Senin, 25 Agustus 2014

Norma Baru Sinkronisasi Regionalisme

Norma Baru Sinkronisasi Regionalisme

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2014
                                                


Kompetisi ekonomi global abad ke-21 akan selalu mengacu pada persaingan memperoleh sumber daya dan pasar. Konstruksi persaingan ini pun bergeser ke lautan sebagai potensi baru pertumbuhan di tengah persoalan globalisasi dalam transformasi ekonomi, politik, dan budaya serta pergeseran paradigma perubahan sistem dengan teknologi sebagai kekuatan pendorong.

Kenyataan ini dicerminkan Indonesia melalui Poros Maritim Dunia pemerintahan baru presiden terpilih, Joko Widodo, ataupun Presiden RRT Xi Jinping dalam strategi yang dirumuskan sebagai haishang sichou zhi lu (Jalan Sutra Maritim). Indonesia mencoba kembali ke jati dirinya (Rizal Sukma, Kompas, 20/8), sedangkan untuk Tiongkok, maritim menjadi platform baru penyegaran kembali impian Tiongkok untuk memperluas kemitraan perdagangan di Asia Pasifik.

Persoalan keamanan energi dan pangan dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang menjadi tantangan dan ancaman tersendiri, memaksa sejumlah negara memperluas skema kemitraan di berbagai sektor kehidupan modern. Asia Pasifik menjadi unik ketika faktor regionalisme mencerminkan dinamikanya tersendiri. Regionalisme itu meliputi faktor demografi, urbanisasi, ketersediaan sumber daya, tingkat pendapatan ataupun ketidaksetaraan pendapatan, struktur pemerintahan, dan kekhawatiran menghadapi persoalan perubahan iklim.

Gagasan maritim sebagai poros bisa menjadi antitesis terhadap kemungkinan pecahnya konfrontasi serius yang mengikuti proses ”pasca globalisasi.” Berbeda dengan pemikiran modernitas yang bisa diikuti dengan pasca modernitas (post modernity), ”pasca globalisasi” menjadi sesuatu yang abstrak menghadirkan kekhawatiran sebuah distopia dalam mencari bentuk elemen-elemen geopolitik di tengah derasnya perubahan.

Konteks perubahan ini ingin dipahami ketika pertumbuhan eksponensial di berbagai sektor kehidupan di kawasan Asia Pasifik mencari peluang baru dalam Poros Maritim Indonesia dan Jalan Sutra Maritim Tiongkok. Skala perubahan doktrin maritim ini sekaligus membentuk perencanaan strategis dampak politik-militer jangka panjang, ketika rekonstruksi antarnegara-antarbangsa memerlukan sinkronisasi keluar dari politik perimbangan kekuatan senjata dengan biaya yang tak kalah masif dalam mengembangkan strategi kemaritiman jangka panjang.

Hubungan kekuatan laut sejumlah negara Asia Pasifik tidak lagi terpaku pada kebebasan navigasi ataupun kepentingan keamanan segelintir negara saja, apalagi membangun aliansi menghadapi kebangkitan negara lain. Globalisasi menghadirkan negara kuat baru dalam panggung internasional sebagai alternatif atas aliansi Barat tradisional yang selama ini dikenal.

Kebangkitan negara kuat baru dalam reposisi kekuatan ekonomi dan perdagangan, seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) atau eselon negara kuat lain, seperti Indonesia, Turki, atau Iran, mulai mendorong aturan-aturan dan norma-norma baru hubungan internasional. Hal ini termasuk kemaritiman sebagai paradigma baru menghadirkan tatanan stabil maritim sebagai kebutuhan bersama.

Strategi Jalan Sutra Maritim RRT menawarkan gagasan bank investasi infrastruktur untuk memberikan fasilitasi investasi dan dukungan keuangan bagi percepatan gagasan ini. Poros Maritim Indonesia memerlukan sinkronisasi memadai, ketika regionalisme menjadi pilihan strategis mengejawantahkan kemandirian Cakrawala Mandala Dwipantara sebagai fondasi peremajaan konsep Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar