Pasca
Episode “Negeri Tanpa Telinga”
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan dan
Sastrawan
|
KOMPAS,
14 Agustus 2014
RAKYAT
sudah sangat lelah dan tidak butuh akrobat politik. Rakyat telah berkorban
dalam pemilu presiden. Kini saatnya mereka menyodorkan rekening tagihan
kepada presiden terpilih untuk mewujudkan semua janjinya saat kampanye. Rakyat
berharap, dengan kabinetnya yang profesional dan berkapasitas negarawan,
presiden terpilih memiliki telinga yang peka untuk mendengarkan sekaligus
meresapi tangisan rakyat.
Selama
ini, rakyat—warga negara tanpa kekuasaan—hidup dalam ”negeri tanpa telinga”,
seperti dalam film berjudul sama, garapan sineas Lola Amaria. Film produksi
tahun 2014 itu berkisah tentang para penyelenggara negara dan politisi yang
kehilangan telinga batin sehingga tak mampu menangkap, apalagi meresapi suara
rakyat. Mereka justru asyik masyuk dengan kekuasaan yang dieksploitasi
melalui korupsi. Tak hanya itu, mereka juga mengumbar skandal seks.
Rakyat
tidak ingin kekuasaan kleptokrasi-hedonistik atau ”rezim yang culas dan
cabul” itu datang lagi. Rakyat berharap setelah episode ”negeri tanpa
telinga” akan muncul rezim yang
bersih, berbudaya, dan betelinga tajam/peka. Rakyat pun telah jera dan
traumatik dipimpin ”rezim narsistik” yang sibuk bergincu memamerkan keelokan
fisik, tetapi gagap dan gugup ketika bertarung dengan persoalan-persoalan
riil, di mana nasib rakyat dipertaruhkan.
”Rezim
narsistik” tak lebih dari manekin-manekin yang nangkring di etalase mal
kekuasaan dan tidak pernah mencium ”harum” aroma penderitaan rakyat. Mereka
hanya pamer gebyar cahaya pasar, sementara rakyat hidup tersuruk dalam
kegelapan tanpa masa depan.
Kangen
perubahan
Ketika
parpol-parpol tak serius bekerja, subyek penting dalam pemenangan presiden
terpilih adalah rakyat. Rakyat ikhlas menjadi relawan yang bekerja total,
baik di dunia nyata maupun di jagat virtual. Karena kangen perubahan secara
mendasar dan signifikan, jutaan galon energi mereka tumpahkan.
Mereka
dengan gagah berani menghadang politik uang, intimidasi, dan rekayasa
politik. Mereka tidak sedang melakukan mitologisasi atas tokoh, tetapi
memperjuangkan nilai kebaikan yang makin kabur di negeri tanpa telinga ini.
Tentu
dukungan masyarakat simpatisan dan partisipan atas tokoh yang terpilih
menjadi presiden bukan tanpa reserve. Para relawan itu akan kembali ke jalan,
membentuk parlemen merdeka untuk menyikapi secara kritis rezim yang berkuasa.
Artinya,
presiden terpilih tak bisa ”gede rasa” menganggap kecintaan rakyat atas
dirinya tanpa batas dan tanpa revisi. Rakyat yang cerdas punya prinsip,
sebuah pemerintahan akan bersih, menyejahterakan (pro publik), dan dicintai
jika sanggup dikoreksi dan direvisi. Koreksi dan revisi menghindarkan
kekuasaan lepas dari rel konstitusi.
Untuk
itu, rezim yang terbentuk jangan berharap akan bisa leluasa mengeksploitasi
kekuasaan demi melampiaskan dendam atas ”kelaparan” setelah lama berpuasa.
Tugas suci dan pokok memimpin pemerintahan adalah mendistribusi kesejahteraan
bagi publik, bukan menumpuk-numpuk kekayaan di gudang ambisi pribadi dan
kelompok. Rezim yang berperilaku gandrung kekayaan terbukti jebol dihantam
air bah kritisisme rakyat. Jadi, belajarlah pada sejarah Orde Baru.
Dalam
sistem demokratis, pemerintahan bukan gedung tertutup dengan tembok masif
tanpa jendela dan pintu, melainkan rumah kaca tembus pandang. Rakyat bisa
mengamati dan menandai perilaku aktor-aktor rezim. Rakyat akan tahu siapa
yang bekerja dan siapa yang hanya duduk manis sambil menghitung uang dan
keuntungan.
Rakyat
akan protes terhadap setiap upaya untuk memasang gorden atau tabir
pemerintahan. Protes itu juga akan berbuncah ketika sebuah rezim ramai-ramai
menyumpali telinganya dengan kapas atau gabus. Penderitaan rakyat pun akan
lebih nyaring terdengar, menjelma gelombang energi yang menjebol sumpalan
telinga itu.
Dalam
memerintah berkontrak lima tahun, mestinya presiden terpilih menjadikan
kesempatan sebagai momentum emas untuk memberi makna atas kerja politiknya.
Makna itu bisa diwujudkan melalui kabinet yang bekerja penuh passion, sarat
semangat profetik dengan kecerdasan akal-budi, keterampilan manajerial, serta
ketajaman mata dan telinga. Kelak, rezim macam itu akan terasa indah dikenang
rakyat. Saatnya diakhiri episode ”negeri
tanpa telinga” agar rakyat kembali menemukan rumah kedaulatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar