Nasionalisme
dan Produk Lokal bagi Konsumen
di
Era Globalisasi
Dahnil Aswad ;
Ketua YLKI Sumbar
|
HALUAN,
21 Agustus 2014
Pengantar
Latar belakang berdirinya
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) pada awal tahun 1970-an di
Jakarta adalah untuk mengkampanyekan pemakaian produk dalam negeri (lokal).
Saat ini perjuangan itu terus berlanjut.
Tidak hanya produk makanan,
minuman, obat-obatan, barang-barang yang digunakan sehari-hari serta jasa
lainnya. Juga kecintaan terhadap produksi negeri sendiri. Kementerian
terkait seperti Perdagangan, Perindusterian, Kesehatan, dll juga berbuat
untuk itu semua. Tidak terkecuali tentunya YLKI Sumatera Barat yang
keberadaannya juga berjuang untuk kepentingan konsumen secara umum.
Namun dalam era pasar
bebas (MEA/AFTA, WTO, dll) yang ditandai dengan derasnya arus barang
dan jasa yang masuk dan keluar di pasar domestik, maka perpektif historis
tersebut diakui masih sangat relevan pada saat ini yang
mengharuskan konsumen dihadapkan pada banyak pilihan produk barang dan jasa.
Semua itu tergantung kepada kita sebagai konsumen dengan sejumlah
pertimbangan rasa nasionalisme.
Setiap pilihan konsumen
atas suatu produk berupa barang dan jasa punya implikasi, tidak hanya
bagi konsumen, tetapi juga bagi kepentingan petani, pengusaha lokal dan
ekonomi nasional.
Indonesia sebagai negara
besar, dengan penduduk mencapai 240 juta jiwa , memiliki potensi pasar yang
luar biasa. Namun dalam era pasar bebas, potensi pasar yang demikian
besar belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengusaha lokal. Justru ada kecenderungan
produk impor semakin mendominasi pasar domestik.
Pertimbangan yang harus
disadari dan selalu disosialisasikan oleh pemerintah bersama BPKN (Badan
Perlindungan Konsumen Nasional) dan LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat) seperti halnya YLKI yang keberadaannya diatur dalam UU No
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kegiatan itu tidak cukup dan
sangat terbatas adanya, kalau masyarakat belum cerdas, belum cinta atau belum
menyadari pentingnya rasa nasionalisme ditingkatkan untuk menggunakan produk
dalam negeri.
Kenapa Produk Dalam Negeri ?
Alasan sederhana
dalam tulisan singkat ini antara lain bahwa dengan
menggunakan produk lokal
atau dalam negeri, tentu sudah membantu terjadinya perputaran uang di negeri
sendiri, tanpa harus “memperkaya” produsen asing, khususnya terbatas pada
produk yang diproduksi oleh putra-putri bangsa sendiri. Lebih spesifik, tentu
daerah kita sendiri (lokal).
Semua itu, tentu harus
disikapi juga oleh pemerintah dengan kementerian terkait misalnya pertanian.
Walaupun tahu tempe produk asli Indonesia, namun bahan baku berupa kedelai,
kok masih banyak yang impor?
Soal industri IT
(Informasi Teknologi), kok masih cenderung menggunakan produk impor seperti
HP, laptop, tablet, komputer, dll. Padahal sudah ada produk lokal. Belum lagi
cerita soal sepeda, sepeda motor, mobil, dll. Kita tahu produk nasional
seperti mobil nasional masih belum direkomendasikan oleh pemerintah dengan
berbagai alasan yang sebenarnya masih mampu diatasi oleh para ahlinya di
dalam negeri.
Wajar, kalau ada anggapan
bahwa pemimpin sendiri belum cinta terhadap negerinya sendiri, sehingga masih
senang dengan program melakukan impor berbagai produk asing. Mungkin ada
sekelompok kecil masyarakat yang mendapatkan keuntungan besar dari aktivitas
tersebut. Semua tergantung kepada regulasi yang ada yang dibuat berdasarkan
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Kita menunggu kepentingan
politik untuk rakyat yang lebih luas.
Padahal banyak orang tahu
bahwa produsen negara maju seperti Amerika, Eropa, China, Jepang, Korea, dll
bersikukuh masuk untuk mengekspor produknya ke negara berkembang,
termasuk Indonesia. Sementara di negerinya sendiri semacam di-”wajib”-kan
bagi masyarakatnya untuk mengkonsumsi produknya sendiri, walau kualitasnya
belum go internasional pada awalnya.
Namun dengan keyakinan
mereka, kemajuan Iptek dan inovasinya, mereka mampu bersaing dengan negara
maju lainnya dan selalu menikmati produknya sendiri. Artinya, perputaran uang
secara ekonomi tetap dinikmati mereka untuk kemajuan negaranya. Sementara
kita masih “bangga” dengan produk impor yang tanpa disadari uang yang
digunakan masyarakat, sudah terbang ke luar negeri.
Nasionalisme Konsumen
Secara konvensional pertimbangan
konsumen dalam menentukan pilihan suatu produk berupa barang dan jasa
terbatas pada aspek mutu dan harga, tetapi di era pasar bebas sudah waktunya
dikembangkan aspek lain berupa pertimbangan dampak pilihan konsumen ketika
membeli suatu produk terhadap kepentingan ekonomi nasional.
Dalam hal menghadapi
perdagangan bebas, tidak hanya pemerintah dan pengusaha lokal yang perlu
dipersiapkan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan konsumen
dengan menekankan dalam pemikirannya bahwa konsumen harus memiliki informasi
dan pemahaman yang cukup tentang perdagangan bebas, sehingga konsumen
terinformasi dan diimplikasikan pada setiap pilihan konsumen terhadap
perkonomian nasional.
Diakui bahwa konsumen kita
sangat beragam tingkat / strata pendidikan, sosial, ekonomi dan budayanya,
namun mayoritas diketahui masih banyak yang “ikut-ikutan” dalam memilih
produk, sehingga masalah “gengsi” akan menjadi penyebab “bangkrut”nya negeri
ini.
Banyak orang lupa bahwa
dengan membeli produk impor, maka otomatis kita akan memperkaya produsen
asing. Mungkin bagi masyarakat dengan strata sosial yang sudah sangat
mampu secara ekonomi, harus menjadi contoh teladan untuk mencintai produk
lokal. Paling hebat lagi kalau pemimpin sudah mengaplikasikan dalam
kehidupannya sehari-hari, termasuk dengan keluarganya, sehingga tidak
berpengaruh kepada masyarakat yang memaksakan keinginannya untuk menikmati
sesuatu (barang dan jasa). Jadi, mereka sudah membeli sesuai kebutuhan, bukan
membeli sesuai keinginan.
Untuk menjadikan konsumen
sebagai pelaku pasar yang bertanggung jawab, konsumen harus terinformasi.
Termasuk informasi tentang implikasi/dampak dari pilihan konsumen akan suatu
produk. Dengan demikian, konsumen dapat menjadi pelaku pasar yang
bertanggung jawab, bahwa pilihan konsumen berdampak positif terhadap
ekonomi nasional.
Akhirnya, kita kembali
harus menyadari pentingnya mencintai produk dalam negeri dan cinta Bangsa
Indonesia dengan segala konsekuensinya, komitmen yang kuat, didukung
oleh adanya regulasi dan kebijakan yang dapat menjadi “teladan” rakyat,
sehingga pertumbuhan ekonomi bangsa semakin baik dan menjadi kuat serta mampu
menjawab harapan-harapan para calon pemimpin yang digembar-gemborkan dalam
setiap kampanyenya (khususnya pilpres yang masih menunggu keputusan akhir
Mahkamah Konstitusi).
Harapan kita, tentu semua
harus dimulai dari pemimpin, baik mengkonsumsi produk lokal, gaya hidup (life style) maupun memperlihatkan
kecintaannya terhadap negeri sendiri dengan membuat regulasi yang mempertimbangkan
kepentingan petani, nelayan, pedagang kecil, pekerja kasar, buruh,
pengangguran, PNS/ASN yang semua itu untuk kepentingan ekonomi nasional.
Disinilah rasa
nasionalisme kita muncul dan tentunya akan menyadari bahwa produk lokal perlu
dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri dengan segala konsekuensi dan
kejujurannya. Terima Kasih. Wassalam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar