Mencari
Ruang Fiskal
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
18 Agustus 2014
UNTUK pertama kalinya dalam sejarah, anggaran pemerintah melampaui
Rp 2.000 triliun, yakni Rp 2.020 triliun, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara 2015. Angka ini sungguh besar. Namun, sayangnya,
pencapaian kuantitatif ini tidak diikuti dengan aspek kualitatif yang
menggembirakan. Pos subsidi mencapai Rp 433 triliun (21,4 persen terhadap
belanja total), yang terdiri dari subsidi energi (Rp 363 triliun) dan
non-energi (Rp 70 triliun). Subsidi terbesar diberikan kepada bahan bakar
minyak sebesar Rp 291 triliun, sedangkan listrik mendapatkan subsidi Rp 72
triliun.
Besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah menimbulkan
dua komplikasi. Pertama, kemampuan belanja pemerintah untuk mendorong
infrastruktur menjadi rendah. Pada 2015, pemerintah hanya sanggup belanja
infrastruktur Rp 206 triliun, berarti jauh di bawah subsidi energi Rp 291
triliun. Padahal, idealnya belanja infrastruktur suatu negara berkembang yang
tengah melaju (emerging country),
seperti Indonesia, adalah 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB),
berarti sekitar Rp 500 triliun. Dengan kata lain, kita mengalami ”defisit
infrastruktur” sekitar Rp 300 triliun, yang harus dicarikan dananya dari
sektor swasta dan badan usaha milik negara. Upaya menarik investor, termasuk
asing, untuk membangun bandara, pelabuhan, dan jalan tol harus menjadi
prioritas besar pemerintahan baru.
Kedua, kondisi fiskal yang lemah stimulus tersebut akan
memberikan persepsi negatif bagi investor. Investor bisa enggan masuk ke
Indonesia atau bahkan bisa mengalami pelarian modal ke negara-negara
kompetitor lainnya (capital flight).
Kemungkinan lain, Indonesia akan mengalami kenaikan imbal hasil ketika
menerbitkan surat berharga (obligasi), seperti yang dialami Yunani.
Kondisi fiskal Yunani parah karena negara terlalu banyak
memberikan fasilitas dan kemudahan (kesehatan, pendidikan, pensiun) terhadap
rakyatnya, akibatnya mengalami defisit fiskal sangat besar, yakni pernah
mencapai 15,7 persen terhadap PDB (2010) dan 12,7 persen (2014). Krisis
Yunani dapat diikhtisarkan sebagai ”belanja Pemerintah Yunani naik 87 persen,
sementara kenaikan penerimaan pajak hanya 31 persen”, alias ”lebih besar
pasak daripada tiang”. Karena buruknya kondisi fiskal ini, pasar pun
menghukumnya dengan kenaikan imbal hasil obligasi Pemerintah Yunani menjadi
15 persen (”The Greek Depression”,
Foreign Policy, 9/1/2013).
Sebagai perbandingan, imbal hasil obligasi Pemerintah
Indonesia berkisar 7 hingga 9 persen untuk penerbitan surat berharga
berdenominasi rupiah. Sementara jika dalam denominasi dollar AS, imbal hasil
kita berkisar 2 hingga 5 persen. Dengan kata lain, Indonesia jauh lebih baik
daripada Yunani. Namun, jika subsidi BBM ini terus berlarut-larut,
kredibilitas fiskal kita akan runtuh dan ke depan akan menambah beban utang
pemerintah. Kasus Yunani, dalam skala yang lebih kecil, bisa menimpa
Indonesia.
Karena itu, tidak ada pilihan lagi bagi pemerintah baru nanti,
kecuali memperbaiki struktur fiskal yang terlalu terbebani subsidi BBM dan
minim stimulus (terlalu kecil belanja untuk infrastruktur). Opsinya adalah
menaikkan harga BBM. Hal yang perlu didiskusikan adalah kapan dan berapa
besar hal itu dilakukan?
Sesudah pelantikan pemerintahan baru pada 20 Oktober 2014,
presiden baru perlu mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa peta energi
Indonesia dan dunia sudah berubah. Kita tidak boleh lagi merasa menjadi
bangsa yang memiliki kekayaan BBM yang hebat.
Lalu, kapan sebaiknya harga BBM dinaikkan? Idealnya tentu saja
secepatnya. Namun, membayangkan pemerintah sekarang menaikkan harga BBM
tampaknya tidak masuk akal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pasti tidak
ingin dikenang sebagai presiden yang pada akhir masa jabatannya meninggalkan
jejak kenaikan harga BBM dan inflasi.
Inflasi pada saat ini (year
on year) adalah 4,53 persen. Jika tidak ada kenaikan harga BBM, tahun
ini, inflasi akan ditutup pada 5 hingga 6 persen saja. Tahun lalu, inflasi
8,38 persen, di mana inflasi bulan Juli 2013 mencapai 3,29 persen. Sebagai
perbandingan, inflasi Juli 2014 hanya 0,93 persen meski ada puasa dan
Lebaran.
Jika demikian, peluang kenaikan inflasi hanyalah bulan
November-Desember 2014 dan sepanjang 2015. Bulan November 2014 diduga inflasi
bakal rendah, sesuai dengan pola tahunan, sedangkan Desember 2014 bakal
tinggi karena liburan akhir tahun. Saya menduga presiden baru nanti akan
cenderung memilih aman, yakni membiarkan tahun 2014 berlalu dengan inflasi
relatif rendah, 5-6 persen. Kenaikan harga BBM baru akan dilakukan pada
Februari atau Maret 2015 karena inflasi sudah mulai melandai setelah puncak
inflasi berlalu, yakni Desember dan Januari.
Berapa besarnya? Harga BBM bersubsidi saat ini Rp 6.500 per
liter, sedangkan harga keekonomiannya sekitar Rp 11.000 per liter sehingga
titik tengahnya Rp 8.750 per liter. Di sekitar angka inilah harga BBM
bersubsidi pantas ditetapkan. Dengan catatan, masih ada opsi lain yang juga
masuk akal, yakni pelarangan mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi.
Opsi tersebut pantas dipilih karena memenuhi asas keadilan,
yakni hanya kelompok masyarakat tertentu (pengendara sepeda motor dan
penumpang angkutan umum) yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.
Semua kebijakan tersebut pasti akan mengundang resistensi.
Namun, jika presiden baru bisa memberikan keteladanan hidup sederhana,
berempati melalui dialog langsung dengan warga di pelosok-pelosok tanpa
berpretensi pencitraan, saya menduga resistensi tersebut bakal dapat
diminimalkan. Presiden yang merakyat dan memiliki daya persuasi besar ini
merupakan aset terbesar bagi pemerintah untuk menyehatkan dan menyelamatkan
APBN 2015, yang kini sedemikian compang-campingnya
sehingga gagal memberikan stimulus perekonomian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar