Mimpi
Negara Kesejahteraan
Khudori ; Pengamat Pertanian
|
KORAN
TEMPO, 15 Agustus 2014
Janji reformasi mengenai kebebasan sudah kita nikmati bersama.
Tapi kebebasan yang membawa pembebasan dari persoalan sosial dan penderitaan
masih jauh panggang dari api. Benarkah jalan yang telah kita tempuh hingga
negeri ini 69 tahun merdeka?
Jalan kebijakan yang kita tempuh tidak jelas. Identitas dan
kemandirian nasional menjadi pertanyaan besar. Bila negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura sudah menapak jalur yang benar, kita masih meraba.
Negara kesejahteraan sebagai cita-cita para pendiri Republik masih
menggantung bagai mimpi. Kemiskinan dan pengangguran masih berjubel. Akses
pendidikan dan kesehatan yang memadai baru menjadi milik segelintir warga.
Mayoritas warga hidup bagai marhaen, bahkan lebih buruk. Di
saat negara lain menendang resep Washington
Consensus karena membuka ekonomi seluas-luasnya lewat deregulasi,
liberalisasi, dan privatisasi, kita justru memeluknya erat. Ketika negara
lain melindungi aset strategis dan sektor yang menguasai hajat hidup orang
banyak dari caplokan pihak asing, kita justru bangga melepas aset ke pihak
asing. Kita menggelar karpet merah.
Tengok betapa liberalnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dengan peraturan turunannya. Akibat obral itu,
pelbagai sektor penting di Indonesia dijual habis-habisan. Padahal, dalam
undang-undang lama, bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak (pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi
tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum,
kereta api umum, pembangkit tenaga atom, dan media) dinyatakan "tertutup untuk PMA secara penguasaan
penuh." Dalam UU Nomor 25/2007, investor asing diberi perlakuan
istimewa. Padahal, di negara paling liberal pun selalu ada escape clause
sebagai pengaman kepentingan domestik.
Sentralisme ekonomi dibongkar dengan slogan kapitalisme kroni.
Sebagai ganti, pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan lembaga sempurna
yang mengoreksi diri sendiri. Jika kemudian sektor strategis yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak terlepas dari kuasa
negara, itu lumrah. Kata Bung Hatta, perumus Pasal 33 UUD 45: "Sekarang jika negara kita
diibaratkan rumah, genteng, pintu, semuanya dipreteli untuk dijual ke
asing."
Padahal, konstitusi (Pasal 33 UUD 45) menekankan agar
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara. Adapun bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adalah amanat konstitusi pula bagi negara untuk menyediakan
penghidupan yang layak bagi warga, untuk bertempat tinggal, mendapatkan
lingkungan hidup yang baik, sehat, serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan akses pendidikan. Fakir miskin dan anak-anak telantar pun
mempunyai hak untuk dipelihara oleh negara. Rakyat berhak atas pekerjaan dan
penghidupan layak bagi kemanusiaan, jaminan sosial, dan hak atas kebutuhan-kebutuhan
dasar. Kewajiban itu belum ditunaikan negara. Dengan memeluk erat-erat
Neoliberalisme, negara punya alasan untuk tidak terlibat dalam urusan publik,
karena dianggap sebagai biang distorsi.
Wujud dari lepas tangan bisa ditelisik dari anggaran
pembangunan sosial. Setelah 1997, pembangunan manusia "hilang" dari
fokus pemerintah. Akibatnya, berbagai indikator sosial-ekonomi memburuk.
Bagaimana pembangunan manusia "hilang" di Indonesia? Sejak 1997,
Indonesia memasuki era demokrasi. Kekuasaan satu partai atau satu orang ala
Orde Baru berakhir. Sistem multipartai menjadi ciri khas zaman baru. Partai
politik bersaing dalam pemilu, berebut kekuasaan dan menentukan kebijakan
pembangunan.
Elite politik baru lahir. Politik menjadi arena selebritas dan
reputasi sosial. Dulu, kantor presiden dan Bappenas menjadi pusat kekuasaan.
Kini, gedung DPR di Senayan menjadi bilik-bilik kuasa maha penting karena di
sana anggaran, kebijakan, dan program pembangunan dibahas dan disetujui. Di
sana berbagai peraturan dan UU dibuat, di sana pula arah negeri dirancang per
lima tahun. Di sana corak/model pembangunan dirakit. Namun, persaingan
politik di zaman demokrasi belum tentu menghasilkan kemakmuran dan
pembangunan manusia yang baik. Menurut ahli ilmu politik Inggris, Mick Moore
dan James Putzel (2000), sistem politik demokratis tak otomatis berpihak
kepada warga miskin.
Negara kesejahteraan akan menjadi mimpi kita semua jika
Indonesia gagal mengatasi dua kendala pokok (Bahagijo dan Triwibowo, 2006). Pertama, anggaran belanja sosial
terlalu kecil. Diperlukan pembalikan prioritas anggaran ke belanja kesehatan,
pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja. Kedua, membuat birokrasi yang
andal dan bersih. Negara kesejahteraan memerlukan birokrasi seperti itu untuk
mendukung kegiatan ekonomi dan menyediakan pelayanan umum yang luas dan
bermutu. Pungutan liar, birokrasi berbelit, dan kebocoran dana pajak dan
nonpajak oleh koruptor akan menjauhkan Indonesia dari cita-cita negara
kesejahteraan. Tumpuan kini ada di tangan presiden terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar