Panggung
Politik MK
Bivitri Susanti ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum, University of Washington, Seattle, AS
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
ARENA pertarungan politik
telah berpindah dari ranah politik ke ranah hukum sejak hasil penetapan KPU
tentang pemilihan presiden dan wakil presiden diperselisihkan di Mahkamah
Konstitusi. Dalam konstruksi yang mirip, hal ini terjadi di Amerika Serikat
pada 2000, antara Bush dan Al Gore. Dengan sistem pilpres yang berbeda dengan
Indonesia karena mereka menggunakan sistem perwakilan, Mahkamah Agung (MA) AS
menunda pemilihan ulang di Negara Bagian Florida yang telah terjadi otomatis
karena ada perbedaan suara yang terlalu sedikit. Hal itu mengakibatkan Bush
menjadi Presiden AS 2000-2004, yang berlanjut ke periode kedua sampai 2008.
MA AS praktis menjadi penentu akhir presiden AS ketika itu.
Perdebatan terjadi di meja akademik dan media massa, tetapi putusan tak bisa
berubah.
Kasus Bush melawan Al Gore bukan satu-satunya contoh. Hal serupa
juga pernah terjadi di banyak negara lain. Lembaga yudikatif telah menjadi
penentu akhir dalam sengketa pilpres di Taiwan (2004), Puerto Riko (2004),
Ukraina (2005), Kongo, (2006), Italia (2006), dan Meksiko (2006).
Ran Hirschl menyebut fenomena ini sebagai judicialization of mega-politics (Hirschl, 2008) atau pengalihan peristiwa-peristiwa politik besar
ke meja yudikatif. Fenomena pertanyaan politik mendasar diputuskan oleh
pengadilan tidak hanya terjadi dalam soal pilpres, tetapi juga dalam soal
pergantian rezim, pertanyaan soal identitas bangsa, dan keamanan nasional.
Dengan membandingkan kasus-kasus di sejumlah negara, Hirschl
mengingatkan, dialihkannya pengambilan keputusan politik dari lembaga politik
ke lembaga yudikatif adalah fenomena politik, bukan semata peristiwa hukum.
Oleh karena itu, pengadilan penguji urusan konstitusional juga harus dilihat
dalam sebuah konteks politik, bukan sebagai sebuah lembaga hukum dalam ruang
hampa. Pengadilan yang menangani sengketa ini harus dilihat sejarah
kelahirannya, komposisi hakim-hakimnya, serta posisi politiknya dalam kondisi
terkini.
Hakim politik
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) RI harus dilihat pula
dalam konteks politik. Sembilan hakim konstitusi akan memutus perkara
bersama-sama dan putusannya bersifat final. Perlu dicatat, setiap tiga dari
sembilan hakim dipilih oleh pemerintah, DPR, dan MA. Oleh karena itu, latar
belakang mereka cukup beragam.
Ketiga hakim konstitusi yang berasal dari MA, misalnya, mempunyai
karier cukup baik sampai pengadilan tinggi sehingga dipilih menjadi hakim
konstitusi. Lainnya berlatar belakang akademisi dan pejabat pemerintahan.
Jika melihat latar belakang politik, ada dua hakim konstitusi
yang pernah aktif di dua partai politik, termasuk jadi anggota DPR. Ketua MK
Hamdan Zoelva dulu aktif di Partai Bulan Bintang dan Patrialis Akbar pernah
aktif di Partai Amanat Nasional serta jadi Menteri Hukum dan HAM (2009-2011).
Keduanya berperan dalam amendemen konstitusi 1999-2002, yang salah satunya
menghasilkan sistem pemilihan presiden secara langsung ini.
UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
mengatakan, obyek sengketa adalah hasil penghitungan yang memengaruhi
penentuan terpilihnya calon presiden. Ada dua hal yang bisa dipersoalkan,
yaitu hasil rekapitulasi dan adanya kecurangan.
Menyoal hasil rekapitulasi berarti ”mengadu” penghitungan Komisi
Pemilihan Umum dengan penghitungan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dengan
transparansi KPU yang mengunggah semua form C1 di situs mereka dan verifikasi
bertingkat yang sudah dilakukan, sulit bagi tim Prabowo-Hatta untuk
menandingi penghitungan KPU. Lagi pula, 8,4 juta suara bukanlah perbedaan
yang kecil.
Bagaimana klaim kecurangan? Putusan MK terdahulu mengenai
sengketa pilpres ataupun pemilihan kepala daerah mensyaratkan adanya
kecurangan yang sifatnya ”sistematis,
terstruktur, dan masif”. Sifat-sifat kecurangan tersebut harus bisa
dibuktikan secara rinci. Sekadar menyebut adanya pelanggaran atau kecurangan
tak memadai bagi MK.
Penting dicatat, MK tidak mengabulkan permohonan sengketa
Pilpres 2004 dan 2009 dengan klaim kecurangan karena tak memenuhi sifat-sifat
tersebut. Waktu itu, meski mengakui ada kecurangan dan pelanggaran, MK
memandang kecurangan itu tak signifikan dan tidak bersifat sistematis,
terstruktur, dan masif.
Meski ia berada dalam konteks politik, MK adalah pengadilan yang
memiliki hukum acara yang jelas untuk menjaga integritas dan profesionalitas
putusan nantinya. Retorika politik tidak ”berharga” dalam sidang pengadilan.
Dokumen, saksi, dan alat bukti lainnya akan diperiksa dengan tata cara yang
ketat.
Penentu masa depan
MK saat ini ada di panggung politik yang riuh dan panas. Dengan jutaan
pasang mata yang menyoroti, legitimasi MK akan diuji. Sementara baru beberapa
minggu lalu bekas Ketua MK Akil Mochtar dihukum pidana penjara seumur hidup
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Tak pelak, kecurigaan dan
kekhawatiran mewarnai pemeriksaan di MK.
Kabar baiknya, kita semua bisa melihat dengan jelas proses
persidangan nantinya karena hanya rapat para hakim dalam menentukan putusan
yang tertutup untuk umum. Klaim penghitungan dan kecurangan nantinya tak
hanya dinilai oleh hakim, tetapi juga dilihat oleh publik.
Ditambah lagi, inisiatif publik yang luar biasa dalam mengawal
pilpres kali ini juga membuat data dan informasi tersedia sehingga ada data
pembanding yang memadai bagi jutaan mata yang mengawasi. Inilah konteks
politik penting yang harus dilihat MK dan para juris.
Putusan apa pun yang dihasilkan akan terus menjadi bahan diskusi
dan tidak akan memuaskan semua pihak. Namun, dengan panggung politik yang
penuh informasi dan ramai oleh pemilih yang makin sadar akan haknya, MK tidak
punya pilihan lain, selain menjaga profesionalitas dan integritasnya. Yang
dipertaruhkan di sini tak hanya legitimasi MK, tetapi juga masa depan
demokrasi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar