Senin, 25 Agustus 2014

Peta Politik yang Mungkin Berubah

Peta Politik yang Mungkin Berubah

Yohan Wahyu ;   Litbang Kompas
KOMPAS, 25 Agustus 2014
                                                


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa diyakini akan membuka konfigurasi politik baru. Perubahan koalisi partai politik berpeluang terjadi ketika logika kekuasaan masih mendominasi wajah parpol negeri ini.

Keyakinan akan terjadinya perubahan peta koalisi itu terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Separuh lebih responden (61 persen) meyakini, konfigurasi politik baru akan muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)–Jusuf Kalla (JK) sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014.

Perubahan peta koalisi bukanlah barang haram dalam politik. Adagium yang menyatakan ”tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan” cukup tertanam kuat dalam bayangan publik.

Hal ini terkait dengan citra parpol yang selama ini dinilai lebih mengutamakan kelompoknya dibandingkan kepentingan rakyat. Citra negatif parpol itu membuat publik meyakini, partai mudah mengubah haluan politiknya. Parpol yang semula mendukung pasangan calon tertentu bisa dengan mudah beralih mendukung kubu lain, terutama pasangan pemenang.

Hasil jajak pendapat memperlihatkan, sebagian besar responden (69,2 persen) setuju jika koalisi partai yang memenangi pilpres membuka kesempatan bagi parpol yang sebelumnya berseberangan untuk bergabung dalam koalisi pendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Tiga dari empat responden menyebut, alasan utama bagi terbukanya konfigurasi politik baru adalah semata-mata untuk membangun pemerintahan yang kuat.

Peta koalisi

Jika merujuk peta koalisi saat Pilpres 2014, kekuatan partai pendukung Jokowi-JK di parlemen hanya 207 kursi (37 persen). Sementara enam partai di parlemen yang mendukung Prabowo-Hatta memiliki 353 kursi (63 persen). Bahkan, mereka telah mendeklarasikan diri sebagai koalisi permanen (14/7). Maka, di atas kertas, kekuatan politik Jokowi-JK di parlemen kalah jauh dibandingkan Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta.

Konfigurasi seperti ini dinilai bisa mengancam stabilitas pemerintahan. Program-program pemerintahan baru berpotensi dihambat parlemen. Menimbang hal tersebut, pasca putusan MK, PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi-JK menyatakan akan membuka komunikasi untuk membangun koalisi baru. Jokowi pun memberikan sinyal untuk menjalin komunikasi dengan partai di luar koalisinya. Bahkan, Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo menyatakan, akan ada perubahan koalisi partai (Kompas, 22/8).

Kondisi ini berpeluang membuka peta koalisi baru, khususnya untuk mendukung pemerintahan terpilih. Secara umum, publik jajak pendapat menilai perubahan peta koalisi sebagai hal wajar. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar responden, baik pemilih Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK, setuju jika pemenang pilpres mengajak pihak lawan untuk bergabung dan mendukung pemerintahan baru.

Meski demikian, kelompok responden pemilih parpol tertentu cenderung tidak ingin partai pilihannya mengalihkan dukungan kepada pasangan lain. Hal ini tampak dari sikap responden pemilih Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PPP yang termasuk partai pendukung Prabowo-Hatta. Separuh lebih dari tiap kelompok responden pemilih ketiga partai itu merasa kecewa jika partai pilihan mereka mengalihkan dukungan kepada Jokowi-JK.

Kecenderungan sikap publik yang melihat perubahan koalisi sebagai sebuah realitas politik tak berarti melupakan pentingnya peran kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan. Separuh lebih responden (64,4 persen) menyarankan kepada parpol yang tidak berniat bergabung dalam koalisi pendukung Jokowi-JK untuk menjadi kekuatan kontrol kekuasaan.

Dinamika parpol

Bagaimanapun, soliditas internal partai dan koalisi menjadi kunci apakah perubahan konfigurasi politik bisa muncul atau tidak. Di benak publik, soliditas koalisi partai selama ini cenderung rapuh, tidak kuat. Separuh lebih responden tidak yakin koalisi partai, terutama pendukung Prabowo-Hatta, akan tetap solid setelah MK menolak permohonan gugatan mereka.

Potensi perubahan koalisi parpol sebenarnya sudah terdeteksi sejak proses pemilihan presiden berlangsung. Di internal PPP, misalnya, sebelum mereka mendukung Prabowo sebagai calon presiden, sempat muncul gejolak dan sebagian kader partai mendesak untuk mendukung Jokowi-JK. Sebanyak 55,2 persen responden jajak pendapat ini meyakini, partai berlambang Kabah ini tidak akan solid berada dalam Koalisi Merah Putih pendukung Prabowo-Hatta.

Ketidakyakinan publik juga ditujukan kepada Partai Golkar. Perdebatan di partai berlambang pohon beringin ini terjadi sejak KPU memutuskan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih (22/7). Pemecatan tiga calon anggota legislatif terpilih Golkar menjadi puncak gejolak politik di internal partai pasca pemilihan presiden. Ketiganya dipecat karena mendukung Jokowi-JK.

Selain kasus pemecatan ketiga kadernya, muncul juga desakan untuk mempercepat suksesi kepemimpinan di tubuh Golkar. Jika merujuk sejarah Politik Golkar, suksesi kepemimpinan partai cenderung diikuti oleh perubahan haluan politik. Ketika JK terpilih sebagai Ketua Umum Golkar di Munas 2005, Golkar mengubah haluan politiknya dari sebelumnya berada di luar pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK menjadi masuk ke jajaran pendukung pemerintah.

Hal yang sama terulang ketika Munas Golkar 2009. Saat itu, Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum. Desakan agar Golkar menjadi kekuatan penyeimbang di luar pemerintahan pada akhirnya kandas setelah Aburizal membawa partai itu masuk ke dalam pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Tiadanya tradisi sebagai partai oposisi merupakan penghalang kuat Partai Golkar menjadi penyeimbang di luar kekuasaan. Sejarah dinamika Golkar tersebut menjadi basis pertimbangan publik untuk sulit meyakini soliditas partai-partai pendukung Prabowo-Hatta.

Sebaliknya, publik cenderung lebih meyakini (69,5 persen), koalisi di tubuh Jokowi-JK lebih solid. Namun, soliditas ini juga akan diuji, terutama oleh fase pertama kinerja Jokowi-JK dalam pembentukan kabinet. Upaya Jokowi membangun kabinet kerja dengan syarat menteri tidak boleh merangkap jabatan di parpol memperoleh apresiasi tinggi dari mayoritas responden. Syarat ini merupakan ujian pertama bagi soliditas koalisi parpol pendukung Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar