Mungkinkah
Lebaran Tanpa Inflasi?
Khudori ;
Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
(2010-2014), Penulis buku "Ironi Negeri Beras"
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2014
Inflasi
pada bulan Ramadan biasanya tinggi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada
Juli 2014 atau Ramadan 1435 Hijriah berada di kisaran 0,8%-1,2%.
Dalam
kurun lima tahun terakhir rata-rata inflasi Juli secara month to month ada di
angka 0,85 %. Sementara year on year setiap Juli di bawah 4,5%. Jika inflasi
Juli 0,8%, diperkirakan inflasi year on year di angka 4,4%. Meskipun kecil,
dipastikan inflasi Juli yang terbesar. Hampir bisa dipastikan,
inflasiJuli2014takbergeserdari karakteristik inflasi saat Ramadan di
tahun-tahun sebelumnya.
Tahun
lalu, inflasi saat Ramadan (Juli) meledak tinggi: 3,29%. Inflasi tahun
kalender (Januari-Juli 2013) 6,75%, sedangkan inflasi tahunan 8,61%,
melampaui target pemerintah (8,2%). Inflasi Juli 2013 merupakan yang
tertinggi sejak inflasi Juli 1998 sebesar 8,56%. Bedanya, saat itu Indonesia
dilanda krisis moneter. Inflasi tahunan 8,61% ini merupakan yang tertinggi
sejak Juli 2008 (11,03%).
Menurut
BPS, inflasi Juli 2013 merupakan hasil jalinan banyak faktor: kenaikan harga
BBM bersubsidi, Ramadan, dan libur sekolah. Ada lima hal besar penyumbang
inflasi Juli 2013: BBM, tarif angkutan dalam kota, bawang merah, daging ayam,
dan ikan segar. Jika dipilah, harga yang diatur pemerintah menyumbang inflasi
sebesar 1,41%, inflasi inti punya andil 0,59%, dan inflasi harga bergejolak
menyumbang 1,29%.
Hampir
bisa dipastikan, inflasi Juli 2014 akan disumbang Ramadan, libur sekolah, dan
tarif listrik. Pertanyaannya, jika tidak ada kenaikan harga tarif listrik dan
libur sekolah, akankah inflasi Juli rendah? Menarik untuk menelusuri jejak
inflasi selama Ramadan. Pada 2005, Ramadan jatuh pada Oktober, kemudian 2008
(September), 2011 (Agustus), dan 2012 (Juli). Pada 2005, inflasi saat Ramadan
mencapai rekor tinggi: 8,7%.
Ini
terjadi karena saat itu pemerintah menaikkan harga BBM hanya empat hari
menjelang Ramadan. Tahun 2013 kenaikan harga BBM dilakukan dua pekan
menjelang Ramadan. Setelah itu, pada 2008 inflasi Ramadan 0,97%; 2011
(0,93%); dan 2012 (0,7%). Terlihat jelas bahwa inflasi Ramadan selalu tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir tak pernah di bawah 0,7%.
Seperti
suatu kelaziman, kehadiran Ramadan dan kemeriahan perayaan Idul Fitri
ditandai oleh kenaikan hargaharga (pangan). Pemerintah seperti mati kutu dan
pasrah terhadap situasi ini. Tahun ini hampir semua komoditas pangan, seperti
beras, daging (ayam dan sapi), telur, sayursayuran, dan buah-buahan harganya
melejit tinggi. Alasannya, saat Ramadan terjadi kenaikan permintaan sekitar
20%.
Sesuai
hukum besi supply-demand , ketika ada tekanan di sisi permintaan dengan
pasokan tetap, harga akan terpantik tinggi. Akhirnya, inflasi tinggi saat
Ramadan dan Lebaran dianggap sebagai sebuah kelaziman. Mungkinkah Ramadan dan
Lebaran tanpa (deraan) inflasi? Bukankah di negara-negara maju, Amerika
Serikat (AS), misalnya, perayaan tahunan Thanksgiving dan Natal tidak
disertai lonjakan inflasi?
Di
AS, Thanksgiving yang jatuh pada
November ditandai pula dengan kebiasaan mudik. Saat itu petani gandum
merayakan panen raya sebelum memasuki musim dingin. Sama seperti Lebaran,
semua moda transportasi mendadak sibuk. Jalanjalan antarkota macet, stasiun
kereta dan bandara penuh penumpang. Uniknya, inflasi di AS tidak melonjak.
Kenapa? Karena struktur pasar sudah mapan alias mendekati koordinat
persaingan sempurna.
Produsen
tidak memiliki peluang untuk menaikkan harga secara semena-mena dan sepihak.
Kemungkinan adanya praktik kartel harga juga dapat dieliminasi oleh Komite
Antikartel Harga. Akibatnya, ritual tahunan Thanksgiving tidak identik dengan
kenaikan harga (barang dan jasa). Ada lonjakan permintaan barang dan jasa,
tetapi tidak inflationary (Prasetiantono,
2010).
Di
Indonesia, inflasi selalu melejit saat Ramadan dan Lebaran karena struktur
dan mekanisme pasar masih jauh dari pasar persaingan sempurna. Produsen,
pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang memiliki kekuatan mengendalikan
pasokan, dan mengatur harga di pasar masih terbuka peluangnya untuk melakukan
kartel dan persekongkolan untuk mengatur volume, harga dan wilayah
distribusi.
Komite
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum optimal bekerja untuk menutup peluang
kartel dan persekongkolan itu. Usaha KPPU selalu kandas. Celakanya,
pemerintah sering kali memberi toleransi menaikkan harga, terutama pada
sektor transportasi. Kenaikan tiket pesawat, bus, dan kereta api diizinkan
sampai batas tertentu. Batas itu sering dilanggar tanpa sanksi tegas.
Mungkinkah
Ramadan dan Lebaran tanpa inflasi? Mungkin saja. Tetapi, untuk mewujudkan itu
selain perlu berbagai upaya yang tidak mudah, juga memerlukan konsistensi dan
keteguhan pelaksanaan di lapangan.
Pertama
, mendorong terciptanya struktur dan mekanisme pasar persaingan sempurna agar
tidak ada produsen atau penjual yang bisa mendikte harga secara sepihak. Jika
produsen menaikkan harga, konsumen dengan mudah pindah ke produsen lain tanpa
biaya apa pun. Caranya, memperbanyak pemain dengan jalan mengatur pembatasan
penguasaan barang pada segelintir pelaku. Penyebaran pemain ini diperlukan
agar kemampuan kontrol pasokan dan harga tidak ditentukan oleh segelintir
pelaku sehingga pasar tidak gampang dipermainkan.
Kedua,
meningkatkan penegakan hukum. Pemerintah harus tegas menindak pelaku yang
menaikkan harga atau tarif di luar ketentuan. Dalam kaitan ini, pemerintah
dan DPR juga perlu memberdayakan lembaga KPPU. Bila dipandang perlu, sudah
saatnya dilakukan amandemen pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk
meningkatkan kewibawaan dan power
KPPU. Ini penting agar KPPU mampu menutup setiap celah yang terbuka untuk
melakukan kartel dan melakukan persekongkolan harga.
Ketiga,
merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya
mengurus beras, tetapi juga menangani beberapa komoditas penting lain
disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga,
pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor
komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan
sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta
dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente ekonomi.
Keempat
, memperbaiki jalur distribusi barang. Selama ini harga barang mudah melejit
tinggi ketika jalur distribusi terganggu. Ini terkait dengan kondisi
infrastruktur yang buruk, sebuah pekerjaan rumah terbesar yang sedang
dihadapi pemerintah.
Kelima,
membenahi administrasi perdagangan dalam dan luar negeri. Paling penting
adalah administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus
barang dari satu titik ke titik lain akan mudah diestimasi, termasuk
fluktuasi harga.
Lebih
dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi dua adanya praktik
moral hazard : aksi aji mumpung dalam bentuk penimbunan dan menciptakan
kelangkaan pasar semu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar