Mengindonesiakan
Indonesia
Enthus Susmono ;
Bupati Tegal
|
SUARA
MERDEKA, 21 Agustus 2014
Renungan suci dalam rangka
memperingati HUT Ke-69 Kemerdekaan RI di Kabupaten Tegal telah kita
selenggarakan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Pura Kusuma Persada. Kegiatan
untuk kali pertama di Desa Kajen, Kecamatan Lebaksiu tersebut bukan
semata-mata bentuk penghormatan atas jasa para pahlawan melainkan sekaligus
upaya untuk melanggengkan ikatan batin antara pejuang kemerdekaan dan kita,
sebagai pengisi kemerdekaan.
Keberadaan taman makam pahlawan
merupakan bukti sejarah dan rekam jejak perjuangan bangsa yang harus dijaga
bersama. Bangsa yang tidak mau dan tak bisa menjaga serta melestarikan
bukti-bukti sejarah, sesungguhnya ia telah kehilangan jati diri. Sudah
menjadi keharusan, HUT kemenangan Republik Indonesia atas penjajahan kolonial
kita rayakan mengingat hal itu berarti mensyukuri keterbebasan dari belenggu
asing.
Namun sadarkah bahwa sesungguhnya
kita masih mengalami penjajahan? Penjajahan pada era modern mewujud melalui
banyak bentuk dan cara. Kemiskinan, ketimpangan sosial, ketergantungan tinggi
pada produk impor, dan utang luar negeri, serta budaya koruptif dan hedonis
yang menjangkiti semua kalangan adalah bukti nyata masih kuatnya cengkeraman
”penjajah” di negeri ini.
Kemelunturan kecintaan dan kebanggaan
sebagai orang Indonesia menandakan bahwa secara terencana, terstruktur,
sistematis, dan masif, kita sedang mengalami proses tercerabut dari akar
nilai-nilai luhur budaya bangsa. Menjadi sebuah fatalitas andai degradasi
tersebut berlanjut dengan makin jauhnya kecintaan dan kebanggaan tersebut,
dan menggantikannya dengan budaya baru.
Keterwujudan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Community)
2015 sejatinya harus bisa membukakan mata dan menyadarkan betapa kita harus
bersiap-siap. Betapa jauh ketertinggalan negara ini dari negara serumpun,
atau negara lain anggota ASEAN. Idiom ”Malaysia
hari ini adalah Indonesia 20 tahun yang akan datang, atau Thailand hari ini
adalah Indonesia 10 tahun yang akan datang” bisa saja ada benarnya.
Kita pernah direpotkan oleh ”panen”
beras di pelabuhan berkait kebijakan impor pangan, produk tempe yang
dipatenkan oleh negara tetangga, atau apel malang yang kini menghilang di
pasaran digantikan apel washington. Belum lagi kebanggaan sebagian generasi
muda untuk mengonsumsi atau mengenakan produk-produk asing. Bahkan menyangkut
segala sesuatu yang bersifat nirbenda.
Tempat Sampah
Tanpa tekad dan niat tulus dari
kita semua, niscaya bangsa Indonesia hanya akan menjadi penonton di negara
sendiri. Tanah Air ini hanya sekadar pasar empuk bagi produk, termasuk budaya
negara-negara kapitalis. Selain itu, menjadi tempat sampah atau tempat pembuangan
limbah negara-negara maju yang dikemas dalam aneka produk kreatif. Indonesia
belumlah dapat dikatakan negara paripurna sebagaimana negara-negara maju yang
sudah selesai dengan urusannya.
Kita tak dapat memungkiri bahwa
negara kita masih disibukkan oleh permasalahan-permasalahan kecil yang kerap
dibesar-besarkan. Adakalanya persoalan itu tereskalasi menjadi bibit-bibit
yang berisiko melahirkan disintegrasi dan disharmoni bangsa. Wahai
saudara-saudaraku, perjuangan kita belum berakhir.
Perjuangan yang sesungguhnya adalah
upaya untuk terus-menerus memperkuat karakter dan kepribadian sebagai bangsa
yang merdeka, unggul, dan berdaulat, serta tak henti-hentinya menemukan kemandirian
dalam banyak hal. Semua itu harus diperjuangkan dengan tidak mengenal lelah,
melihatkan seluruh komponen bangsa, termasuk warga Kabupaten Tegal.
Cara paling sederhana yang bisa
dengan mudah kita lakukan mulai saat ini adalah terus memupuk rasa bangga
menjadi orang Indonesia. Beli dan gunakanlah produk dalam negeri, karya putra-putri
bangsa. Kita perlu mengapresiasi produk dalam negeri. Rebut pasar dalam negeri.
Inilah saatnya kita mengindonesiakan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar