Menakar
Gugatan Prabowo-Hatta
Refly Harun ;
Pengamat Hukum Tata Negara
dan Pemilu
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Agustus 2014
Bandingkan dengan artikel RH dengan topik sama di KOMPAS 12 Agustus 2014
DALAM beberapa kesempatan, saya
ditanya bagaimana peluang gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Mahkamah
Konstitusi (MK)? Variasi jawaban saya biasanya, `Berat untuk dikabulkan' atau
bahkan `99% ditolak!'. Mereka yang pro-Prabowo-Hatta pasti tidak senang
mendengarnya. Sebagai pengamat, dengan jawaban seperti ini, dengan mudah saya
akan dikatakan berpihak kepada Joko WidodoJusuf Kalla (Jokowi-JK). Itulah
risikonya pilpres yang diikuti hanya dua pasangan calon. Bila kita memberi
penilaian yang tidak menguntungkan salah satu pasangan calon, akan dengan
mudah dicap berpihak kepada pasangan calon lainnya.
Namun, saya punya alasan yang
sangat kuat untuk mengatakan hal demikian berdasarkan penyimakan terhadap
putusan MK selama ini. Dalam permohonan mereka, Prabowo-Hatta pada pokoknya
mempermasalahkan dua hal. Pertama, dari sisi penghitungan suara, mereka
mengklaim unggul atas Jokowi-JK dengan 50,26% (67.139.153 suara) atau naik
hampir 5 juta suara dari penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar
62.576.444, sedangkan Jokowi-JK hanya memperoleh 49,74% suara (66.435.124
suara) atau turun hampir 4 juta suara dari penetapan KPU sebesar 70.997.833.
Kedua, Prabowo-Hatta
mempersoalkan proses pemilu (electoral process) yang dinilai penuh dengan
kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Yang
dipersoalkan, antara lain, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang
berubah-ubah, masalah mereka yang memilih hanya menggunakan KTP atau
identitas kependudukan lainnya dalam DPT khusus tambahan (DPKTb), konsistensi
antara DPT dan surat suara terpakai, beberapa soal terkait dengan money poli
tics, dan masalah pemungutan suara di Papua.
Dari dua pokok gugatan
tersebut, klaim menang itu bukan main-main. Bila bisa dibuktikan bahwa
penghitungan suara KPU keliru dan yang benar ialah versi Prabowo-Hatta, pokok
gugatan kedua tidak perlu diperiksa lebih lanjut. Prabowo-Hatta pasti akan
dimenangkan MK. Masalahnya, klaim menang tersebut ternyata tidak didukung
elaborasi yang memadai, tidak ada paparan dalam permohonan yang menggambarkan
dari mana penambahan suara hampir 5 juta dari kubu Prabowo-Hatta?
Ada pelanggaran?
Demikian juga tidak
tergambarkan bahwa perolehan suara Jokowi-JK berkurang hampir 4 juta agar
hasil akhirnya Prabowo-Hatta yang menang karena perbedaan suara saat ini
sekitar 8,4 juta. Yang ada hanyalah elaborasi soal penggelembungan suara bagi
Jokowi-JK sebesar 1,5 juta suara dan pengurangan suara kubu PrabowoHatta
sebesar 1,2 juta suara, yang kalau dijumlahkan semuanya hanya 2,7 juta suara.
Seandainya pun 2,7 juta suara tersebut diberikan kepada kubu Prabowo-Hatta, tetap
saja tidak memengaruhi hasil pemilu.
Saya menduga klaim menang itu
sengaja `ditempelkan' dalam permohonan PrabowoHatta sekadar pintu masuk agar
permo honan dinyatakan signi fikan untuk diperiksa lebih lanjut. Klaim kedua
soal terjadinya pelanggaran yang bersifat TSM itulah yang sesungguhnya lebih
diandalkan Prabowo-Hatta untuk mencari kemenangan di MK. Terbukti elaborasi
atas pelanggaran TSM tersebut menyita 90% lebih halaman permohonan yang
mencapai hampir 200 halaman.
Sejak memutus sengketa hasil
pemilu kada Jawa Timur 2008, MK tidak lagi sekadar berhenti pada
hitung-hitungan menang dan kalah dalam menangani sengketa hasil pemilu,
termasuk pemilu kada dan pilpres, tetapi juga proses pemilu. Sepanjang suatu
proses pemilu dapat dibuktikan berlangsung secara curang, dan kecurangan
tersebut terjadi secara TSM, MK dapat memerintahkan pemungutan suara ulang.
Bahkan, MK dapat mendiskualifikasi salah satu calon dan menentukan siapa
pemenangnya. Tidak mengherankan bila dalam petitum permohonan, kubu Prabowo-Hatta
meminta MK mendiskualifikasi Jokowo-JK dan memerintahkan pemungutan suara
ulang di seluruh TPS di Indonesia.
Persoalannya, apakah telah
terjadi pelanggaran TSM dalam Pilpres 2014 sebagaimana didalilkan
Prabowo-Hatta? Hingga tulisan ini diturunkan, pembuktian masih terus
berlangsung di sidang-sidang MK. Namun, elaborasi soal TSM berikut perlu
direnungkan untuk sampai pada jawaban.
Saya sering mengatakan bahwa
dalil telah terjadi kecurangan TSM tersebut justru ‘menghina’ Prabowo-Hatta
sendiri. Mengapa? Karena klaim itu mengandalkan asumsi bahwa kubu Jokowi-JK
menguasai sumber daya yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
PrabowoHatta, baik dana maupun kekuasaan. Mereka yang mampu melakukan
kecurangan TSM haruslah memiliki sumber daya yang jauh lebih besar ketimbang
kompetitornya sehingga mengakibatkan persaingan pilpres menjadi tidak
seimbang. Salah satu sumber daya tersebut misalnya penguasaan terhadap
birokrasi di daerah karena kepala-kepala daerah berasal dari kubu salah satu
pasangan calon.
Dalam konteks Pilpres 2014,
faktanya tidak demikian. Baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK memiliki sumber
daya yang bisa dikatakan relatif berimbang. Bahkan bila patokannya jumlah
partai pendukung dikaitkan dengan hasil Pileg 2014, Prabowo-Hatta jauh lebih
kuat karena didukung 7 dari 10 partai yang lolos di DPR dengan suara lebih
dari 60%. Jumlah kepala daerah dari partai pendukung Prabowo-Hatta juga bisa
dipastikan jauh lebih besar. Mengenai sumber dana, mesti belum jelas
angkanya, banyak yang yakin bahwa Prabowo-Hatta memiliki uang yang jauh lebih
banyak ketimbang Jokowi-JK.
Dalam kondisi seperti itu,
apakah mungkin Jokowi-JK mampu melakukan kecurangan TSM? Kalau hanya
kecurangan saja, jawabannya pasti ya. Dalam era reformasi, kurang dan curang
dalam pemilu ialah penyakit yang hingga saat ini belum ada obatnya. Namun,
potensi yang sama dilakukan pula oleh PrabowoHatta, bahkan peluang melakukan
kecurangan bisa lebih besar dengan penguasaan sumber daya yang ada. Dalam
kondisi ketika kedua pasangan calon memiliki sumber daya yang berimbang dan
potensial sama-sama melakukan kecurangan, sulit dikatakan terjadi kecurangan
TSM.
Pada Pilpres 2009, gugatan
kecurangan TSM juga pernah dilayangkan kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto ke
kubu SBY-Boediono. Gugatan itu ditolak MK. Nah, dalam kondisi petahana ikut
bertanding saja gugatan TSM ditolak, apatah lagi dalam kondisi saat ini? Bila
sidang di MK berjalan dengan kenormalannya, saya bisa pastikan bahwa 20
Oktober nanti presiden kita Jokowi-JK! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar