Pendidikan
untuk Hidup Bersama
Antonius Cahyadi ; Dosen FHUI; Penggiat Lingkar
Studi Pendidikan Progresif
|
KOMPAS,
25 Agustus 2014
Kejadian-kejadian
yang kita saksikan hari-hari belakangan ini membuat kita berpikir keras: ada
apa?
Mulai
dari vandalisme yang diduga dilakukan orang Indonesia di Gunung Fuji, Jepang;
dukungan beberapa orang Indonesia untuk teroris NIIS (Negara Islam di Irak
dan Suriah/ISIS); sampai perbincangan tentang larangan menggunakan atribut
keagamaan pada sekolah di Bali.
Mungkin
dengan nada sinis kita bisa mengatakan vandalisme di Gunung Fuji belum ada
apa-apanya dibandingkan dengan gunung-gunung di Indonesia. Padahal, para
pendaki di Indonesia berpandangan, gunung yang mereka daki adalah gunung
keramat. Namun, itu tidak membuat gunung tersebut terhindar dari vandalisme
dan sampah.
Untuk
yang kedua, tentang kelompok teror dan penggunaan atribut keagamaan, sudah
sejak lama kelompok teroris dan intoleran mengganggu ruang publik kita. Kita
malah punya kesan, ada pembiaran dan pembiasaan di ruang publik. Mengenai
atribut keagamaan, sebelum ini kita malah mendengar, tidak dilarang, tetapi
diwajibkan, bahkan untuk para peserta didik yang tidak beragama sama seperti
mereka yang mewajibkan.
Untuk
pelarangan dan pewajiban penggunaan atribut keagamaan, kita lalu menemukan
kata yang kerap digunakan untuk menilai sikap seseorang, yaitu islamofobia
atau kristianofobia serta mungkin juga perasaan dan sikap anti semit, apabila
itu berkaitan dengan sentimen anti Yahudi. Sama halnya seperti ketika kita
kerap mendengar isu kristenisasi dan juga seharusnya islamisasi. Keduanya
berkaitan dengan fobia yang kita miliki terhadap kelompok yang berbeda
keyakinan dengan kita.
Namun,
islamofobia, kristianofobia, atau anti semitisme tidak dapat menjelaskan
fenomena vandalisme dan menyampah di gunung-gunung. Ada yang dapat menjalin
itu semua dalam satu rangkaian refleksi, yaitu hidup bersama. Hidup bersama
dengan orang lain membutuhkan semangat dan ruang hidup bersama, selain itu
tentu juga penghormatan, menjaga, serta merawat semangat dan ruang itu.
Apa itu hidup bersama?
Hidup
bersama tak hanya butuh rasa dan semangat kebersamaan yang mengikat hidup,
tetapi juga ruang atau tempat hidup bersama. Secara nyata, ruang menunjuk
pada tempat fisik kehidupan bersama. Maka, selain semangat kebersamaan, rasa
persatuan, dan gotong royong, hidup bersama juga diwujudnyatakan dalam
tempat-tempat dan monumen-monumen fisik kebersamaan. Ada bangunan berupa
gedung, lapangan, fasilitas, dan infrastruktur yang memudahkan kebersamaan.
Sarana transportasi menjadi contoh nyata. Hidup bersama menunjuk pada kedua
entitas berada ini, yaitu semangat dan ruang fisik berada.
Jika
untuk hidup bersama ada syarat menerima perbedaan dari mereka yang ingin
hidup bersama, pemenuhan syarat ini bukan sekadar tentang ada semangat
keterbukaan yang toleran dan tindakan mewujudnyatakan itu. Namun, juga harus
ada fasilitas fisik yang memudahkan dan membuat nyaman semua orang yang ingin
terbuka dan hidup toleran di ruangan hidup bersama tersebut. Misalnya, kita
tidak akan nyaman jika di tempat hidup kita bersama tercium bau sampah yang
begitu busuk atau secara visual pemandangan yang membuat kita tidak dapat
menikmati semangat dan tindakan kebersamaan kita.
Kesalingan
dan kewarasan hidup bersama difasilitasi bentuk-bentuk material yang
memungkinkan kita menikmati secara nyaman hidup bersama. Semangat hidup
bersama diwujudnyatakan dan dimaterialisasikan dalam keberadaan dan penghormatan
secara nyata pada tempat-tempat hidup bersama dan monumen-monumen hidup
bersama, termasuk kondisi alam atau lingkungan hidup bersama tersebut. Ada
bangunan (rumah- rumah ibadah dan gedung pertemuan), monumen (patung, tugu,
dan lain sebagainya), serta tempat-tempat hidup bersama (taman; entah taman
kota, taman nasional, dan lain sebagainya).
Kalau
itu tidak ada dan tidak dirawat, semangat hanya tinggal kata-kata belaka.
Dalam hidup bersama itu, tidak ada mayoritas-minoritas, tetapi kesalingan.
Jumlah kecil atau besar tidak dijadikan ukuran karena jika sudah menakar
mayoritas-minoritas, berarti sudah ada pamrih untuk merasa paling berjasa.
Hidup
bersama itu mengandalkan keterbukaan. Bersedia membuka diri dan memberikan
diri untuk hidup bersama. Pengorbanan ditangkap dalam konteks yang
sedemikian, bukan menyerahkan seluruhnya sehingga tidak punya kuasa atas
dirinya. Ia terbuka untuk diatur dalam rangka hidup bersama, bukan untuk
dikuasai.
Aspek pendidikan
Dengan
demikian, aksi vandalisme dan menyampah di gunung-gunung, yang merupakan
taman hidup bersama, sama berbahayanya dengan sikap-tindak intoleran berbasis
atas keyakinan atau agama yang memang berbeda tataran pemahamannya. Keduanya
berbahaya bagi kehidupan bersama. Aksi vandalisme terhadap gunung-gunung bisa
jadi tersembunyi dari mata keseharian kita. Namun, hal serupa dapat dijumpai
dalam aksi vandalisme terhadap bangunan dan fasilitas fisik di sekitar kita.
Corat-coret yang tidak semestinya, merusak bangku taman kota, serta sampah
yang berceceran dan dicecerkan menjadi aksi biasa yang membuat hidup bersama
menjadi tidak nyaman.
Jika
Kompas (11/8/2014) dalam laporannya menyatakan bahwa vandalisme di Gunung
Fuji yang diduga dilakukan orang Indonesia merupakan cermin kegagalan
pendidikan lingkungan di Indonesia, dalam konteks yang lebih luas—sekaligus
kita mencoba membaca kecenderungan intoleransi yang terjadi di masyarakat
kita—hal itu menjadi cermin kegagalan pendidikan tentang hidup bersama dan
juga pendidikan untuk hidup bersama.
Pendidikan
pada dasarnya adalah upaya untuk membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan
kemasabodohan. Salah satunya membebaskan seseorang dari egosentrisme diri dan
juga sektarianisme. Pendidikan membuat seseorang bisa melihat lebih luas dan
mewawas berbagai pilihan dalam hidupnya sendiri dan hidup bersamanya. Ia
mempunyai pilihan untuk mencintai dan bertoleransi lebih dari sekadar dogma
yang diterimanya: mencintai tempat hidup bersamanya dengan menjaga, merawat,
dan bertoleransi dengan ”yang lain”
daripada dirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar