Balada
Swasembada Kedelai
Avi Budi Setiawan ;
Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 21 Agustus 2014
“Pada saat harga kedelai melambung tinggi, kita juga baru
menyadari selama ini areal tanam belum ideal”
Isu kemandirian produksi
kedelai sudah sejak lama menjadi perhatian utama dalam kajian tentang pangan.
Pemerintah menyadari pemenuhan kebutuhan pangan nasional adalah tanggung
jawabnya. Memang mustahil kita bergantung terus-menerus pada impor. Adalah
realitas pahit ketika harus menyaksikan tahu tempe khas Indonesia dibuat dari
kedelai impor.
Padahal Grobogan punya potensi
besar. Tahun lalu daerah itu menjadi sentra penghasil kedelai wilayah
regional dan nasional. Bahkan varietas
kedelai lokal dari daerah itu pernah menjuarai lomba nasional karena
memiliki warna biji putih kekuningan, dengan ukuran 16-20 gram per 100 biji
(Ir Suharto, ’’Swasembada Kedelai Grobogan’’, SM, 2/10/13) .
Dia juga menyebut kebutuhan
nasional kedelai saat ini 2,5 juta-2,7 juta ton/tahun, sementara produksi
nasional 700 ribu-800 ribu ton/tahun. Sisanya dipenuhi dari impor, terutama
dari AS, Tiongkok, Ukraina, dan Kanada. Poduktivitas kedelai nasional juga
relatif rendah, rata-rata 1,1 ton/ha dan hal itu menjadi salah satu penyebab
Indonesia terus mengimpor.
Dalam peta produksi domestik,
praktis Indonesia sangat bergantung pada Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB,
sebagai pemasok utama kedelai. Ditambah lagi karakteristik kedelai yang
merupakan tanaman musiman, hanya ditanam satu tahun sekali saat kemarau.
Dapat dipastikan, produksi dari sentra-sentra kedelai itu tidak akan cukup
memenuhi kebutuhan nasional.
Impor kedelai yang tinggi
membuat Indonesia kini menggantungkan kedaulatan pangannya kepada negara
lain. Beberapa waktu lalu masyarakat dihadapkan pada gejolak harga kedelai
yang naik tajam. Pengusaha tahu dan tempe tidak dapat menjalankan usaha
karena harga bahan baku membumbung tinggi.
Ketika harga naik, investigasi
baru dilakukan, diskusi dan pembahasan mulai merebak di media. Baru diketahui
bahwa impor kedelai berstruktur oligopolistik dan menimbulkan kartel harga
sehingga muncul gagasan untuk mengembalikan kuasa impor kedelai melalui
perizinan ketat oleh pemerintah.
Saat harga melambung tinggi,
kita juga baru menyadari selama ini areal tanam kedelai ternyata belum ideal.
Ketersediaan lahan pertanian dianggap menjadi kambing hitam utama rendahnya
produksi kedelai nasional. Untuk mencapai swasembada 2014, ditargetkan luas
areal tanam bisa mencapai 2 juta hektare. (www.antaranews.com). Karena itu,
baru muncul gagasan perluasan areal tanam, seperti pernah direncanakan pada
masa Orba.
Rencana Aksi
Tapi sama seperti masa Orba,
rencana perluasan areal tanam kedelai kini juga menguap mengikuti kestabilan
harga kedelai. Pemerintah pusat seperti kesulitan menemukan areal tanam baru.
Otonomi daerah membuat pemerintah pusat tidak leluasa karena pemerintah
daerah memiliki rencana aksi sendiri yang tidak mudah diselaraskan.
Lampung misalnya, dulu dikenal
sebagai salah satu pemasok kedelai utama nasional, tapi kini tidak lagi.
Ribuan hektare lahan kedelai telah berganti menjadi hamparan kebun sawit.
Pada saat harga kedelai melambung, kelangkaan terjadi. Maka semua perhatian
akan tertuju pada diskusi dan upaya penanganannya.
Upaya pencegahan hal yang sama
agar tidak kembali terulang, tampaknya belum terlihat. Belum ada perbaikan
yang berarti kecuali pada sistem tata niaga impor. Akar permasalahan
sebenarnya belum tersentuh, yakni pemenuhan produksi dalam negeri. Karena
cita-cita bangsa ini adalah swasembada menuju kedaulatan pangan nasional.
Ketika diketahui permasalahan
melambungnya harga terletak pada rantai tata niaga impor maka ’’strategi
pemadam kebakaran’’ bisa dilakukan. Tetapi jika sumber masalahnya adalah
rendahnya pasokan maka hal itu aspek jangka panjang. Dengan kata lain, butuh
waktu dan kerja sama.
Kiranya cita-cita besar bangsa
ini untuk swasembada kedelai perlu dikawal. Perlu kesungguhan dan niat serta
kerja sama seluruh pihak untuk mewujudkan cita-cita besar ini. Sekarang, dan
tidak usah menunggu terlalu lama lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar