Membuktikan
Kecurangan Pilpres
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
06 Agustus 2014
TIGA
hari pasca pengumuman Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan dan mengesahkan
pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla sebagai presiden-wakil presiden terpilih
2014-2019, pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-M
Hatta Rajasa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Kubu Prabowo-Hatta mengklaim
memiliki 2 juta lembar bukti dan 500 saksi terkait dugaan adanya kecurangan
pemilu presiden (pilpres) di sejumlah provinsi yang dilakukan secara
terstruktur, sistematis, dan masif. Pada hakikatnya pembuktian dalam hukum
acara MK tidak memiliki perbedaan prinsip dengan pembuktian dalam perkara
lainnya. Apakah itu perkara pidana, perkara perdata, ataupun perkara tata
usaha negara.
Empat hal fundamental
Ian Dennis dalam The Law Evidence (third edition, Sweet and Maxwell, London,
2007, halaman 5-6) mengemukakan ada empat hal yang
fundamental terkait pembuktian. Pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan
sengketa atau perkara yang sedang diproses. Artinya, bukti tersebut berkaitan
dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran dari suatu peristiwa.
Kedua, suatu bukti
haruslah dapat diterima atau admissible.
Biasanya suatu bukti yang diterima dengan sendirinya relevan. Sebaliknya,
suatu bukti yang tidak relevan tidak akan dapat diterima. Kendatipun
demikian, dapat saja suatu bukti relevan, tetapi tidak dapat diterima.
Tegasnya, suatu bukti yang dapat diterima pasti relevan, tetapi tidak
sebaliknya, suatu bukti yang relevan belum tentu dapat diterima. Dengan kata
lain, primafacie dari bukti yang diterima adalah bukti yang
relevan.
Ketiga, apa yang disebut
sebagai exclusionary rules.
Dalam beberapa literatur dikenal dengan istilah exclusionary discretion. Phyllis B Gerstenfeld memberikan
definisi exclusionary rules sebagai
prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara
melawan hukum. Tegasnya, peraturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang
diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima di pengadilan. Terlebih dalam
rangka mencari kebenaran materiil, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh
hakim bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.
Keempat, dalam konteks
pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat
dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, kita memasuki kekuatan
pembuktian atau weight of the
evidence atau bewijskracht.
Di sini hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan,
kesesuaian antara bukti yang satu dan bukti yang lain, dan kemudian akan
menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
mengambil putusan.
Bukti dan saksi
In casu a quo gugatan yang diajukan oleh kubu
Prabowo-Hatta apabila dihubungkan dengan hal-hal fundamental dalam hukum
pembuktian ada beberapa catatan penulis. Pertama, berdasarkan berkas
permohonan sengketa pemilu yang diunggah di situs resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id,
sesaat setelah kubu Prabowo-Hatta mendaftarkan gugatan, terlihat jelas
ketidakcermatan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta dalam menyusun permohonan.
Ketidakcermatan
tersebut antara lain uraian permasalahan di Sumatera Selatan yang sama persis
dengan uraian di Sumatera Barat. Demikian pula uraian permasalahan di
Bengkulu yang sama persis dengan Kepulauan Bangka Belitung, bahkan
angka-angkanya pun tidak berubah. Selain itu, terdapat salah kutip seperti
dalam uraian permasalahan di Jawa Barat, tiba-tiba muncul perolehan hasil
penghitungan suara di daerah Maluku. Selanjutnya di Provinsi Riau, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo tidak
terdapat uraian permasalahan (Kompas,
30 Juli 2014).
Ketidakcermatan yang
demikian sangat berkaitan erat dengan bukti yang relevan. Kendatipun hukum
acara MK menoleransi adanya mekanisme perbaikan permohonan, sewajarnya fundamentum petendi (dasar
gugatan) disusun berdasarkan bukti yang relevan.
Adanya fundamentum
petendi yang di- copy-paste antara
satu provinsi dan provinsi lainnya serta permohonan tanpa uraian permasalahan
di beberapa provinsi telah memberikan indikasi yang kuat bahwa permohonan
tersebut tanpa bukti yang relevan dan cenderung pada unfair prejudice,
sesuatu yang tidak boleh ada dalam mencari kebenaran materiil. Asumsi ini
sengaja dibangun untuk mengonstruksikan bahwa kecurangan dalam pilpres
berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif dengan cara bukti-bukti
yang ada di satu provinsi digeneralisasi terjadi pula di provinsi yang lain.
Tegasnya, permohonan tersebut lebih pada asumsi dan tidak berdasarkan bukti
yang relevan.
Kedua, masih berkaitan
dengan yang pertama, jika suatu bukti tidak relevan, secara mutatis
mutandis bukti tersebut juga
tidak admissible. Konsekuensi lebih lanjut bukti tersebut
haruslah dikesampingkan.
Ketiga, terkait 2 juta
lembar bukti dan 500 saksi yang akan dihadirkan. Pertanyaan lebih lanjut,
bagaimanakah 2 juta lembar bukti tersebut diperoleh? Apakah perolehannya
sudah sesuai dengan prosedur dalam hukum pembuktian? Bagaimana memvalidasi
sekian banyak bukti yang dimiliki? Hal-hal ini adalah pertanyaan mendasar
menyangkut exclusionary rules.
Demikian pula dengan 500 saksi yang disiapkan. Patut dipertanyakan perihal
kualitas pribadi saksi, sumber dan substansi kesaksian, sebab apa saksi
mengetahui dan bagaimana hubungan serta kesesuaian antara satu saksi dan
saksi lainnya. Sejumlah pertanyaan terkait exclusionary rules sangat penting untuk digali dalam rangka
mencegah rekayasa alat bukti, termasuk saksi palsu.
Keempat, jika terdapat
ketidaksesuaian antara bukti yang diajukan oleh kubu Prabowo-Hatta dan bukti
yang dimiliki oleh KPU, termasuk Bawaslu, maka Majelis Hakim MK dihadapkan
pada weight of the evidence.
Secara cermat hakim harus mengevaluasi dan menganalisis setiap bukti yang
ada. Jika bukti yang diajukan oleh pemohon dan termohon memiliki kekuatan
pembuktian yang sama, dalam konteks yang demikian, hakim akan berpegang pada postulat in dubio pro reo.
Artinya, dalam keragu-raguan hakim harus memutuskan yang menguntungkan bagi
termohon atau tergugat.
Pembukaan kotak suara
Kelima, sebagai
catatan terakhir dari penulis adalah perihal pembukaan kotak suara yang
dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Perlu dipahami bahwa in casu a quo, KPU
dan Bawaslu adalah termohon atau tergugat. Dalam hukum pembuktian modern
harus ada jaminan keseimbangan antara hak penggugat atau pemohon dan hak
tergugat atau termohon.
Di satu sisi, pada
pihak penggugat atau pemohon berlaku asas actori incumbit probatio:
siapa yang mendaku sebagai haknya, dialah yang wajib membuktikan. Namun, di
sisi lain, tergugat atau termohon memiliki apa yang disebut sebagai exculpatory evidence. Artinya,
tergugat atau termohon memiliki hak yang seluas-luasnya untuk membuktikan
bahwa dia tidak bersalah atas suatu gugatan atau permohonan. Pembukaan kotak
suara yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, selama sesuai dengan prosedur,
termasuk dihadiri oleh para saksi dan aparat yang berwenang, adalah sesuatu
yang tidak melanggar hukum. Pembukaan kotak suara harus dibaca sebagai exculpatory evidence yang
dimiliki KPU untuk mempersiapkan bukti dalam menghadapi pembuktian yang akan
diajukan oleh kubu Prabowo-Hatta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar