Jumat, 22 Agustus 2014

Membaca Pansus Pilpres 2014

                                  Membaca Pansus Pilpres 2014

Victor Silaen   ;   Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SINAR HARAPAN, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Bagaimana kita harus membaca Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 yang mulai bergulir, sebagai isu politik pasca-penetapan hasil pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli lalu?

Tak dapat tidak, kita harus melihat kronologinya terlebih dulu. Pertama, kubu Prabowo-Hatta merasa cemas menatap masa depan. Ini karena mereka sadar akan kemenangan yang tak mampu diraih.

Itu sebabnya pada 22 Juli lalu, beberapa jam sebelum KPU mengumumkan penetapan hasil Pilpres 2014, Prabowo bersama tim suksesnya terlebih dulu mengumumkan sikapnya yang menarik diri dari proses Pilpres tersebut. Alasannya, bukan karena tak bisa menerima kekalahan, melainkan karena kecurangan yang masif, sistemik, dan terstruktur dalam pilpres diabaikan oleh KPU.

Terkait alasan tersebut kita patut bertanya, bukankah Prabowo sebelumnya mengatakan agar semua pihak memercayakan hasil pilpres kepada KPU, bukan kepada hasil hitung cepat lembaga-lembaga riset? Inkonsistensi sikap tersebut secara mudah dapat dibaca sebagai sebentuk ketidaksiapan menerima kekalahan.

Malam itu, setelah Ketua KPU membacakan ketetapan hasil Pilpres 2014, publik umumnya mengira pasangan Jokowi-JK betul-betul sudah menang. Namun, ternyata tidak. Beberapa hari kemudian kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan secara hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagaimana kita harus menyikapinya? Respek, karena itu merupakan hak. Jadi, siapkanlah bukti-bukti dan saksi-saksi yang betul-betul dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak mempermalukan diri sendiri.

Namun, apa yang terjadi kemudian? Di berbagai media sosial khususnya, publik secara bertubi-tubi mengejek dan mengecam kubu Prabowo-Hatta karena hal-hal aneh sekaligus lucu, terkait berkas-berkas kecurangan yang mulanya 10 truk, tapi hilang atau menjadi tiga bundel saja.

Lalu, ketika sidang demi siding atas gugatan itu digelar di MK, ternyata saksi-saksi yang diajukan kubu Prabowo-Hatta tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan para hakim MK secara meyakinkan.

Atas dasar itu kita patut bertanya lagi, sesungguhnya benarkah kubu Prabowo-Hatta tahu betul tentang kecurangan-kecurangan pilpres yang mereka tuduhkan itu? Mengapa di MK mereka tak dapat mempertanggungjawabkan tuduhan tersebut?

Berdasarkan itulah, hampir dapat dipastikan pada 21 Agustus ini, MK akan memutuskan keberatan dan permohonan dari kubu Prabowo-Hatta tak dapat diterima. Karenanya pihak Jokowi-JK dinyatakan sah sebagai pemenang pilpres.

Hal itu pun sudah dibayangkan juga oleh kubu Prabowo-Hatta. Tak heran jika sebelum 21 Agustus tiba, jauh-jauh hari mereka sudah menyiapkan rencana lain, menggulirkan Pansus Pilpres.

Pertanyaannya, akankah pansus ini efektif? Inilah beberapa kemungkinan jawabannya. Pertama, pansus itu belum tentu jadi dibentuk. DPR saat ini masih dalam masa reses hingga 16 Agustus.

Saat mereka mulai aktif lagi di Senayan nanti, ihwal pembentukan pansus tentu harus membahas juga soal anggaran dan siapa-siapa yang harus dipilih untuk duduk, setidaknya sebagai ketua dan sekretaris. Mereka juga harus mempertimbangkan pendek atau panjangnya masa tugas pansus tersebut.

Ada dua hal yang patut diingat terkait itu. Pertama, pada 1 Oktober para anggota DPR terpilih akan dilantik untuk masa tugas 2014-2019. Kedua, selanjutnya pada 20 Oktober, presiden-wakil presiden terpilih Jokowi-JK akan dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019. Agenda tersebut tak mungkin ditawar—seperti Prabowo pernah coba-coba “menawar” SBY untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden RI.

Memperhitungkan waktu yang begitu pendeknya, lantas apa artinya pansus pilpres dibentuk? Ataukah kubu Prabowo-Hatta berpikir setelah Jokowi-JK dilantik pada 20 Oktober, pansus masih dapat terus bekerja?

Jelas ini sebuah pemikiran yang kacau dan absurd. Karena itu hanya akan memunculkan resistensi dari sana-sini. Jadi, alih-alih akan ada people power dari para pendukung Prabowo-Hatta (seperti dikatakan Eggy Sudjana), justru publik dari berbagai pihak dan kalangan, termasuk media-media mainstream, media online dan media sosial, akan mengejek dan mengecam mereka bertubi-tubi.

Inilah yang mestinya dipahami betul oleh kubu Prabowo-Hatta, publik telah lelah menyaksikan hiruk-pikuk pilpres lalu dan ingin segera menyaksikan ada presiden-wakil presiden terpilih, yang dilantik secara resmi, kemudian fokus bekerja memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Karena itulah upaya-upaya menghambat agenda tersebut niscaya menghadapi kemarahan yang masif dan meluas dari pelbagai komponen masyarakat.

Jadi, rencana pembentukan pansus pilpres ini tak lain dan tak bukan hanyalah sebentuk ungkapan kecemasan dari kubu Prabowo-Hatta, yang membayangkan pada 20 Oktober mereka secara resmi “dinyatakan” sebagai pihak yang kalah.

Pihak yang cemas dan malu kalah dalam sebuah kontestasi kiranya dapat dikatakan sebagai pihak yang belum dewasa secara psikologis, begitu juga dalam politik.

Orang boleh saja berpengalaman mencalonkan diri menjadi pemimpin, tapi tak serta-merta karena itu ia makin dewasa dan memiliki kebesaran jiwa, untuk menerima fakta bahwa ada pihak yang kalah selain pihak yang menang.

Hal ini mestinya dipikirkan kubu Prabowo-Hatta secara jernih. Berpolitik bukan hanya bertujuan meraih kekuasaan, melainkan juga memberikan sosialisasi politik yang baik kepada publik. Karena itu, berjuanglah sekuat mungkin seraya tetap mengedepankan etika, juga sekerap mungkin mendengar suara rakyat yang “murni”, sebagaimana yang kerap dilakukan Jokowi melalui “blusukan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar