Antara
Relawan dan Aktivis
Seno Gumira Ajidarma ;
Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 18 Agustus 2014
Relawan, dengan mukjizat kata "rela" di sana, telah menjadi keberdayaan sosial yang
penting. Yakni ketika ia terbukti mampu mengorganisasikan dirinya sendiri
menjadi gejala umum yang berpengaruh, sehingga tak kalah mangkus dan sangkil
untuk bersaing dengan mesin politik ampuh dari sebuah partai.
Gerakan para relawan memang suatu bentuk kepedulian, tapi yang
menuntut untuk diwujudkan secara konkret: waktu, dana, tenaga, sebagai bentuk
keberpihakan berdasarkan tujuan bersama yang mengatasi tujuan partai,
berdasarkan kesadaran untuk bersikap radikal-yakni berpihak dengan total,
tanpa kompromi apa pun.
Apakah ini yang disebut
aktivisme?
Dalam bahasa Jerman, istilah "Aktivismus" mulai muncul
pada akhir Perang Dunia I, untuk menandai prinsip keterlibatan politik secara
aktif oleh kaum intelektual. Dengan kata lain, privilese intelektual untuk
berada di menara gading, dan cukup "hanya berpikir" saja, tentu
harus ditinggalkan. Jadi, bukan hanya pemikiran, tapi juga usaha untuk
membela dan mewujudkan pemikiran itulah yang membuatnya disebut aktivisme.
Dalam konteks Jerman, Aktivismus ini merupakan bagian dari
ekspresionisme, yang sayap politiknya waktu itu kuat. Biasanya dihubungkan
dengan Kurt Hiller, pengarah organisasi Neuer Club yang menaungi para penyair
ekspresionis awal; maupun Franz Pfemfert, pendiri majalah Die Aktion pada
1911 yang sangat politis.
Lantas, diingat maupun tidak asal-usulnya ini, aktivisme
dipahami sebagai sikap berapi-api terhadap aksi politik, yang menghasilkan
praktek politik dengan semangat tinggi-yang mengandaikan terdapatnya peran
khusus bagi aktivis. Ini tercatat berlangsung dalam gerakan revolusi, dan
terutama penting dalam partai-partai politik radikal. Tidak aneh jika bentuk
ekstremnya adalah penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik.
Bagi aliran politik sayap kiri, istilah militan disebut secara
bergantian dalam pengertian yang sama dengan aktivis, tapi yang pertama
mengacu dengan selayaknya kepada derajat radikalisme dalam politik seseorang,
sedangkan yang kedua kepada derajat keterlibatannya-jadi, meskipun
berkorelasi, keduanya dapat dipisahkan. Menurut Leopold Labedz, aktivis di
semua partai lebih peduli kepada kemurnian deklarasi daripada para
anggotanya, seperti terjadi pada semua partai komunis sebelum mereka
berkuasa, dan peran kaum aparat menjadi sangat penting (Bullock & Tromley, 1999: 7).
Dengan berbagai pengertian ini, kaum militan maupun para aktivis
jelas adalah juga relawan. Tapi, yang berbeda dari relawan, mereka merupakan
anggota partai. Sedangkan relawan, selain bukan anggota partai, memang tidak
mengacukan kegiatannya kepada ideologi partai, melainkan kepada ideologi
dalam pengertian yang lebih luas, dengan ideologi partai tercakup di
dalamnya. Ini berarti, meskipun relawan tidak merupakan anggota partai,
sebetulnya lebih radikal karena keterikatan ideologisnya berada di atas
kepentingan partai.
Dalam proses politik praktis, keduanya bisa bersimbiosis dalam
tujuan-tujuan praktis pula, ketika para relawan seperti mendapatkan institusi
praktis bagi cita-cita ideologisnya, dan para aktivis jelas teruntungkan
dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun simbiosis ini bisa berhenti justru
ketika sudah menang dan berkuasa, ketika dalam perkembangannya tujuan-tujuan
praktis itu tidak sejalan dengan cita-cita ideologis. Di satu pihak bisa
merupakan fungsi kontrol yang berguna, di lain pihak bisa mengganggu
pekerjaan praktis. Demikianlah, bulan madu yang manis berpotensi menjadi
kenyataan pahit, apabila partai yang termenangkan tidak dapat mempertahankan
integritasnya dalam praktek kekuasaan.
Artinya, terdapat proses politik maupun proses budaya di sini,
dengan proses politik sebagai salah satu faktor yang membentuk proses budaya
itu. Sebagai bagian dari proses budaya, sebetulnya proses politik merupakan
bagian dari gerakan kebudayaan yang berlangsung bersama aktivisme para
relawan. Tapi, ketika memegang tampuk kekuasaan, kepentingan politik bisa
sangat menentukan proses budaya itu. Dengan demikian, menjadi penting bahwa
kepentingan politik-terutama bila berarti kepentingan partai-tetap tinggal 0
persen dalam penyelenggaraan kekuasaan.
Disebutkan, "Posisi
kebudayaan dalam menghadapi strategi tidak menyimpulkan suatu strategi
kebudayaan. Apa yang telah terjadi hanyalah dukungan terbatas kepada strategi
tanpa melanggar prinsip bahwa tiada paksaan dalam kebudayaan." (Soekito, 04/01/1985: 4). Ini
menunjukkan betapa proses budaya memang sangat sensitif terhadap proses
politik.
Keputusan relawan untuk mendukung aktivis partai bukanlah
keputusan strategis-mereka baru berstrategi setelah terlibat pusaran politik.
Tapi relawan jelas berpolitik hanya untuk sementara waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar