Jumat, 22 Agustus 2014

Kenegarawanan Hakim MK

                                      Kenegarawanan Hakim MK

Agus Riewanto  ;   Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
SUARA MERDEKA, 21 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

LANGKAH yang ditempuh Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menggugat hasil Pilpres 2014 melalui Mahkamah Konstitusi (MK), patut kita hormati. John Rawls (1995) dalam A Theory of Justice menyebut bahwa menggugat adalah hak konstitutional warga negara guna memperjuangkan keadilan melalui mekanisme hukum yang damai dan beradab. Ikhtiar itu bahkan dijamin konstitusi negara yang demokratis.

Langkah mengajukan gugatan hukum melalui MK, jauh lebih bermartabat ketimbang lewat kekerasan, atau bahkan mengudeta pemerintah sah hasil pilpres. Hal itu nanti tak ubahnya seperti elite politik Mesir dan Thailand, ketika kalah dalam pemilu, beberapa waktu lalu. Tanggal 6 Agustus lalu, hakim konstitusi kita menggelar sidang perdana, dan akan menjatuhkan putusan pada 21 Agustus  2014.

Karena itu pula, MK menjadi perhatian publik nasional dan internasional mengingat ekspektasi besar publik terhadap putusan yang adil, transparan, dan akuntabel. Mendasarkan putusan itu pula, capres terpilih dalam Pilpres 2014 memiliki legitimasi hukum tata negara. Hal itu mengingat MK adalah benteng terakhir dari proses pilpres, setelah sebelumnya kubu Prabowo-Hatta menolak hasil perhitungan suara karena tak memercayai kinerja KPU.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres pun menyatakan bahwa gugatan yang bisa diajukan ke MK, antara lain terkait putusan KPU yang memungkinkan memengaruhi suara untuk kemenangan salah satu kandidat. Klausul tersebut menjadi pintu utama untuk mengajukan gugatan.

Ada beberapa dasar kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan. Pertama; terkait pelanggaran dan kecurangan yang disebutnya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU) dan kubu Jo­kowi-JK. Kedua; ada dugaan kecurangan dalam terkait dengan ketidakakuratan daftar pemilih tetap (DPT). Ketiga; ada perhitungan suara di sejumlah TPS yang direkomendasikan oleh Bawaslu untuk diulang karena diduga ada kecurangan, namun tak dipenuhi oleh KPU.

Namun dalam sidang-sidang yang disiarkan televisi dan diberitakan media cetak, kubu Prabowo-Hatta kesulitan membuktikannya, terutama aspek pelanggaran yang disebutnya terstruktur, sistematis, dan masif. Materi gugatan seperti itu merupakan objek yang biasa diajukan oleh pihak yang kalah. Kita bisa mengatakan materi tersebut hanyalah repetisi dari gugatan pihak yang kalah. Artinya, gugatan semacam itu bukan sesuatu yang luar biasa dan sepertinya mu­dah diselesaikan oleh MK.

Sesungguhnya, dari aspek pembuktian sebagaimana mengemuka dalam sidang-sidang sebelumnya, materi gugatan tim hukum Prabowo-Hatta, lemah. Bila bertujuan ”mengalihkan” kemenangan Pilpres 2014 dari Jokowi-JK ke Prabowo-Hatta, rasanya sulit terwujud. Lain halnya andai bertujuan demi perbaikan proses pilpres ke depan. Pasalnya, selisih suara itu lebih dari 8 juta, dan mustahil ”mengalihkan” suara sebanyak ini.

Kenegarawanan MK

Namun dalam sengketa hukum yang bernuansa politik, bagi MK apa pun bisa terjadi. Artinya pihak yang semula menang bisa kalah, sebaliknya yang kalah bisa menang. Di sinilah diperlukan kenegarawanan (statesmen) 9 hakim konstitusi yang harus membuktikan benar-benar mengadili sengketa Pilpres 2014 secara adil, transparan, dan akuntabel.

Negarawan menurut Sharwood dalam Law Lecturer (1987, pp.28-29) adalah sosok yang menempatkan putusan hukum di atas moralitas hukum, yakni hati nurani. Lebih jauh, dia mengatakan, tidak ada profesi yang lebih membutuhkan karakter moral, seperti halnya profesi bidang hukum. Dengan demikian negarawan sejati adalah tokoh kunci yang memiliki keberpihakan pada moral hukum.

Keterwujudan hal itu mensyaratkan beberapa hal. Pertama; kemandirian esensial hakim konstitusi yang ditandai dengan putusan yang mendasarkan pada integritas moral dan hukum, bukannya pada kekuasaan dan tafsir politik. Kedua; profesionalitas hakim konstitusi berkait kompetensi dan integritas. Ketiga; kemadirian hakim berkait kelembagaan yang mampu melepaskan diri dari jerat kekuasaan politik dan uang dari para pihak yang bersengketa.

Kenegarawanan hakim konstitusi dalam mengadili sengketa Pilpres 2014 sangat diperlukan.  Pasalnya, keterungkapan skandal suap pada sejumlah sengketa pilkada yang dilakukan oleh Akil Mochtar semasa menjabat ketua, telah menyeret lembaga yang dipimpinnya menjadi institusi yang tak lagi dipercaya. Karena itu, momentum mengadili sengketa hasil Pilpres 2014 menjadi ujian bagi MK untuk bisa kembali memulihkan kepercayaan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar