Minggu, 03 Agustus 2014

Menempuh Mudik Batin

                                           Menempuh Mudik Batin

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
KORAN SINDO, 31 Juli 2014
                                                
                                                                                                                                   

Pada pertengahan Juni 2014, puluhan buruh migran ilegal meregang nyawa karena tenggelam di perairan negeri jiran. Mereka ingin pulang kampung untuk menunaikan puasa dan merayakan Lebaran.

Sebagai pekerja tanpa dokumen resmi, mereka jelas tidak mempunyai pilihan selain pulang dengan kapal tongkang melalui jalan tikus ke kampung halaman. Malangnya, tekong dan pemilik kapal tak memikirkan keselamatan, karena moda transportasi ini memang ilegal. Tak ada badan yang mengawasi sebagaimana dilakukan pada maskapai penerbangan. Apa daya, pulang adalah cara mereka menemukan jati dirinya.

Mudik wajib ditunaikan. Hari-hari menjelang Lebaran, polisi Malaysia acap kali menangkap buruh migran yang mencoba pulang melalui kapal yang tak selamat itu. Operasi Ramadan dijalankan hingga akhir puasa untuk memastikan tidak ada lagi pekerja Indonesia dan negara asing lain kembali ke negaranya melalui jalur tidak resmi. Selain berisiko, peristiwa ini makin memburukkan negara tetangga sebagai pusat perdagangan manusia (human trafficking).

Namun, betapa pun pemerintahan jiran berusaha sekuat tenaga, selalu ada celah bagi para pekerja ini untuk menerobos ketatnya penjagaan di pelbagai titik, sebagaimana ini juga sering terjadi pada penyelundupan barang tanpa cukai. Lagi-lagi, di hari ke-17 puasa, kapal tongkang karam. Dua orang meregang nyawa. Namun demikian, pada masa yang sama, ada ratusan ribu pekerja yang mudik dengan tenang karena mereka mengantongi izin kerja dan menggunakan moda angkutan yang jauh lebih selamat.

Meskipun mereka harus merogoh kantong lebih dalam untuk pulang, mengingat harga tiket penerbangan naik tajam, kegembiraan berlebaran bersama keluarga di kampung halaman jauh lebih bernilai. Pendapatan selama bekerja seakan-akan hanya dihabiskan untuk membiayai kepulangan dan berhari raya bersama keluarga. Setelah itu mereka kembali lagi bekerja. Sebuah lingkaran yang perlu diretas agar nasib mereka beranjak dari pemenuhan kebutuhan dasar semata-mata.

Linguistik

Ferdinand de Saussure, ahli bahasa, mengandaikan hubungan penanda dan petanda yang lahir dari sebuah kesepakatan (convention). Mudik sebagai penanda adalah berupa suara atau huruf yang mengandaikan konsep tertentu, yaitu kepulangan orang dari rantau ke tanah kelahiran. Menjelang hari raya, peristiwa ini betul-betul massal. Ada 27 juta orang dengan pelbagai moda angkutan memenuhi jalan dan udara untuk pulang ke kampung halaman.

Secara konseptual, ia merujuk pada sistem kekerabatan dalam budaya kita, di mana hubungan persaudaraan mesti dijaga. Mudik adalah salah satu cara untuk mengekalkan tradisi turun-temurun. Tentu, makna mudik juga berkait dengan medan semantik lain, seperti silaturahmi, ketupat, dan halalbihalal. Di tengah semakin sedikit waktu untuk bertemu dalam keadaan santai, silaturahmi mengandaikan perjumpaan manusia dalam keadaan riang.

Hubungan-hubungan selama ini yang mengandaikan pekerja dan majikan tak lagi bekerja. Mereka hadir sebagai manusia yang setara. Demikian pula, ketupat yang berasal dari lepat , yang bermakna memaafkan kesalahan menunjukkan bahwa lambang ini bukan sekadar penyeri Idul Fitri, tetapi juga kesediaan manusia untuk menerima kekurangan orang lain. Pada akhirnya, mereka akan kembali bersua dalam momen halalbihalal, yang menunjukkan secara terbuka bahwa masing-masing bersedia untuk kembali merajut kebersamaan.

Tentu, pengucapan selamat hari raya mohon maaf lahir dan batin, yang biasanya diiringi kata minal minal aidin wal faizin meriuh. Kata keramat ini berhamburan memenuhi udara. Ia meluncur begitu saja, tanpa kita bisa mengurai makna yang paling dalam dari kata ini. Kata majemuk ini hadir untuk melengkapi pertemuan di hari kemenangan.

Selebihnya, kita tak pernah memeriksa adalah permohonan ini benar-benar dari batin? Ketika ia hanya terucap secara lisan, maka penyakit hati seperti dengki, hasut, dan iri hati tumbuh subur. Padahal, kesatuan dari wujud lahir dan batin mengandaikan satunya kata dan perbuatan.

Arus “Ba(l)ik”

Mengingat mudik itu tak melulu fisik, tetapi batin, mungkin tak arif memisahkan keduanya. Hanya, kepulangan fisik menjadikan pemudik berisiko. Keadaan jalan raya yang tak layak, pemeriksaan kendaraan yang tak terjamin, dan faktor kelelahan karena macet membuat mereka terpapar pada kecelakaan.

Tak ayal, laporan arus mudik dan balik selalu menyisipkan berita kemalangan yang merenggut nyawa. Kendaraan terperosok karena jalan yang berlubang. Bus terperosok ke jurang karena rem blong akibat pemeriksaan rutin yang diabaikan. Bagaimana kejadian ini berulang setiap tahun, sementara nilai-nilai puasa mengandaikan kesabaran, kejujuran, dan kesejahteraan?

Puasa yang secara harfiah bermakna menahan diri (imsak) semestinya bergeser pada makna epistemologis sebagai kemampuan menahan diri dari hawa nafsu biologis dan hedonis. Tentu saja, kita bisa dengan mudah mengidentifikasi yang pertama, tapi memeriksa yang terakhir, perilaku hedonisme, merupakan tantangan karena pemuasan hawa nafsu terhadap materi acap kali dikaburkan dengan perayaan hari raya.

Pasaraya bersolek sedemikian rupa, seperti pemindahan suasana Timur Tengah di lantai bawah: bangunan masjid, unta, dan padang pasir. Menjelang Lebaran, masjid dan surau semakin sunyi, sementara pusat perbelanjaan semakin berseri. Ironis! Padahal, selain pada akhir Ramadan malam Seribu Bulan mungkin turun, di 10 terakhir inilah, kita diselamatkan dari api neraka.

Malangnya, alih-alih terelakkan, kita memasuki neraka lain, hedonisme. Betapapun kita dianjurkan untuk mengakhiri puasa dengan Idul Fitri seraya menggunakan baju baru, secara hakikat pesan moralnya bukan pada kebaruan pakaian, tetapi penghormatan pada hari suci. Justru, akhir puasa wajib disempurnakan dengan pembagian zakat fitrah sebagai penyucian diri, bukan bersolek agar diri tampak molek. Kepedulian kepada orang-orang terpinggir adalah puncak dari ibadah ini.

Kalau puasa berakhir dengan mudik yang hiruk-pikuk dan gebyar kemewahan, mungkin sudah saatnya kita hanya perlu mudik batin. Sementara itu, ongkos mudik disedekahkan kepada fakir-miskin. Bukankah ini tantangan menahan diri yang tak pernah dilakukan secara bersama-sama? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar