Minggu, 17 Agustus 2014

Tuhan dan Indonesia

                                                Tuhan dan Indonesia

Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
SUARA MERDEKA, 16 Agustus 2014
                                                


TAHUN demi tahun berlalu. Kita selalu memperingati Hari Kemerdekaan sebagai ekspresi berbangsa dan bernegara. Sejak 17 Agoestoes 1945, Indonesia adalah narasi besar setelah bertarung melawan kolonialisme-imperialisme. Air mata mengalir membasahi bumi. Darah menetes demi Indonesia. Doa-doa dipanjatkan mengharap berkah dari Tuhan. Ide dan imajinasi Indonesia tak lelah diwujudkan meski kematian, kelaparan, kemiskinan melanda tanpa henti. Peristiwa 69 tahun silam mengingatkan sejarah Indonesia bergelimang makna.

Di beranda rumah, beralamat di Jalan Pegangsaan Timoer 56, Djakarta, Soekarno memberi pidato pendek setelah pembacaan teks proklamasi. Kita pantas mengingat agar ada pemaknaan religius atas sejarah kemerdekaan. Kata Bung Karno, ’’Mulai saat ini kita menjusun negara kita! Negara merdeka, negara Republik Indonesia, merdeka kekal dan abadi. Insja Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu!”

Soekarno menganggap Tuhan merestui perjuangan mewujudkan negara-bangsa Indonesia. Proklamasi tak melulu bermakna pengumum­an kemerdekaan secara politik. Urusan keberadaan negara-bangsa Indonesia dia jelaskan sebagai ejawantah perjuangan bergantung kuasa Tuhan.

Kita pernah memiliki episode suram saat para elite politik menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Tuduhan-tuduhan Indonesia adalah negara sekuler dipropagandakan agar ada perlawanan atas pemerintahan sah. Puluhan tahun silam, gerakan mendirikan negara Islam diusahakan tapi gagal. Pelbagai pemberontakan dirampungi dengan ”mewariskan” trauma dan dilema. Para pemimpi Indonesia sebagai negara Islam lupa bahwa agenda mendirikan negara-bangsa Indonesia bermula dari ekspresi religius.

Peringatan Hari Kemerdekaan bisa mengajak kita merenungi aksentuasi religiositas dalam berbangsa dan bernegara. Dulu, Soekarno biasa memberi pidato dalam peringatan Hari Kemerdekaan. Kumpulan pidato Soekarno adalah bukti dari narasi religius dalam kesejarahan politik di Indonesia.

Di Jogjakarta, 17 Agoestoes 1945, Soekarno berkata, ”Saja terharu sekali bahwa kita pada hari ini dapat merajakan hari ulang tahun republik kita jang pertama. Saja ingat kepada Tuhan jang Maha­kuasa, mengutjapkan sjukur alhamdulillah, sebab usia republik kita jang satu tahun ta’ lain ta’ bukan ialah berkat dan rachmat Tuhan jang Maha­kuasa.”

Di pertengahan pidato, Soekarno lantang berkata bahwa Tuhan adalah ”kita punja djenderal”, bermaksud  menguatkan keimanan dalam melawan kolonialisme-imperialisme. Idiom-idiom religius selalu bermunculan di pidato-pidato Soekarno, menghendaki ada ekspresi kebangsaan berbasis religius. Hasrat kemerdekaan dan pemuliaan Indonesia bergantung otoritas Tuhan.

Ekspresi Religius

Selama puluhan tahun, kita biasa mendapat kutipan-kutipan dari pidato Soekarno selalu berkaitan politik. Kutipan-kutipan fantastis sering mengobarkan imajinasi tentang heroisme, nasionalisme, revolusi. Peringatan Hari Kemerdekaan pun sering berisi kutipan-kutipan politis ketimbang religius. Barangkali kita perlu menginsyafi bahwa Soekarno adalah pemimpin berbekal religiositas demi membarakan misi proklamasi dan revolusi. Kita tentu ingat dengan ketekunannya mempelajari Islam saat mengalami pengasingan di Ende, Flores (1930-an).

Soekarno membaca buku-buku agama dan melakukan korespondensi bertema agama dengan A Hasan (Bandung). Biografi politik berbarengan biografi religius untuk menggerakkan Indonesia, sejak masa kolonialisme sampai kemerdekaan. Ekspresi religius tampak dalam pidato Soekarno di Jogjakarta, 17 Agustus 1948. Soekarno mengajukan kalimat-kalimat dramatis berisi pertalian Tuhan dan Indonesia. Dia berkata tentang Indonesia dengan pengisahan menggunakan kata ganti ”ia” agar ada impresi-imajinatif.

Di Djakarta, 17 Agoestoes 1951, Soekarno mengakhiri pidato resmi dengan untaian kalimat menggugah. Soekarno membuat renungan-memori dan janji demi Indonesia, ”Lebih dari 30 tahun aku aktif mengabdi Tanah Air. Entah berapa lama lagi aku diperbolehkan Tuhan mengabdi Tanah Air. Tetapi djustru karena itu, aku merasakan tanggung djawabku terhadap Tuhan dan Tanah Air! Tjamkanlah saudara-saudara!”

Kita berhak menata ulang biografi Soekarno dalam kepentingan mencari pemaknaan Tuhan dalam sejarah Indonesia. Kita terlalu rutin memperingati Hari Kemerdekaan dengan upacara bendera berisi adegan berdoa tanpa ada refleksi biografis dan historis.

Pidato-pidato Soekarno pantas menjadi referensi mengenang dan menggerakkan makna-makna religius untuk memuliakan Indonesia abad XXI. Ekspresi religus dalam teks proklamasi dan pidato-pidato Soekarno adalah pembuktian Indonesia negara berketuhanan tanpa harus menjadi negara Islam.

Di Jakarta, 17 Agustus 2014, SBY mengucap pidato Hari Kemerdekaan terakhir sebelum berakhir masa jabatannya. Ia pun telah mewariskan pelbagai capaian dan harapan. Indonesia bakal mengalami perubahan dalam kepemimpinan Joko Widodo. Semaian impian dan ikhtiar tentu berlanjut tanpa abai sejarah proklamasi dan episode-episode Indonesia, sejak 1945 sampai 2014. Kita berdoa agar Tuhan berkenan dengan agenda-agenda kita memartabatkan dan memuliakan Indonesia. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar