Era
Baru Turki dan Fenomena Erdogan
Pascal S Bin Saju ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
14 Agustus 2014
TURKI
telah menggelar untuk pertama kali pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat
dengan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan keluar sebagai pemenang. Erdogan
bertekad menjalankan ”era baru” rekonsiliasi nasional.
”Kita
mungkin memiliki pandangan politik, gaya hidup, aliran, nilai-nilai, dan akar
etnis berbeda. Tetapi, kita semua adalah anak negeri ini. Kita adalah pemilik
negara ini,” kata Erdogan, Minggu malam, seperti dikutip Gulf Daily News.
Berada
di dua benua—sebagian kecil di Eropa tenggara dan sebagian besar di Asia
barat—Turki adalah negara sekuler, multikultur, dan demokratis. Namun,
perilaku Erdogan yang cenderung otoriter beberapa tahun terakhir ini membuat
rakyatnya khawatir tentang kebebasan dan tunas-tunas demokrasi.
Erdogan,
yang menjabat PM Turki tiga periode sejak 14 Maret 2003, sering dihantam
gelombang unjuk rasa untuk mendesak dia mundur. Dia sempat menjadi target
arus protes Musim Semi Arab yang menjalar ke negerinya. Dia juga telah
berkali-kali dituding korup dan otoriter.
Akhir-akhir
ini, Erdogan memperlihatkan sedikit minat dalam melestarikan sistem berdasarkan
checks and balances dan pemisahan kekuasaan. Tindakan keras Erdogan terhadap
oposan politiknya dan retorika agresifnya memberi kesan kuat bahwa dia ingin
Turki menjadi negara demokrasi liberal.
Dengan
langkah itu, Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP),
bisa menggunakan mandat hasil pemilu untuk memerintah sesukanya dan dengan
sedikit atau tak ada pertimbangan perbedaan pandangan. Dia pun membuat media
ketar-ketir karena isu pengebirian kebebasan pers.
Oleh
karena itu, publik Turki pantas khawatir. Gelombang protes massal nasional
tahun lalu menunjukkan, mayoritas warga Turki bertekad menolak ambisi
otokrasi Erdogan. Pendukung mereka di media, masyarakat sipil, sistem
peradilan, dan birokrasi bergabung meletakkan dasar blok demokrasi yang
bertekad mencegah pengambilalihan mayoritas oleh Erdogan dan sekutunya.
Meski
demikian, demokrasi Turki terbukti lebih tangguh. Ada alasan baik untuk
percaya bahwa demokrasi sejati akan menang, apa pun hasil dari pemilihan
presiden langsung ini.
Perubahan
sistem
Perubahan
sistem politik dari parlementer ke presidensial merupakan taruhan politik
tertinggi Erdogan. Sistem baru ini memberi Erdogan hak prerogatif untuk
membubarkan DPR.
Langkah
besar itu didahului reformasi di Mahkamah Konsitusi (MK) dan diikuti
referendum konstitusi. Menurut Seyla Benhabib, profesor di Universitas Yale
dalam opininya di New York Times, usulan Erdogan untuk mereformasi MK
merupakan bentuk penataan ulang paling luas sistem politik Turki sejak
berdirinya republik sekuler itu pada tahun 1923.
Erdogan
sadar, perbedaan pandangan politik dan gejolak sosial yang tinggi berpotensi
merongrong kesatuan bangsa. ”Hari ini kita menutup era lama dan mengambil
langkah pertama menuju era baru,” kata dia dalam pidato kemenangan dari
balkon markas AKP di Ankara, seperti dikutip AFP.
Membangun
untuk kepentingan rakyat serta melupakan perbedaan dan pertikaian politik
adalah spirit kepemimpinan baru Erdogan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar