Jumat, 15 Agustus 2014

Merealisasikan Ibu Kota Baru

                                  Merealisasikan Ibu Kota Baru

Tjoek Suroso H  ;   Magister Urban Design, dosen Jurusan Planologi
FT Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

"Tidak berlebihan bila muncul wacana untuk memindahkan ibu kota negara, kendati perlu kajian mendalam"

WACANA memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota/wilayah lain, kendati sudah lama terdengar hingga usai Pilpres 2014 pun masih terus jadi bahan diskusi semata. Pa­dahal SBY mengatakan sudah membentuk tim kecil untuk mengkaji lebih dalam rencana itu. (merdeka. com, 10/9/13). Pewacanaan itu termasuk me­mindahkannya ke Kalimantan dan Papua.

Anggota DPR Marwan Jafar mengingatkan pentingnya merealisasikan gagasan itu, mengingat SBY sudah tiga kali mengungkapkan. (okezone, 22/1/14). Pada masa lalu, Jakarta ideal jadi pusat pemerintahan, budaya, ekonomi, perdagangan, dan aktivitas politik. Namun saat ini, daya dukungnya tidak lagi memadai. Jakarta benar-benar bermetamorfosis menjadi big village dalam wujud ketidakteraturannya berkait banyak hal.

Permasalahan yang mendominasi adalah banjir, kemacetan lalu lintas, problem sosial kemasyarakatan, pertambahan penduduk, kualitas kejahatan, dan sebagainya. Terkait kemacetan, warga kota sangat merasakan ketidaknyamanan itu. Apabila terjadi kemacetan maka kecepatan kendaraan maksimal 5 km/jam. Bahkan kadang macet total, terkunci untuk segala arah.

Fenomena ini muncul tiap hari di seluruh jalan reguler, bahkan jalan tol. Sangat ironis jalan tol yang seharusnya bebas hambatan pun, tak bebas dari macet. Jalur khusus busway, justru mempersempit bahu jalan untuk kendaraan lain sehingga realitas itu menjadi kontraproduktif. Banjir juga melanda seluruh wilayah, dapat menyimpulkan drainase kota tidak lagi berfungsi seperti direncanakan. Terlebih adanya alih fungsi lahan secara masif di bagian selatan/atas Jakarta. Akibatnya tiap musim hujan, aliran air permukaan (run off water) akan mengalir ke Jakarta. Hal itu ditambah  perilaku masyarakat yang tidak berdisiplin menjaga kebersihan.

Sztompka, pakar sosiologi kota ( 2007) mengatakan bahwa persoalan perilaku dan berkehidupan seperti itu sudah sangat mengglobal. Penetrasi kultur ìasingî itu memengaruhi penduduk sebuah kota. Pada akhirnya, mereka menjadi cerdas, kritis, dan paham hukum dan HAM, namun di sisi lain berubah jadi sombong dan pudar keguyubannya. Dari potret itu, kita bisa melihat tingkat keparahan Ibu Kota. Ibaratnya, tinggal di Jakarta seperti hidup di alam kesempitan, kepenatan, dan ke­sumpekan.

Hiruk-pikuk di jalan, suara knalpot, klakson, polusi udara, seringnya menyaksikan perkelahian massal antarkampung/kelompok, kasus pemerko­saan dan seterusnya, menjadikan Jakarta tak ubahnya kota neraka. Tidak berlebihan bila muncul wacana untuk  memindahkan ibu kota negara ke kota lain kendati perlu kajian mendalam. Bung Karno tahun 1950 pernah melontarkan ide memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya Kalimantan Tengah. Pertimbangannya, letak ibu kota Kalimantan Tengah tersebut di tengah-tengah wilayah RI, dari batas Sabang sampai Merauke.

Terlepas dari pemilihan lokasi ibu kota baru negara, kita perlu menentukan kriteria ideal. Kriteria itu menyangkut letak geografis dan geomorfologi, dan bisa dijangkau oleh wilayah lain secara merata, termasuk memiliki tingkat keamanan tinggi dari gempa dan tsunami. Ada beberapa hal yang mendasari kriteria itu.

Ibu kota negara mempunyai implikasi sebagai pusat kegiatan nasional dan internasional. Selain itu, mengemban fungsi sebagai pusat pemerintahan, pengendali kebijakan nasional, dan tempat perwakilan negara sahabat. Selain itu, secara fisik harus punya ciri khas sebagai identitas dan kepribadian bangsa, mempunyai keteraturan, baik pola pergerakan lalu lintas darat, tata letak ruang, lanskap, drainase, serta dukungan infrastruktur lainnya.

Dukungan Fasilitas

Dari kriteria itu, kita bisa merumuskan bahwa ibu kota negara harus mempunyai dukungan bandara/pelabuhan internasional, serta fasilitas kegiatan berskala nasional dan internasional, dari aspek pemerintahan, hubungan bilateral, pendidikan, olahraga, keagamaan, dan sebagainya.  

Sebagai pusat pemerintahan atau kekuasaan, perlu dukungan fasilitas istana, gedung DPR, kantor kementerian, markas besar TNi dan Polri, dan derivatnya. Sebagai pusat kebijakan nasional, mensyaratkan dukungan adanya kantor pusat informasi dan komunikasi, stasiun radio, televisi dan pendukungnya.

Sebagai tempat duta besar, ibu kota negara memerlukan kantor kedutaan besar yang dilokasikan di satu wilayah. Ibu kota negara harus punya ciri khas kepribadian sehingga seluruh bangunan pemerintahan menggambarkan budaya khas Indonesia, sesuai dengan lokasi kotanya (building guidelines). Selain itu, mempunyai tempat ibadah untuk beberapa agama yang diakui pada satu wilayah tersendiri, sebagai cermin kebinekaan.

Tidak kalah penting mempunyai tetenger berskala gigantis, dapat berupa bangunan menjulang tinggi atau patung. Sebagai pembanding, New York memiliki Patung Liberty, Kuala Lumpur dengan menara kembar Petronas, Singapura dengan Bandara Changi, Sidney dengan Opera House, Paris dengan Menara Eiffel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar