Minggu, 03 Agustus 2014

Ketupat Habis, Dosa-Dosa Habis

                              Ketupat Habis, Dosa-Dosa Habis

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 31 Juli 2014
                                                
                                                                                                                                   

Apakah yang kita kenang di akhir bulan suci Ramadan? Takbiran yang menggema di masjid-masjid. Ini bukan sekedar “perayaan” atas kemenangan kita dalam perjuangan yang menggelora, berat tapi menggembirakan, selama sebulan penuh menjalani dengan sikap patuh, kewajiban berpuasa, kewajiban orang-orang beriman.

Puasa tugas hidup karena iman, demi iman, untuk iman. Dan ketika tugas berakhir, kita menang, dengan sendirinya kita berbahagia. Takbiran pada malam Lebaran juga merupakan “proklamasi”, kepada dunia bahwa, dengan rasa syukur pula, sebagai orang-orang beriman, kita telah mencoba sekuat tenaga dengan rasa tulus, untuk taat pada ajaran mulia yang kita tradisikan.

Tak mengherankan pula bila apa yang telah menjadi tradisi itu melahirkan pula “tradisi” lain: takbiran bukan hanya di masjid, tetapi di jalan-jalan pula, sambil keliling kampung, keliling kecamatan, keliling kabupaten, keliling provinsi, untuk meneriakkan rasa syukur itu. Lalu kita pun bicara pula “syiar” Islam.

Rasa syukur dan syiar bergabung menjadi satu, sehingga pada malam Lebaran kita menaiki mobil dengan bak terbuka, keliling kota, dengan takbiran dan bunyi-bunyi beduk bertalu-talu. “Allahu Akbar, Allahu Akbar”... “Dung, dung, dung, dung ...” saling menimpali, saling melengkapi, begitu gemuruh, begitu bising, tapi kita, yang masih berusia “bocah” tak merasa adanya kebisingan.

Orangorang dewasa, yang merayakan kegembiraan pada malam Lebaran secara mendalam, yang mengutamakan kegembiraan dalam suasana khusyuk di lubuk hatinya tak memerlukan bunyi-bunyian. Tapi orangorang dewasa, kaum tua, dulu juga muda, dulu pernah remaja. Dengan begitu, kegembiraan yang bising itu mereka terima tanpa keluhan, tanpa celaan. Anak adalah anak.

Mereka bising di masjid bukan demi kebisingan itu semata, tetapi semoga demi latihan menghayati iman. Mereka bising di jalan-jalan, keliling kota, bukan untuk pamer, bukan untuk hurahura, melainkan untuk ekspresi iman yang lebih luas. Pendeknya, semoga itu juga demi kebaikan kita semua.

Mungkin pelan-pelan patut diberitahukan bahwa takbiran dengan genderang dan beduk dari masjid yang besar itu, yang diangkut di atas mobil dengan bak terbuka dan dipukuli di sepanjang, jalan, ada yang tampak rentan bahaya, bisa mengguling dan jatuh di atas aspal.

Apa yang baik bagi mereka, dengan demikian mungkin hanya baik bagi mereka sendiri. Ini, pelan-pelan, disosialisasikan pada mereka, agar gembira tak berlebihan, sukuran tak usah bising, dan “proklamasi” atas kemenangan tak usah diungkapkan dengan cara yang bisa menimbulkan risiko. Takbiran pada malam Lebaran gambaran kemenangan hati, boleh juga disebut kemenangan jiwa, yang tak usah diluapkan ke luar.

Kemenangan jiwa sering tak lama. Beberapa saat yang lalu kita menang, secara tak terduga sama sekali kita tergoda ambisi, atau nafsu, dan tiba-tiba, secara mendadak kita terpeleset ke dalam kekalahan. Perjuangan hati, kemenangan di dalamnya, sering hanya sesaat. Dan kita sering tak tahu bagaimana menjaganya. Orang yang lebih bijak selalu tampil membawa solusi: menang ya menang, gembira ya gembira, syukur ya syukur.

Tak layak kita merayakannya dengan cara yang tak ada hubungannya dengan iman. Kita diminta merayakan kemenangan dengan cara orangorang beriman. Sukuran dengan cara orang beriman? Sukuran yang dalam, yang tunduk, dan tak usah diramai- ramaikan, agar tak terasa adanya efek ria, pamer,yang bahkan bisa merusak rasa syukur itu sendiri. Allahu Akbar itu biarlah menggema ke dalam saja, ke lubuk hati, tempat di manacahaya ilahi, danimankita, bersemayam.

Boleh, dengan sendirinya, digemakan ke luar. Itu namanya “syiar” Islam tadi. Tapi, gema ke dalam tak boleh dilupakan. Ini gema yang rendah hati. Gema yang jauh dari unsur ria, dan pamer: gema jiwa yang tunduk, yang tak perlu pujian, karena dalam tunduk, dalam ketulusan, kita menyerahkan segala, tapi juga menerima segalanya. Kita tahu bahwa dengan begitu Allahu Akbar tidak untuk mengancam orang lain, tidak untuk menggemakan kemarahan yang meluap.

Allahu Akbar itu penyerahan diri, tanda kita kecil, kecil sekali, seperti sekeping debu di lautan padang pasir gurun Sahara. Kita bukan apa-apa. Dari bukan apa-apa itu kita saling memaafkan, saling mendoakan. Dan di rumah-rumah kaum muslimin dan muslimat yang bersyukur, tersedia ketupat. Kita telah menggunakannya sebagai simbol makanan Lebaran. Kita sajikan ketupat untuk semua saudara, handai tolan, sahabat-sahabat, dan kenalan. Kita makan ketupat dalam suasana rukun dan damai.

Kita memohon maaf, lahir dan batin, dengan tulus, bukan basa basi bukan sekedar memenuhi tradisi, bukan pantas-pantasan. Ini bagian dari intinya inti Hari Raya Idul Fitri. Kita mohon dan memberi maaf untuk kembali kembali ke kehidupan suci, tanpa dosa, bagaikan bayi yang baru lahir. Betapa agung isi ajaran itu. Dosa bisa hilang karena saling memaafkan dengan tulus. Kekotoran jiwa bisa bersih kembali.

Dan kita berkecenderungan bersih. Kita berubah menjadi semakin baik, semakin tulus, dan bahwa hidup ini bukan untuk main-main. Kita sajikan ketupat dan lauk-pauknya. Kita santap bersama dengan rasa syukur. Kita ikhlaskan semua ketupat habis. Ketupat dibuat untuk dimakan, dan dihabiskan.

Dan bersama habisnya ketupat itu, kita maaf memaafkan tadi, untuk membikin kejernihan hati, untuk pemurnian hidup kita. Murni, kembalikepada fitrahnya, kembali pada keadaan tanpa dosa, seperti saat diciptakan, lalu dilahirkan di bumi. Ketupat kita sajikan dan habis, dosa-dosa kita pun lenyap, habis tanpa sisa.

Kita kembali ke fitri, fitrah, keaslian. Dan, satu lagi harapan: semoga kita dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadan tahun depan, tahun berikutnya, dan berikutnya lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar