Berjudi
dengan Subsidi
Ihwan Sudrajat ;
Staf Ahli Gubernur Jawa
Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 13 Agustus 2014
PROSES
gugatan Prabowo-Hatta, pasangan capres-cawapres nomor 1 terhadap Komisi
Pemilihan Umum (KPU) saat ini sedang berlangsung. Mari kita doakan bersama
supaya proses persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) berjalan lancar tanpa
ekses sehingga menjadi modal besar bagi presiden-wakil presiden terpilih
untuk merealisasikan janji mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi.
Saya
meyakini benar, hal itu terwujud meskipun kondisi terakhir menunjukkan
sulitnya merealisasikan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%. Hingga akhir
Juni 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia baru 5,17%,dan berdasarkan pengalaman, angka paling
mungkin dicapai pada akhir Desember 2014 adalah 5,2%.
Sengketa
pilpres jangan membuat kita tercerai-berai, saling berhadap-hadapan. Lihat
masa depan, kita perlu bersatu untuk mengatasi tekanan kekuatan ekonomi
global dan kemelemahan produktivitas ekonomi domestik. Dua hal ini
menyebabkan kinerja besar demokrasi belum diimbangi dengan realisasi kinerja
ekonomi makro yang mengesankan. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar
yang mampu menyejahterakan rakyat dan mempunyai kekuatan ekonomi berpengaruh
kuat di dunia, kita harus menaklukkannya, bukan sekadar mengatasi.
Pemilihan
presiden hingga pelantikan yang berlangsung mulus membawa konsekuensi positif
karena bisa meningkatkan ekspektasi
masyarakat kepada presiden baru. Presiden dan kabinet baru dipastikan
mengusung banyak perubahan dan upaya perbaikan. Mereka akan berusaha sekuat
tenaga mewujudkan janji-janji politiknya. Jokowi-JK mulai menggali masukan
dari masyarakat melalui rumah transisi, untuk mewujudkan nawa citra, 9 janji
saat berkampanye. Program diarahkan untuk Indonesia berdaulat secara politik,
mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Situasi
politik aman, nyaman dan tentram berkorelasi positif dengan kepercayaan
investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor tidak akan segan-segan
mengembangkan usaha dan meningkatkan investasinya. Stabilitas politik tak
akan mengubah regulasi yang bisa merugikan investasi. Indonesia masih perlu
investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan investasi luar biasa,
target pertumbuhan ekonomi tinggi lebih mudah diwujudkan.
Faktor
paling menyulitkan bagi presiden terpilih untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi tinggi adalah beban subsidi BBM yang makin besar. Bisakah dia
menghilangkan subsidi BBM? Pemerintah selalu ditarik masuk ke ruang politik
yang lebih besar jika diminta memilih menaikkan harga BBM atau memangkas
anggaran pembangunan.
Biasanya,
saat aspek politik lebih kuat berperan maka kebijakan akan bersifat populis.
Pemerintah lebih aman mengikuti keinginan masyarakat (populis), karena
menaikkan BBM bisa membebani masyarakat, mengurangi daya beli dan
mendongkrak angka kemiskinan. Namun, pemerintah pun menyadari bahwa
memangkas anggaran sektor pembangunan juga melemahkan daya dorong APBN dalam
meningkatkan perekonomian.
Pemerintahan
yang baru pasti tidak akan gegabah dengan mencabut subsidi BBM. PDIP sebagai
partai pengusung Jokowi-JK, dikenal sebagai partainya wong cilik dan selalu
antikenaikan harga BBM semasa pemerintahan SBY, pasti tidak akan menyetujui
begitu saja langkah Presiden terpilih untuk mencabut atau mengurangi subsidi
BBM. Namun, jika tidak ada langkah antisipasi maka presiden baru akan berada
dalam masalah keuangan negara yang kronis. Defisit anggaran akan membengkak,
melampaui angka 3%, yang berarti melanggar UU tentang Keuangan Negara.
Defisit
Anggaran
Sejauh
ini, pemerintahan Presiden SBY hanya berusaha menjaga kuota subsidi BBM 46
juta kiloliter tidak terlampaui sampai akhir Desember 2014. Padahal hingga
Juni 2014, kuota BBM telah terserap sekitar 22,5 juta kiloliter dan
diperkirakan, untuk solar habis akhir November dan premiun 19 Desember 2014.
Apabila
kuota terlampaui, meskipun anggaran pembangunan dipangkas Rp 43 triliun,
pemerintah tetap harus menambah kembali subsidi yang akan meningkatkan
defisit anggaran. Sungguh pilihan sulit, seperti memakan buah simalakama.
Presiden baru akan terjebak dalam keadaan serbasalah karena apa pun kebijakan
yang dibuat pasti salah.
Meningkatnya
anggaran subsidi BBM akan memengaruhi kemampuan pemerintah membiayai jaminan
kesehatan dan perlindungan sosial, menurunkan kemiskinan dan meningkatkan
kesenjangan. Kepercayaan publik pasti menurun, kehadiran negara dalam
mengurangi beban kesulitan masyarakat dan kepercayaan pada partai penguasa
akan jauh berkurang. Tentu bukan ini yang diinginkan?
Mampukan
presiden-wakIl presiden terpilih ’’berjudi’’ dengan mencabut subsidi BBM?
Atau tetap bertahan dengan kebijakan tarik ulur yaitu beleid yang bersifat
darurat, hanya menjaga agar kuota tidak terlampaui, sementara akar
permasalahannya tidak pernah dipangkas? Saya berharap, rumah transisi
Jokowi-JK bisa menemukan formulasi kebijakan harga BBM yang lebih cespleng
dan dapat diimplementasikan segera setelah keduanya dilantik pada Oktober mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar