti: ia tidak pernah
melenceng dari apa yang ia yakini, yang diyakini oleh banyak orang dengan
keras kepala, tentang perubahan masyarakat ke arah yang lebih waras, lebih
baik. Kalau pun terpilih, ia perlu terus dijaga, diingatkan, dan dibantu dari
gurita birokrasi pendidikan yang sudah sekian lama berkuasa dan sudah kita
tahu kinerjanya yang centang perenang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar