Jumat, 22 Agustus 2014

Balada Swasembada Kedelai

                                     Balada Swasembada Kedelai

Avi Budi Setiawan  ;   Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

“Pada saat harga kedelai melambung tinggi, kita juga baru menyadari selama ini areal tanam belum ideal”

Isu kemandirian produksi kedelai sudah sejak lama menjadi perhatian utama dalam kajian tentang pangan. Pemerintah menyadari pemenuhan kebutuhan pangan nasional adalah tanggung jawabnya. Memang mustahil kita bergantung terus-menerus pada impor. Adalah realitas pahit ketika harus menyaksikan tahu tempe khas Indonesia dibuat dari kedelai impor.

Padahal Grobogan punya potensi besar. Tahun lalu daerah itu menjadi sentra penghasil kedelai wilayah regional dan nasional. Bahkan varietas  kedelai lokal dari daerah itu pernah menjuarai lomba nasional karena memiliki warna biji putih kekuningan, dengan ukuran 16-20 gram per 100 biji (Ir Suharto, ’’Swasembada Kedelai Grobogan’’, SM, 2/10/13) .

Dia juga menyebut kebutuhan nasional kedelai saat ini 2,5 juta-2,7 juta ton/tahun, sementara produksi nasional 700 ribu-800 ribu ton/tahun. Sisanya dipenuhi dari impor, terutama dari AS, Tiongkok, Ukraina, dan Kanada. Poduktivitas kedelai nasional juga relatif rendah, rata-rata 1,1 ton/ha dan hal itu menjadi salah satu penyebab Indonesia terus mengimpor.

Dalam peta produksi domestik, praktis Indonesia sangat bergantung pada Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB, sebagai pemasok utama kedelai. Ditambah lagi karakteristik kedelai yang merupakan tanaman musiman, hanya ditanam satu tahun sekali saat kemarau. Dapat dipastikan, produksi dari sentra-sentra kedelai itu tidak akan cukup memenuhi kebutuhan nasional.

Impor kedelai yang tinggi membuat Indonesia kini menggantungkan kedaulatan pangannya kepada negara lain. Beberapa waktu lalu masyarakat dihadapkan pada gejolak harga kedelai yang naik tajam. Pengusaha tahu dan tempe tidak dapat menjalankan usaha karena harga bahan baku membumbung tinggi.

Ketika harga naik, investigasi baru dilakukan, diskusi dan pembahasan mulai merebak di media. Baru diketahui bahwa impor kedelai berstruktur oligopolistik dan menimbulkan kartel harga sehingga muncul gagasan untuk mengembalikan kuasa impor kedelai melalui perizinan ketat oleh pemerintah.

Saat harga melambung tinggi, kita juga baru menyadari selama ini areal tanam kedelai ternyata belum ideal. Ketersediaan lahan pertanian dianggap menjadi kambing hitam utama rendahnya produksi kedelai nasional. Untuk mencapai swasembada 2014, ditargetkan luas areal tanam bisa mencapai 2 juta hektare. (www.antaranews.com). Karena itu, baru muncul gagasan perluasan areal tanam, seperti pernah direncanakan pada masa Orba.

Rencana Aksi

Tapi sama seperti masa Orba, rencana perluasan areal tanam kedelai kini juga menguap mengikuti kestabilan harga kedelai. Pemerintah pusat seperti kesulitan menemukan areal tanam baru. Otonomi daerah membuat pemerintah pusat tidak leluasa karena pemerintah daerah memiliki rencana aksi sendiri yang tidak mudah diselaraskan.

Lampung misalnya, dulu dikenal sebagai salah satu pemasok kedelai utama nasional, tapi kini tidak lagi. Ribuan hektare lahan kedelai telah berganti menjadi hamparan kebun sawit. Pada saat harga kedelai melambung, kelangkaan terjadi. Maka semua perhatian akan tertuju pada diskusi dan upaya penanganannya.

Upaya pencegahan hal yang sama agar tidak kembali terulang, tampaknya belum terlihat. Belum ada perbaikan yang berarti kecuali pada sistem tata niaga impor. Akar permasalahan sebenarnya belum tersentuh, yakni pemenuhan produksi dalam negeri. Karena cita-cita bangsa ini adalah swasembada menuju kedaulatan pangan nasional.

Ketika diketahui permasalahan melambungnya harga terletak pada rantai tata niaga impor maka ’’strategi pemadam kebakaran’’ bisa dilakukan. Tetapi jika sumber masalahnya adalah rendahnya pasokan maka hal itu aspek jangka panjang. Dengan kata lain, butuh waktu dan kerja sama.

Kiranya cita-cita besar bangsa ini untuk swasembada kedelai perlu dikawal. Perlu kesungguhan dan niat serta kerja sama seluruh pihak untuk mewujudkan cita-cita besar ini. Sekarang, dan tidak usah menunggu terlalu lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar