Jumat, 15 Agustus 2014

Berjudi dengan Subsidi

                                             Berjudi dengan Subsidi

Ihwan Sudrajat  ;   Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 13 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

PROSES gugatan Prabowo-Hatta, pasangan capres-cawapres nomor 1 terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang berlangsung. Mari kita doakan bersama supaya proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) berjalan lancar tanpa ekses sehingga menjadi modal besar bagi presiden-wakil presiden terpilih untuk merealisasikan janji mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi.

Saya meyakini benar, hal itu terwujud meskipun kondisi terakhir menunjukkan sulitnya merealisasikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%. Hingga akhir Juni 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru 5,17%,dan  berdasarkan pengalaman, angka paling mungkin dicapai pada akhir Desember 2014 adalah 5,2%.

Sengketa pilpres jangan membuat kita tercerai-berai, saling berhadap-hadapan. Lihat masa depan, kita perlu bersatu untuk mengatasi tekanan kekuatan ekonomi global dan kemelemahan produktivitas ekonomi domestik. Dua hal ini menyebabkan kinerja besar demokrasi belum diimbangi dengan realisasi kinerja ekonomi makro yang mengesankan. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar yang mampu menyejahterakan rakyat dan mempunyai kekuatan ekonomi berpengaruh kuat di dunia, kita harus menaklukkannya, bukan sekadar mengatasi.

Pemilihan presiden hingga pelantikan yang berlangsung mulus membawa konsekuensi positif karena bisa meningkatkan  ekspektasi masyarakat kepada presiden baru. Presiden dan kabinet baru dipastikan mengusung banyak perubahan dan upaya perbaikan. Mereka akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan janji-janji politiknya. Jokowi-JK mulai menggali masukan dari masyarakat melalui rumah transisi, untuk mewujudkan nawa citra, 9 janji saat berkampanye. Program diarahkan untuk Indonesia berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Situasi politik aman, nyaman dan tentram berkorelasi positif dengan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor tidak akan segan-segan mengembangkan usaha dan meningkatkan investasinya. Stabilitas politik tak akan mengubah regulasi yang bisa merugikan investasi. Indonesia masih perlu investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan investasi luar biasa, target pertumbuhan ekonomi tinggi lebih mudah diwujudkan.

Faktor paling menyulitkan bagi presiden terpilih untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi adalah beban subsidi BBM yang makin besar. Bisakah dia menghilangkan subsidi BBM? Pemerintah selalu ditarik masuk ke ruang politik yang lebih besar jika diminta memilih menaikkan harga BBM atau memangkas anggaran pembangunan.

Biasanya, saat aspek politik lebih kuat berperan maka kebijakan akan bersifat populis. Pemerintah lebih aman mengikuti ke­inginan masyarakat (populis), karena me­naikkan BBM bisa membebani masyarakat, mengurangi daya beli dan mendong­krak angka kemiskinan. Namun, pemerintah pun menyadari bahwa memangkas anggaran sektor pembangunan juga melemah­kan daya dorong APBN dalam meningkatkan perekonomian.

Pemerintahan yang baru pasti tidak akan gegabah dengan mencabut subsidi BBM. PDIP sebagai partai pengusung Jokowi-JK, dikenal sebagai partainya wong cilik dan selalu antikenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY, pasti tidak akan menyetujui begitu saja langkah Presiden terpilih untuk mencabut atau mengurangi subsidi BBM. Namun, jika tidak ada langkah antisipasi maka presiden baru akan berada dalam masalah keuangan negara yang kronis. Defisit anggaran akan membengkak, melampaui angka 3%, yang berarti melanggar UU tentang Keuangan Negara.

Defisit Anggaran  

Sejauh ini, pemerintahan Presiden SBY hanya berusaha menjaga kuota subsidi BBM 46 juta kiloliter tidak terlampaui sampai akhir Desember 2014. Padahal hingga Juni 2014, kuota BBM telah terserap sekitar 22,5 juta kiloliter dan diperkirakan, untuk solar habis akhir November dan premiun 19 Desember 2014.

Apabila kuota terlampaui, meskipun anggaran pembangunan dipangkas Rp 43 triliun, pemerintah tetap harus menambah kembali subsidi yang akan meningkatkan defisit anggaran. Sungguh pilihan sulit, seperti memakan buah simalakama. Presiden baru akan terjebak dalam keadaan serbasalah karena apa pun kebijakan yang dibuat pasti salah.

Meningkatnya anggaran subsidi BBM akan memengaruhi kemampuan pemerintah membiayai jaminan kesehatan dan perlindungan sosial, menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesenjangan. Kepercayaan publik pasti menurun, kehadiran negara dalam mengurangi beban kesulitan masyarakat dan kepercayaan pada partai penguasa akan jauh berkurang. Tentu bukan ini yang diinginkan?

Mampukan presiden-wakIl presiden terpilih ’’berjudi’’ dengan mencabut subsidi BBM? Atau tetap bertahan dengan kebijakan tarik ulur yaitu beleid yang bersifat darurat, hanya menjaga agar kuota tidak terlampaui, sementara akar permasalahannya tidak pernah dipangkas? Saya berharap, rumah transisi Jokowi-JK bisa menemukan formulasi kebijakan harga BBM yang lebih cespleng dan dapat diimplementasikan segera setelah keduanya dilantik pada Oktober mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar