Rabu, 13 Agustus 2014

Menakar Gugatan Prabowo-Hatta

                             Menakar Gugatan Prabowo-Hatta

Refly Harun  ;   Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu
MEDIA INDONESIA, 12 Agustus 2014
Bandingkan dengan artikel RH dengan topik sama di KOMPAS 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

DALAM beberapa kesempatan, saya ditanya bagaimana peluang gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Mahkamah Konstitusi (MK)? Variasi jawaban saya biasanya, `Berat untuk dikabulkan' atau bahkan `99% ditolak!'. Mereka yang pro-Prabowo-Hatta pasti tidak senang mendengarnya. Sebagai pengamat, dengan jawaban seperti ini, dengan mudah saya akan dikatakan berpihak kepada Joko WidodoJusuf Kalla (Jokowi-JK). Itulah risikonya pilpres yang diikuti hanya dua pasangan calon. Bila kita memberi penilaian yang tidak menguntungkan salah satu pasangan calon, akan dengan mudah dicap berpihak kepada pasangan calon lainnya.

Namun, saya punya alasan yang sangat kuat untuk mengatakan hal demikian berdasarkan penyimakan terhadap putusan MK selama ini. Dalam permohonan mereka, Prabowo-Hatta pada pokoknya mempermasalahkan dua hal. Pertama, dari sisi penghitungan suara, mereka mengklaim unggul atas Jokowi-JK dengan 50,26% (67.139.153 suara) atau naik hampir 5 juta suara dari penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 62.576.444, sedangkan Jokowi-JK hanya memperoleh 49,74% suara (66.435.124 suara) atau turun hampir 4 juta suara dari penetapan KPU sebesar 70.997.833.

Kedua, Prabowo-Hatta mempersoalkan proses pemilu (electoral process) yang dinilai penuh dengan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Yang dipersoalkan, antara lain, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang berubah-ubah, masalah mereka yang memilih hanya menggunakan KTP atau identitas kependudukan lainnya dalam DPT khusus tambahan (DPKTb), konsistensi antara DPT dan surat suara terpakai, beberapa soal terkait dengan money poli tics, dan masalah pemungutan suara di Papua.

Dari dua pokok gugatan tersebut, klaim menang itu bukan main-main. Bila bisa dibuktikan bahwa penghitungan suara KPU keliru dan yang benar ialah versi Prabowo-Hatta, pokok gugatan kedua tidak perlu diperiksa lebih lanjut. Prabowo-Hatta pasti akan dimenangkan MK. Masalahnya, klaim menang tersebut ternyata tidak didukung elaborasi yang memadai, tidak ada paparan dalam permohonan yang menggambarkan dari mana penambahan suara hampir 5 juta dari kubu Prabowo-Hatta?

Ada pelanggaran?

Demikian juga tidak tergambarkan bahwa perolehan suara Jokowi-JK berkurang hampir 4 juta agar hasil akhirnya Prabowo-Hatta yang menang karena perbedaan suara saat ini sekitar 8,4 juta. Yang ada hanyalah elaborasi soal penggelembungan suara bagi Jokowi-JK sebesar 1,5 juta suara dan pengurangan suara kubu PrabowoHatta sebesar 1,2 juta suara, yang kalau dijumlahkan semuanya hanya 2,7 juta suara. Seandainya pun 2,7 juta suara tersebut diberikan kepada kubu Prabowo-Hatta, tetap saja tidak memengaruhi hasil pemilu.

Saya menduga klaim menang itu sengaja `ditempelkan' dalam permohonan PrabowoHatta sekadar pintu masuk agar permo honan dinyatakan signi fikan untuk diperiksa lebih lanjut. Klaim kedua soal terjadinya pelanggaran yang bersifat TSM itulah yang sesungguhnya lebih diandalkan Prabowo-Hatta untuk mencari kemenangan di MK. Terbukti elaborasi atas pelanggaran TSM tersebut menyita 90% lebih halaman permohonan yang mencapai hampir 200 halaman.

Sejak memutus sengketa hasil pemilu kada Jawa Timur 2008, MK tidak lagi sekadar berhenti pada hitung-hitungan menang dan kalah dalam menangani sengketa hasil pemilu, termasuk pemilu kada dan pilpres, tetapi juga proses pemilu. Sepanjang suatu proses pemilu dapat dibuktikan berlangsung secara curang, dan kecurangan tersebut terjadi secara TSM, MK dapat memerintahkan pemungutan suara ulang. Bahkan, MK dapat mendiskualifikasi salah satu calon dan menentukan siapa pemenangnya. Tidak mengherankan bila dalam petitum permohonan, kubu Prabowo-Hatta meminta MK mendiskualifikasi Jokowo-JK dan memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Indonesia.

Persoalannya, apakah telah terjadi pelanggaran TSM dalam Pilpres 2014 sebagaimana didalilkan Prabowo-Hatta? Hingga tulisan ini diturunkan, pembuktian masih terus berlangsung di sidang-sidang MK. Namun, elaborasi soal TSM berikut perlu direnungkan untuk sampai pada jawaban.

Saya sering mengatakan bahwa dalil telah terjadi kecurangan TSM tersebut justru ‘menghina’ Prabowo-Hatta sendiri. Mengapa? Karena klaim itu mengandalkan asumsi bahwa kubu Jokowi-JK menguasai sumber daya yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan PrabowoHatta, baik dana maupun kekuasaan. Mereka yang mampu melakukan kecurangan TSM haruslah memiliki sumber daya yang jauh lebih besar ketimbang kompetitornya sehingga mengakibatkan persaingan pilpres menjadi tidak seimbang. Salah satu sumber daya tersebut misalnya penguasaan terhadap birokrasi di daerah karena kepala-kepala daerah berasal dari kubu salah satu pasangan calon.

Dalam konteks Pilpres 2014, faktanya tidak demikian. Baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK memiliki sumber daya yang bisa dikatakan relatif berimbang. Bahkan bila patokannya jumlah partai pendukung dikaitkan dengan hasil Pileg 2014, Prabowo-Hatta jauh lebih kuat karena didukung 7 dari 10 partai yang lolos di DPR dengan suara lebih dari 60%. Jumlah kepala daerah dari partai pendukung Prabowo-Hatta juga bisa dipastikan jauh lebih besar. Mengenai sumber dana, mesti belum jelas angkanya, banyak yang yakin bahwa Prabowo-Hatta memiliki uang yang jauh lebih banyak ketimbang Jokowi-JK.

Dalam kondisi seperti itu, apakah mungkin Jokowi-JK mampu melakukan kecurangan TSM? Kalau hanya kecurangan saja, jawabannya pasti ya. Dalam era reformasi, kurang dan curang dalam pemilu ialah penyakit yang hingga saat ini belum ada obatnya. Namun, potensi yang sama dilakukan pula oleh PrabowoHatta, bahkan peluang melakukan kecurangan bisa lebih besar dengan penguasaan sumber daya yang ada. Dalam kondisi ketika kedua pasangan calon memiliki sumber daya yang berimbang dan potensial sama-sama melakukan kecurangan, sulit dikatakan terjadi kecurangan TSM.

Pada Pilpres 2009, gugatan kecurangan TSM juga pernah dilayangkan kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto ke kubu SBY-Boediono. Gugatan itu ditolak MK. Nah, dalam kondisi petahana ikut bertanding saja gugatan TSM ditolak, apatah lagi dalam kondisi saat ini? Bila sidang di MK berjalan dengan kenormalannya, saya bisa pastikan bahwa 20 Oktober nanti presiden kita Jokowi-JK!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar