Kenegarawanan
Hakim MK
Agus Riewanto ;
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 21 Agustus 2014
LANGKAH yang ditempuh Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa menggugat hasil Pilpres 2014 melalui Mahkamah
Konstitusi (MK), patut kita hormati. John Rawls (1995) dalam A Theory of Justice menyebut bahwa
menggugat adalah hak konstitutional warga negara guna memperjuangkan keadilan
melalui mekanisme hukum yang damai dan beradab. Ikhtiar itu bahkan dijamin
konstitusi negara yang demokratis.
Langkah mengajukan gugatan hukum
melalui MK, jauh lebih bermartabat ketimbang lewat kekerasan, atau bahkan
mengudeta pemerintah sah hasil pilpres. Hal itu nanti tak ubahnya seperti
elite politik Mesir dan Thailand, ketika kalah dalam pemilu, beberapa waktu
lalu. Tanggal 6 Agustus lalu, hakim konstitusi kita menggelar sidang perdana,
dan akan menjatuhkan putusan pada 21 Agustus
2014.
Karena itu pula, MK menjadi
perhatian publik nasional dan internasional mengingat ekspektasi besar publik
terhadap putusan yang adil, transparan, dan akuntabel. Mendasarkan putusan
itu pula, capres terpilih dalam Pilpres 2014 memiliki legitimasi hukum tata
negara. Hal itu mengingat MK adalah benteng terakhir dari proses pilpres,
setelah sebelumnya kubu Prabowo-Hatta menolak hasil perhitungan suara karena
tak memercayai kinerja KPU.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pilpres pun menyatakan bahwa gugatan yang bisa diajukan ke MK,
antara lain terkait putusan KPU yang memungkinkan memengaruhi suara untuk
kemenangan salah satu kandidat. Klausul tersebut menjadi pintu utama untuk
mengajukan gugatan.
Ada beberapa dasar kubu
Prabowo-Hatta mengajukan gugatan. Pertama; terkait pelanggaran dan kecurangan
yang disebutnya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu (KPU) dan kubu Jokowi-JK. Kedua; ada dugaan kecurangan
dalam terkait dengan ketidakakuratan daftar pemilih tetap (DPT). Ketiga; ada
perhitungan suara di sejumlah TPS yang direkomendasikan oleh Bawaslu untuk
diulang karena diduga ada kecurangan, namun tak dipenuhi oleh KPU.
Namun dalam sidang-sidang yang
disiarkan televisi dan diberitakan media cetak, kubu Prabowo-Hatta kesulitan
membuktikannya, terutama aspek pelanggaran yang disebutnya terstruktur,
sistematis, dan masif. Materi gugatan seperti itu merupakan objek yang biasa
diajukan oleh pihak yang kalah. Kita bisa mengatakan materi tersebut hanyalah
repetisi dari gugatan pihak yang kalah. Artinya, gugatan semacam itu bukan
sesuatu yang luar biasa dan sepertinya mudah diselesaikan oleh MK.
Sesungguhnya, dari aspek
pembuktian sebagaimana mengemuka dalam sidang-sidang sebelumnya, materi
gugatan tim hukum Prabowo-Hatta, lemah. Bila bertujuan ”mengalihkan” kemenangan
Pilpres 2014 dari Jokowi-JK ke Prabowo-Hatta, rasanya sulit terwujud. Lain
halnya andai bertujuan demi perbaikan proses pilpres ke depan. Pasalnya,
selisih suara itu lebih dari 8 juta, dan mustahil ”mengalihkan” suara sebanyak
ini.
Kenegarawanan MK
Namun dalam sengketa hukum yang
bernuansa politik, bagi MK apa pun bisa terjadi. Artinya pihak yang semula menang
bisa kalah, sebaliknya yang kalah bisa menang. Di sinilah diperlukan kenegarawanan
(statesmen) 9 hakim konstitusi yang
harus membuktikan benar-benar mengadili sengketa Pilpres 2014 secara adil,
transparan, dan akuntabel.
Negarawan menurut Sharwood dalam
Law Lecturer (1987, pp.28-29)
adalah sosok yang menempatkan putusan hukum di atas moralitas hukum, yakni
hati nurani. Lebih jauh, dia mengatakan, tidak ada profesi yang lebih
membutuhkan karakter moral, seperti halnya profesi bidang hukum. Dengan
demikian negarawan sejati adalah tokoh kunci yang memiliki keberpihakan pada
moral hukum.
Keterwujudan hal itu
mensyaratkan beberapa hal. Pertama; kemandirian esensial hakim konstitusi
yang ditandai dengan putusan yang mendasarkan pada integritas moral dan
hukum, bukannya pada kekuasaan dan tafsir politik. Kedua; profesionalitas
hakim konstitusi berkait kompetensi dan integritas. Ketiga; kemadirian hakim
berkait kelembagaan yang mampu melepaskan diri dari jerat kekuasaan politik
dan uang dari para pihak yang bersengketa.
Kenegarawanan hakim konstitusi
dalam mengadili sengketa Pilpres 2014 sangat diperlukan. Pasalnya, keterungkapan skandal suap pada
sejumlah sengketa pilkada yang dilakukan oleh Akil Mochtar semasa menjabat
ketua, telah menyeret lembaga yang dipimpinnya menjadi institusi yang tak
lagi dipercaya. Karena itu, momentum mengadili sengketa hasil Pilpres 2014 menjadi
ujian bagi MK untuk bisa kembali memulihkan kepercayaan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar