Kamis, 14 Agustus 2014

Papua Masih Bermasalah

                                         Papua Masih Bermasalah

Neles Tebay  ;   Dosen STFT Fajar Timur
dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
KOMPAS, 14 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

MUNGKIN karena perhatian terfokus pada perkara gugatan pemilihan umum presiden di Mahkamah Konstitusi, banyak pihak tidak mengetahui aksi baku tembak antara Polri-TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, yang merupakan sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka, di ujung timur persada nusantara Papua.

Dalam aksi baku tembak yang berlangsung sejak 28 Juli hingga 4 Agustus 2014, dua anggota  Polri tewas tertembak. Sebanyak 5 anggota Polri, 1 anggota Brimob, dan 2 anggota TNI menderita luka tembak. Rangkaian aksi penembakan ini sekali lagi memperlihatkan bahwa konflik Papua masih membara. Konflik bisa menyala kapan saja. Nyalanya dapat mengganggu, membakar, dan bahkan menghanguskan siapa saja.

Pemerintah sudah mengetahui ada bara konflik Papua. Oleh karena itu, sejak Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963 hingga kini, pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan berbagai cara, termasuk pendekatan keamanan. Namun, semua upaya yang dilakukan pemerintah selama 51 tahun  belum membuahkan hasil maksimal. Buktinya adalah TPN/OPM masih aktif hingga kini.

Keberadaan dan perlawanan OPM masih merupakan tantangan yang akan dihadapi presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono. Apabila tidak diselesaikan secara komprehensif, masalah Papua terus menjadi beban politik bagi pemerintah, entah siapa pun presidennya.
Tiga rekomendasi

Untuk menyelesaikan masalah Papua, tiga hal direkomendasikan di sini.

Pertama, diperlukan suatu kebijakan politik. Perlu ditegaskan di sini bahwa TPN-Papua Barat/OPM bukanlah sebuah kelompok kriminal bersenjata. Mereka sering melakukan aksi kriminal seperti penembakan, tetapi motivasi dan tujuannya politik.

TPN merupakan kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia dan  mempunyai bendera Bintang Kejora sebagai lambangnya. Oleh karena itu, TPN melakukan perlawanan politik terhadap NKRI.

Keberadaan anggota Polri dan TNI ditafsirkan sebagai simbol kehadiran negara Indonesia di Bumi Cenderawasih. Oleh karena itu, sekalipun anggotanya bisa saja adalah orang asli Papua, anggota TNI dan Polri menjadi sasaran penembakan TPN.

Tak perlu sepihak

Solusi politik dalam bentuk kebijakan tidak perlu ditetapkan sepihak dan pihak lain dipaksakan untuk menerimanya, seperti kebijakan otonomi khusus Papua. Solusi politik, entah apa pun isi dan bentuknya, mesti dicari bersama oleh pemerintah dan OPM.

Kedua pihak perlu dibantu untuk mengadakan pertemuan informal guna mengurangi kecurigaan dan meningkatkan kepercayaan antara mereka. Apabila kepercayaan sudah terbangun, lebih mudah bagi kedua pihak mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi politik secara bersama.

Kedua, suatu kebijakan diperlukan untuk menyembuhkan memori yang terluka sebagai akibat implementasi pendekatan keamanan pada masa lampau. Sekalipun pendekatan keamanan sudah ditinggalkan dan kini dikedepankan pendekatan kesejahteraan, dampak dari operasi militer masih dirasakan hingga kini.

Pada 1977-1978, sebuah operasi militer yang besar dilaksanakan di Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Lanny Jaya, yang kini di sana berlangsung aksi-aksi penembakan, merupakan daerah sasaran operasi militer itu. Operasi tersebut secara populer dikenal dengan nama Peristiwa 77.

Komisi Hak Asasi Manusia Asia (AHRC) di Hongkong dalam investigasinya mengidentifikasi 4.146 orang asli Papua sebagai korban yang tewas dalam Peristiwa 77. Semua nama korban dapat ditemukan dalam laporan The Neglected Genocide: Human Rights Abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978 yang diterbitkan pada 2013.

Sebagai akibat dari operasi militer ini, semua orang Papua di Kabupaten Lanny Jaya mempunyai pengalaman traumatis. Mereka hidup dengan memori yang terluka. Mereka mengalami trauma karena kehilangan orangtua dan sanak saudaranya serta menyaksikan bagaimana anggota keluarganya diperlakukan secara tidak manusiawi.

Puron Wenda dan Enden Wanimbo, dua tokoh yang memimpin aksi-aksi penembakan TPN terhadap aparat keamanan di Lanny Jaya kini, mewarisi dan menghidupi pengalaman traumatis dari Peristiwa 77. Mereka hidup dengan memori yang terluka ini. Oleh karena itu, memori yang terluka merupakan satu faktor penyebab dari penembakan terhadap aparat keamanan.

Pengalaman trauma seperti ini dirasakan juga oleh orang Papua di semua kabupaten yang pernah mengalami operasi militer. Jadi, banyak orang Papua yang hidup dengan memori yang terluka.

Memori terluka

Selama memori yang terluka ini belum disembuhkan, selama itu pula anggota Polri dan TNI akan dipandang sebagai musuh. Jadi, aksi baku tembak antara aparat keamanan dan TPN akan berlangsung di Tanah Papua.

Ketiga, pemerintah perlu mempercepat pembangunan sambil mencari solusi politik dan berupaya menyembuhkan memori yang terluka. Kabupaten Lanny Jaya merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya.

Wilayahnya terletak di daerah terisolasi. Fasilitas di bidang pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi rakyat, dan ketahanan pangan masih minim.

Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua belum berhasil mendongkrak tingkat kesejahteraan rakyat. Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat belum berhasil merebut kepercayaan rakyat Papua.

Guna mengurus ketiga rekomendasi di atas secara simultan, presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono, entah Joko Widodo entah Prabowo Subianto, perlu membentuk satu unit kerja di Kantor  Presiden. Unit ini bersifat ad hoc, bertanggung jawab langsung kepada presiden, dan berfungsi sementara hingga Papua menjadi tanah damai dan pembangunan dilaksanakan tanpa gangguan.

Berharap demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar