Rabu, 20 Agustus 2014

Mewaspadai Maraknya Politik Massa

                       Mewaspadai Maraknya Politik Massa

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 saat ini sedang dalam pemeriksaan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga inilah yang memutuskan, penetapan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih menjadi sah tidak sehingga dapat dilantik pada 20 Oktober 2014 atau masih menyisakan masalah yang perlu diselesaikan lebih lanjut. Putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga wajib dipatuhi siapa pun, tidak boleh lagi dipersoalkan.

Dalam proses hukum di MK, baik pemohon, termohon, maupun pihak terkait (kubu Jokowi-JK) diberi kesempatan beradu argumen dan menghadirkan alat bukti untuk dinilai hakim. Semua dalil permohonan dan sanggahan diuji hakim konstitusi sehingga segala bentuk tekanan massa di luar ruang hukum tidak lagi relevan. Ini karena tidak akan mengubah keyakinan hakim berdasarkan fakta yang terungkap dalam sidang.

Mobilisasi Massa

Namun, ada fenomena yang patut dikritik tentang penggunaan “mobilisasi massa” yang terkesan untuk memenuhi birahi politik. Dalam realitasnya, politik mobilisasi massa cenderung merusak tatanan demokrasi lantaran bertujuan menekan sebuah keputusan demokrasi, dengan alasan tidak sesuai dengan kepentingan politiknya.

Dalam dosis yang berlebihan, penggunaan massa dalam proses demokrasi untuk menolak keputusan demokrasi justru menjadi noda bagi substansi demokrasi, apalagi dilakukan guna memaksakan kehendak.

Fenomena yang terus berkembang setelah pemilihan langsung oleh rakyat, mobilisasi massa menjadi amunisi baru bagi elite politik yang kalah dalam pemilu. Tentu berbeda sekiranya mobilisasi massa digunakan saat kampanye yang memang dibolehkan, tetapi tetap saja tidak boleh anarkistis dan menganggu zona nyaman publik.

Setelah pesta demokrasi selesai dan sudah ada pilihan rakyat, mobilisasi massa seharusnya tidak dipakai lagi karena terkesan hanya ingin menekan agar keputusan dibatalkan. Hal ini dapat dilihat dalam sidang sengketa hasil pilpres di MK. Setiap sidang begitu banyak pendukung Prabowo-Hatta yang mengepung gedung MK dan sejumlah kantor KPU di berbagai daerah. Dengan alasan aksi solidaritas, mereka berdemo dan berorasi di depan gedung MK.

Seharusnya, pertarungan politik sudah berakhir, dan memindahkannya ke pertarungan hukum di ruang sidang MK, tanpa diboncengi tekanan massa. Ketika kubu Prabowo-Hatta memutuskan menggugat hasil pilpres ke MK, medan pertarungan beralih ke ranah hukum yang tidak memerlukan lagi mobilisasi massa, tetapi mobilisasi alat bukti untuk menguatkan dalil gugatan.

Bukti-bukti itulah yang akan dinilai sembilan hakim konstitusi, apakah memang signifikan memengaruhi hasil penghitungan suara atau apakah betul terjadi kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif (STM).

Lebih celaka karena politik pengerahan massa yang bisa saja tidak terkendali justru menimbulkan kecemasan bagi warga yang sudah menerima perbedaan pilihan dalam pilpres. Sangat susah diterima akal sehat mengenai alasan pengerahan massa sebagai “dukungan moral” sebab ada kesan yang digelorakan secara reaktif adalah upaya menekan hakim konstitusi, dengan berlindung di balik dalil ada kecurangan secara STM.

Optimisme Baru

Fenomena lain yang muncul dan patut diapresiasi dalam upaya membangun demokrasi bermartabat dan elegan, yaitu semakin kuatnya demokrasi partisipatif. Sebagai contoh, berupa munculnya “relawan warga masyarakat” dalam kampanye Pilpres 2014.

Mereka tanpa dikomando dan diberi uang langsung bergerak sukarela. Simpul-simpul masyarakat dan berbagai jaringan bergerak serempak untuk menyosialisasikan calon yang dianggap terpercaya melaksanakan amanah rakyat.

Para relawan secara sadar bekerja menutupi keterbatasan logistik dan mesin partai. Demokrasi partisipatif model ini sangat relevan bagi calon yang tumbuh dan dekat dengan rakyat, jujur, dan ikhlas, bukan sosok yang berasal dari elite dan dianggap tidak dekat dengan rakyat karena nanti ada maunya barulah mendekati rakyat.

Saat ini rakyat beroptimisme baru untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik, setelah terpilih presiden dan wakil persiden baru. Optimisme baru adalah harapan terjadinya perubahan di tengah keterpurukan pelbagai kehidupan rakyat. Kehadiran pemimpin baru diharapkan memenuhi kehendak rakyat. Apalagi, ini melihat visi-misi dan program kerja Jokowi-JK yang secara akademik bisa diukur implementasinya, meski akan menghadapi tantangan yang cukup rumit.

Kita berharap, setelah putusan MK yang secara yuridis mengesahkan terpilihnya pemimpin nasional, saat itulah semua warga bangsa menyatukan tekad kembali ke tujuan hakiki berdemokrasi, yaitu menyejahterakan kehidupan rakyat lahir-batin. Suasana kekeluargaan sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat harus terus dibangun guna mengakhiri semua perbedaan dengan memberi kesempatan kepada presiden terpilih untuk bekerja.

Tidak boleh lagi iklim politik dan proses demokratis yang tumbuh begitu baik dengan lahirnya “demokrasi partisipatif” dirusak politik mobilisasi massa yang tidak produktif. Tetapi, kita juga tidak boleh bersikap apatis terhadap proses hukum di MK yang diajukan Prabowo-Hatta. Anggap ini sebagai pendidikan politik. Sekiranya dibuktikan dalam sidang ada kelemahan dalam pilpres, hakim konstitusilah yang akan meluruskannya dan secara final mengikat. Apa pun hasilnya, rakyat berharap diterima dengan lapang dada.

Optimisme baru menyongsong perubahan dan kehidupan yang lebih baik harus terus dijaga dan digelorakan. Kegembiraan politik bagi rakyat yang terbangun dalam pilpres, meskipun berbeda pilihan, tidak boleh dinodai oleh kepentingan jangka pendek.

Rakyat sudah muak oleh politik yang bernuansa pemaksaan kehendak dengan memproduksi politik kecemasan. Lebih baik menyatukan pikiran dan memberi kesempatan pemerintahan baru mewujudkan janji-janjinya. Ini karena yang dipertaruhkan dalam pilpres bukanlah gengsi personal karena merasa kalah, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia yang perlu disejahterakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar