Merealisasikan
Ibu Kota Baru
Tjoek Suroso H ;
Magister Urban Design,
dosen Jurusan Planologi
FT
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 13 Agustus 2014
"Tidak berlebihan bila
muncul wacana untuk memindahkan ibu kota negara, kendati perlu kajian
mendalam"
WACANA
memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota/wilayah lain, kendati sudah
lama terdengar hingga usai Pilpres 2014 pun masih terus jadi bahan diskusi
semata. Padahal SBY mengatakan sudah membentuk tim kecil untuk mengkaji lebih
dalam rencana itu. (merdeka. com, 10/9/13). Pewacanaan itu termasuk
memindahkannya ke Kalimantan dan Papua.
Anggota
DPR Marwan Jafar mengingatkan pentingnya merealisasikan gagasan itu,
mengingat SBY sudah tiga kali mengungkapkan. (okezone, 22/1/14). Pada masa
lalu, Jakarta ideal jadi pusat pemerintahan, budaya, ekonomi, perdagangan,
dan aktivitas politik. Namun saat ini, daya dukungnya tidak lagi memadai.
Jakarta benar-benar bermetamorfosis menjadi big village dalam wujud
ketidakteraturannya berkait banyak hal.
Permasalahan
yang mendominasi adalah banjir, kemacetan lalu lintas, problem sosial
kemasyarakatan, pertambahan penduduk, kualitas kejahatan, dan sebagainya. Terkait
kemacetan, warga kota sangat merasakan ketidaknyamanan itu. Apabila terjadi
kemacetan maka kecepatan kendaraan maksimal 5 km/jam. Bahkan kadang macet
total, terkunci untuk segala arah.
Fenomena
ini muncul tiap hari di seluruh jalan reguler, bahkan jalan tol. Sangat
ironis jalan tol yang seharusnya bebas hambatan pun, tak bebas dari macet.
Jalur khusus busway, justru mempersempit bahu jalan untuk kendaraan lain
sehingga realitas itu menjadi kontraproduktif. Banjir juga melanda seluruh
wilayah, dapat menyimpulkan drainase kota tidak lagi berfungsi seperti
direncanakan. Terlebih adanya alih fungsi lahan secara masif di bagian
selatan/atas Jakarta. Akibatnya tiap musim hujan, aliran air permukaan (run off water) akan mengalir ke
Jakarta. Hal itu ditambah perilaku
masyarakat yang tidak berdisiplin menjaga kebersihan.
Sztompka,
pakar sosiologi kota ( 2007) mengatakan bahwa persoalan perilaku dan
berkehidupan seperti itu sudah sangat mengglobal. Penetrasi kultur ìasingî
itu memengaruhi penduduk sebuah kota. Pada akhirnya, mereka menjadi cerdas,
kritis, dan paham hukum dan HAM, namun di sisi lain berubah jadi sombong dan
pudar keguyubannya. Dari potret itu, kita bisa melihat tingkat keparahan Ibu
Kota. Ibaratnya, tinggal di Jakarta seperti hidup di alam kesempitan,
kepenatan, dan kesumpekan.
Hiruk-pikuk
di jalan, suara knalpot, klakson, polusi udara, seringnya menyaksikan
perkelahian massal antarkampung/kelompok, kasus pemerkosaan dan seterusnya,
menjadikan Jakarta tak ubahnya kota neraka. Tidak berlebihan bila muncul
wacana untuk memindahkan ibu kota
negara ke kota lain kendati perlu kajian mendalam. Bung Karno tahun 1950
pernah melontarkan ide memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya Kalimantan
Tengah. Pertimbangannya, letak ibu kota Kalimantan Tengah tersebut di
tengah-tengah wilayah RI, dari batas Sabang sampai Merauke.
Terlepas
dari pemilihan lokasi ibu kota baru negara, kita perlu menentukan kriteria
ideal. Kriteria itu menyangkut letak geografis dan geomorfologi, dan bisa
dijangkau oleh wilayah lain secara merata, termasuk memiliki tingkat keamanan
tinggi dari gempa dan tsunami. Ada beberapa hal yang mendasari kriteria itu.
Ibu
kota negara mempunyai implikasi sebagai pusat kegiatan nasional dan
internasional. Selain itu, mengemban fungsi sebagai pusat pemerintahan,
pengendali kebijakan nasional, dan tempat perwakilan negara sahabat. Selain
itu, secara fisik harus punya ciri khas sebagai identitas dan kepribadian
bangsa, mempunyai keteraturan, baik pola pergerakan lalu lintas darat, tata
letak ruang, lanskap, drainase, serta dukungan infrastruktur lainnya.
Dukungan
Fasilitas
Dari
kriteria itu, kita bisa merumuskan bahwa ibu kota negara harus mempunyai
dukungan bandara/pelabuhan internasional, serta fasilitas kegiatan berskala
nasional dan internasional, dari aspek pemerintahan, hubungan bilateral,
pendidikan, olahraga, keagamaan, dan sebagainya.
Sebagai
pusat pemerintahan atau kekuasaan, perlu dukungan fasilitas istana, gedung
DPR, kantor kementerian, markas besar TNi dan Polri, dan derivatnya. Sebagai
pusat kebijakan nasional, mensyaratkan dukungan adanya kantor pusat informasi
dan komunikasi, stasiun radio, televisi dan pendukungnya.
Sebagai
tempat duta besar, ibu kota negara memerlukan kantor kedutaan besar yang
dilokasikan di satu wilayah. Ibu kota negara harus punya ciri khas
kepribadian sehingga seluruh bangunan pemerintahan menggambarkan budaya khas
Indonesia, sesuai dengan lokasi kotanya (building
guidelines). Selain itu, mempunyai tempat ibadah untuk beberapa agama
yang diakui pada satu wilayah tersendiri, sebagai cermin kebinekaan.
Tidak
kalah penting mempunyai tetenger berskala gigantis, dapat berupa bangunan
menjulang tinggi atau patung. Sebagai pembanding, New York memiliki Patung Liberty, Kuala Lumpur dengan menara kembar Petronas, Singapura
dengan Bandara Changi, Sidney
dengan Opera House, Paris dengan Menara Eiffel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar