Tuhan
dan Indonesia
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA
MERDEKA, 16 Agustus 2014
TAHUN demi tahun berlalu. Kita selalu memperingati Hari
Kemerdekaan sebagai ekspresi berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agoestoes
1945, Indonesia adalah narasi besar setelah bertarung melawan
kolonialisme-imperialisme. Air mata mengalir membasahi bumi. Darah menetes
demi Indonesia. Doa-doa dipanjatkan mengharap berkah dari Tuhan. Ide dan
imajinasi Indonesia tak lelah diwujudkan meski kematian, kelaparan,
kemiskinan melanda tanpa henti. Peristiwa 69 tahun silam mengingatkan sejarah
Indonesia bergelimang makna.
Di beranda rumah, beralamat di Jalan Pegangsaan Timoer 56,
Djakarta, Soekarno memberi pidato pendek setelah pembacaan teks proklamasi.
Kita pantas mengingat agar ada pemaknaan religius atas sejarah kemerdekaan.
Kata Bung Karno, ’’Mulai saat ini kita
menjusun negara kita! Negara merdeka, negara Republik Indonesia, merdeka
kekal dan abadi. Insja Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”
Soekarno menganggap Tuhan merestui perjuangan mewujudkan
negara-bangsa Indonesia. Proklamasi tak melulu bermakna pengumuman kemerdekaan
secara politik. Urusan keberadaan negara-bangsa Indonesia dia jelaskan
sebagai ejawantah perjuangan bergantung kuasa Tuhan.
Kita pernah memiliki episode suram saat para elite politik
menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Tuduhan-tuduhan Indonesia adalah
negara sekuler dipropagandakan agar ada perlawanan atas pemerintahan sah.
Puluhan tahun silam, gerakan mendirikan negara Islam diusahakan tapi gagal.
Pelbagai pemberontakan dirampungi dengan ”mewariskan” trauma dan dilema. Para
pemimpi Indonesia sebagai negara Islam lupa bahwa agenda mendirikan negara-bangsa
Indonesia bermula dari ekspresi religius.
Peringatan Hari Kemerdekaan bisa mengajak kita merenungi
aksentuasi religiositas dalam berbangsa dan bernegara. Dulu, Soekarno biasa
memberi pidato dalam peringatan Hari Kemerdekaan. Kumpulan pidato Soekarno adalah
bukti dari narasi religius dalam kesejarahan politik di Indonesia.
Di Jogjakarta, 17 Agoestoes 1945, Soekarno berkata, ”Saja terharu sekali bahwa kita pada hari
ini dapat merajakan hari ulang tahun republik kita jang pertama. Saja ingat
kepada Tuhan jang Mahakuasa, mengutjapkan sjukur alhamdulillah, sebab usia
republik kita jang satu tahun ta’ lain ta’ bukan ialah berkat dan rachmat Tuhan
jang Mahakuasa.”
Di pertengahan pidato, Soekarno lantang berkata bahwa Tuhan
adalah ”kita punja djenderal”, bermaksud menguatkan keimanan dalam melawan
kolonialisme-imperialisme. Idiom-idiom religius selalu bermunculan di
pidato-pidato Soekarno, menghendaki ada ekspresi kebangsaan berbasis
religius. Hasrat kemerdekaan dan pemuliaan Indonesia bergantung otoritas
Tuhan.
Ekspresi Religius
Selama puluhan tahun, kita biasa mendapat kutipan-kutipan dari
pidato Soekarno selalu berkaitan politik. Kutipan-kutipan fantastis sering
mengobarkan imajinasi tentang heroisme, nasionalisme, revolusi. Peringatan
Hari Kemerdekaan pun sering berisi kutipan-kutipan politis ketimbang
religius. Barangkali kita perlu menginsyafi bahwa Soekarno adalah pemimpin
berbekal religiositas demi membarakan misi proklamasi dan revolusi. Kita
tentu ingat dengan ketekunannya mempelajari Islam saat mengalami pengasingan
di Ende, Flores (1930-an).
Soekarno membaca buku-buku agama dan melakukan korespondensi
bertema agama dengan A Hasan (Bandung). Biografi politik berbarengan biografi
religius untuk menggerakkan Indonesia, sejak masa kolonialisme sampai
kemerdekaan. Ekspresi religius tampak dalam pidato Soekarno di Jogjakarta, 17
Agustus 1948. Soekarno mengajukan kalimat-kalimat dramatis berisi pertalian
Tuhan dan Indonesia. Dia berkata tentang Indonesia dengan pengisahan
menggunakan kata ganti ”ia” agar ada impresi-imajinatif.
Di Djakarta, 17 Agoestoes 1951, Soekarno mengakhiri pidato
resmi dengan untaian kalimat menggugah. Soekarno membuat renungan-memori dan
janji demi Indonesia, ”Lebih dari 30
tahun aku aktif mengabdi Tanah Air. Entah berapa lama lagi aku diperbolehkan
Tuhan mengabdi Tanah Air. Tetapi djustru karena itu, aku merasakan tanggung
djawabku terhadap Tuhan dan Tanah Air! Tjamkanlah saudara-saudara!”
Kita berhak menata ulang biografi Soekarno dalam kepentingan
mencari pemaknaan Tuhan dalam sejarah Indonesia. Kita terlalu rutin
memperingati Hari Kemerdekaan dengan upacara bendera berisi adegan berdoa
tanpa ada refleksi biografis dan historis.
Pidato-pidato Soekarno pantas menjadi referensi mengenang dan
menggerakkan makna-makna religius untuk memuliakan Indonesia abad XXI.
Ekspresi religus dalam teks proklamasi dan pidato-pidato Soekarno adalah
pembuktian Indonesia negara berketuhanan tanpa harus menjadi negara Islam.
Di Jakarta, 17 Agustus 2014, SBY mengucap pidato Hari
Kemerdekaan terakhir sebelum berakhir masa jabatannya. Ia pun telah
mewariskan pelbagai capaian dan harapan. Indonesia bakal mengalami perubahan
dalam kepemimpinan Joko Widodo. Semaian impian dan ikhtiar tentu berlanjut
tanpa abai sejarah proklamasi dan episode-episode Indonesia, sejak 1945
sampai 2014. Kita berdoa agar Tuhan berkenan dengan agenda-agenda kita
memartabatkan dan memuliakan Indonesia. Amin.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar