Erdogan
dan Masa Depan Turki
Rizky Hikmawan ;
Dosen Luar Biasa
Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina
|
REPUBLIKA,
20 Agustus 2014
Di tengah maraknya pemberitaan krisis Gaza dan fenomena Islamic
States (IS) di Irak dan Suriah, ada sebuah kabar baik yang datang dari Negeri
Dua Benua, Turki. Pada Ahad, 10 Agustus 2014, Perdana Menteri Recep Tayyip
Erdogan berhasil memenangkan pemilu presiden yang untuk kali pertama
menggunakan sistem popular vote. Erdogan berhasil meraih 52 persen suara,
unggul atas Ekmeleddin Ihsanoglu (38 persen) dan Selahattin Demirtas (10
persen).
Kekuatan Erdogan
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi kekuatan Erdogan dalam
pemilu. Pertama, Erdogan mampu menciptakan stabilitas politik di Turki. Sejak
Erdogan berkuasa, politik di Turki relatif stabil, terutama bila dikaitkan
dengan tidak adanya upaya kudeta militer. Memang terdapat beberapa
demonstrasi terhadap kebijakan-kebijakan Erdogan yang berakhir dengan
kerusuhan. Namun, hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan yang dapat
mengganggu keamanan negara.
Kedua, Erdogan mampu meningkatkan perekonomian Turki. Sebelum
Erdogan berkuasa, Turki menghadapi krisis ekonomi pada 2001. Ketika mulai
berkuasa, Erdogan segera memberlakukan reformasi ekonomi dengan lebih pro
terhadap pasar. Para investor kembali menanam modal di Turki yang kemudian
membuka lapangan kerja dan meningkatkan pembangunan infrastruktur di hampir
semua wilayah. Hasilnya, Turki saat ini telah menjadi salah satu negara
dengan perekonomian terbesar di dunia.
Ketiga, kemenangan Erdogan juga dipengaruhi oleh kegagalan
partai oposisi dalam menciptakan kampanye yang mampu menarik massa. Salah
satu persoalan penting yang dihadapi oleh partai oposisi adalah tidak adanya
figur yang memiliki popularitas setara dengan Erdogan. Kampanye yang
dilakukan oleh oposisi juga tidak menawarkan sebuah visi maupun
program-program baru, melainkan hanya berputar pada kritik terhadap kepemimpinan
Erdogan. Padahal, kritik-kritik tersebut relatif lemah bila dibandingkan
dengan pencapaian Erdogan selama menjabat sebagai perdana menteri. Apalagi,
jika mengacu pada pendapat Kinzer (2001) di mana elite politik yang berhaluan
Kemalis (sekuler) dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis pada akhir
dekade 1990-an dan awal dekade 2000-an sekaligus sebagai batu sandungan bagi
upaya demokratisasi, pembangunan ekonomi, dan masyarakat Turki. Sebuah
pendapat yang tentunya berbeda dengan fakta saat ini kala Turki dipimpin oleh
AKP yang justru berhaluan konservatif Islamis.
Tantangan masa depan
Dengan posisi baru sebagai presiden, Erdogan dihadapkan pada
beberapa tantangan yang harus segera diselesaikan guna mewujudkan visi Turki
2023 yang bertepatan dengan 100 tahun berdirinya Republik Turki.
Pertama, Erdogan harus menyelesaikan rencana perubahan
konstitusi dalam waktu singkat. Kuat dugaan bila nantinya konstitusi baru
akan memberikan peran yang lebih besar bagi presiden. Hal ini tentu bertolak
belakang dengan peran presiden sebelumnya yang sebatas figur dan simbol
nasional. Dengan adanya peran dan wewenang baru bagi presiden, Turki akan
memiliki dua tubuh eksekutif, presiden dan perdana menteri, layaknya sistem
politik yang berlaku di Prancis dan Rusia. Apabila hal itu terealisasi, tentu
dibutuhkan waktu untuk melakukan transisi sistem politik. Sehingga, semakin
cepat konstitusi baru diwujudkan, semakin cepat pula Erdogan memiliki
legitimasi untuk menjalankan program-programnya.
Kedua, menciptakan rekonsiliasi rakyat Turki. Aksi demonstrasi
besar yang terjadi pada 2013 telah membuat gap yang semakin besar antara
Erdogan yang berlabelkan Islamis dengan kubu oposisi yang berhaluan
nasionalis sekuler. Kebijakan Erdogan yang pro terhadap aktualisasi
nilai-nilai Islam dalam masyarakat dianggap bertentangan dengan tradisi
masyarakat sekuler Turki. Kemenangan Erdogan dikhawatirkan kubu oposisi akan
semakin meningkatkan praktik-praktik keislaman dan mengikis budaya sekuler
peninggalan Mustafa Kemal Attaturk. Oleh karenanya, Erdogan perlu merangkul
kelompok nasional sekuler untuk mengajak mereka bersama-sama membangun Turki
pada masa depan sekaligus meminimalisasi potensi konflik yang ada.
Ketiga, salah satu persoalan domestik yang dihadapi Turki dari
masa ke masa adalah terkait gerakan separatis Kurdi yang diwakili oleh Partai
Pekerja Kurdi (PKK). Gerakan separatis yang dilakukan telah menyebabkan
banyak nyawa yang melayang, baik dari kubu PKK maupun militer Turki. Namun,
sejak 2013, pemerintahan Erdogan telah berhasil merintis upaya perdamaian.
Hal ini diamini oleh Abdullah Ocalan, pemimpin PKK yang sedang berada di
penjara, dengan mendeklarasikan gencatan senjata antara kedua belah pihak.
Dengan terpilihnya Erdogan sebagai presiden, upaya perundingan diharapkan
dapat berjalan lebih intens guna menghasilkan perjanjian perdamaian yang
berlaku efektif.
Keempat, dalam beberapa tahun terakhir, Turki telah menunjukkan
sikap aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian dunia. Sikap Erdogan yang tegas
dalam membela Palestina dari Israel maupun campur tangannya dalam krisis
Suriah menjadi bukti hal tersebut. Hal ini yang diharapkan akan terus
dilakukan oleh Erdogan ketika menjabat sebagai presiden, khususnya yang
berkenaan dengan kepentingan kaum Muslimin di dunia. Karena, bagaimanapun
juga, sepeninggal kepemimpinan Ahmadinejad di Iran, hanya Erdogan yang berani
bersuara lantang untuk kepentingan umat Islam dunia.
Kelima, sejak 2005, Turki telah diterima sebagai kandidat
anggota Uni Eropa (UE). Namun, hingga saat ini UE masih enggan menerima Turki
sebagai anggotanya. Banyak perspektif yang mencoba menjawab pertanyaan
mengapa Turki belum diterima sebagai anggota UE. Mulai dari masih belum
demokratisnya Turki, kekhawatiran akan jumlah warga negara Turki yang dapat
mengganggu pasar kerja masyarakat Eropa, sampai pada isu agama. Terlepas dari
pandangan yang ada, Erdogan diyakini akan semakin gencar untuk mengupayakan
bergabungnya Turki ke dalam UE sekaligus meningkatkan kerja sama regional
dalam berbagai bidang.
Keenam, salah satu tantangan Erdogan yang sering terlupakan
adalah mengenai regenerasi kepemimpinan. Erdogan adalah AKP dan AKP adalah
Erdogan. Adagium ini di satu sisi menekankan betapa besarnya peran Erdogan,
tetapi di sisi lain menunjukkan adanya kelemahan partai dalam mengembangkan
sistem regenerasi kepemimpinan. Kekhawatiran terbesar yang dihadapi oleh AKP
maupun massa Islamis di Turki adalah terkait sosok pengganti Erdogan. Saat
ini, belum ada figur Islam, baik dari dalam maupun luar AKP, yang mampu
menandingi popularitas dan karisma Erdogan. Sehingga, wajar muncul tanda
tanya besar terkait sosok pengganti Erdogan. Untuk itu, selama menjabat
sebagai presiden, Erdogan diharapkan mampu mempersiapkan calon-calon
penggantinya jika dia kelak sudah tidak berkuasa. Hal ini wajib dilakukan
agar kepemimpinan AKP dalam politik dan Pemerintahan Turki tetap lestari.
Sebagai penutup, kemenangan Erdogan merupakan sebuah oase dari
kekeringan politik Islam yang selama beberapa dekade terakhir mengalami
keterpurukan. Semoga kemenangan Erdogan akan mampu membangkitkan kembali
politik Islam di berbagai negara guna mewujudkan izzul Islam wal Muslimin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar