Selasa, 12 Agustus 2014

Doktrin Longgar Kecurangan

Doktrin Longgar Kecurangan

Refly Harun  ;   Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu
KOMPAS, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

ANDAI permohonan Prabowo-Hata diletakkan dalam konteks Pemilu Presiden 2004, gonjang-ganjing akan gugatan itu tentu tak sedahsyat sekarang. Mahkamah Konstitusi tinggal membuktikan apakah klaim unggul suara dari Prabowo-Hatta didukung oleh data akurat dan asli.

Dalam gugatannya, Prabowo-Hatta mengklaim unggul atas Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan persentase 50,26 persen (67.139.153 suara) berbanding 49,74 persen (66.435.124 suara). Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum menetapkan kemenangan Jokowi-JK dengan 70.997.833 berbanding 62.576.444 suara yang didapat Prabowo-Hatta. Artinya, ada penambahan suara hampir 5 juta bagi Prabowo-Hatta dan pengurangan hampir 4 juta bagi Jokowi-JK.

Klaim menang itu tinggal dibuktikan dalam sidang-sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Bila terbukti, sudah pasti Prabowo-Hatta akan ditetapkan sebagai pemenang. Masalahnya, klaim unggul suara itu tidak didukung elaborasi meyakinkan. Bagian mahapenting itu hanya menghiasi tiga halaman dari 197 halaman gugatan Prabowo-Hatta.

Tidak ada elaborasi yang menjelaskan dari mana penambahan angka hampir 5 juta suara Prabowo-Hatta dan pengurangan hampir 4 juta suara Jokowi-JK.

Pintu masuk klaim lain

Bisa jadi, kubu Prabowo-Hatta sendiri tidak yakin dengan klaim menang itu dan hanya dijadikan pintu masuk bagi klaim berikutnya, yaitu telah terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2014.

Andai permohonan ini diletakkan dalam konteks 10 tahun lalu, sudah pasti akan ditolak karena klaim tersebut tidak dapat dibuktikan. Bahkan, dalam kesempatan pertama, ketika membaca permohonan pun, arah putusan sudah dapat ditebak.

Namun, sekarang Pilpres 2014, bukan Pilpres 2004. Sejak memutuskan Pilkada Jawa Timur 2008, MK telah menahbiskan dirinya tidak sekadar ”Mahkamah Kalkulator” dalam menyidangkan sengketa hasil pemilu. MK telah mengklaim dirinya beraliran ”keadilan substantif”. Kendati suatu permohonan tidak dapat membuktikan keunggulan suara, bila pemohon mampu membuktikan telah terjadi kecurangan yang bersifat TSM, pemungutan suara bisa diulang.

Dengan doktrin ”keadilan substantif” ini, pemungutan suara beberapa pilkada terpaksa diulang. Selain Pilkada Jawa Timur 2008, pengulangan juga terjadi untuk beberapa pilkada lainnya, seperti Pilkada Merauke (2010), Tangerang Selatan (2011), Sumatera Selatan (2014), dan Maluku Utara (2014). Dalam beberapa pilkada yang disebutkan itu, MK menengarai telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif sehingga pemungutan suara patut diulang, baik secara keseluruhan maupun di beberapa tempat.

Doktrin TSM tersebut seperti pedang bermata dua. Di satu sisi memberi keleluasaan kepada hakim-hakim MK untuk benar-benar menggali rasa keadilan dalam menyidangkan sengketa hasil pemilu. Namun, di tangan hakim yang tidak bertanggung jawab, doktrin tersebut justru dapat menjadi alat negosiasi.

Pesan BBM dari Akil Mochtar yang mengancam pemungutan suara ulang dalam konteks Pilkada Gunung Mas 2013 dapat menjelaskan celah negosiasi tersebut. Pola mengancam ”pemungutan suara ulang” inilah yang kerap menjadi jurus Akil dalam melakukan pemerasan terhadap pihak-pihak yang menang dalam pilkada, termasuk dalam Pilkada Gunung Mas yang menjerat Hambit Bintih, petahana sekaligus pemenang Pilkada Gunung Mas 2013.

Secara harfiah, kecurangan yang bersifat terstruktur berarti dilakukan oleh struktur tertentu, misalnya struktur organisasi atau melibatkan birokrasi pemerintahan. Sistematis bermakna bahwa kecurangan dilakukan secara terencana, bukan kebetulan. Sementara itu, masif mengabarkan bahwa kecurangan terjadi dalam skala luas, tidak sporadis.

Ukuran TSM tak jelas

Persoalannya, karena bersifat kualitatif, ukuran TSM tidak begitu jelas. Misalnya, soal masif, tidak jelas parameternya dalam skala seperti apa bisa dikatakan masif. Semua itu bergantung pada perspektif para hakim konstitusi. Dalam sebuah kesempatan talkshow di televisi dengan saya beberapa tahun lalu, mantan Ketua MK Mahfud MD bahkan menyatakan bahwa suatu kasus dapat dimenangkan dan dikalahkan bergantung pada kemauan sang hakim. Semua ada argumentasinya.

Kembali pada gugatan Prabowo-Hatta, karena saat ini bukan Pilpres 2004, melainkan Pilpres 2014, meski klaim unggul suara sangat lemah, Prabowo-Hatta masih bisa berharap dengan doktrin longgar TSM. Subyektivitas hakim-hakim konstitusi dapat menentukan apakah pemungutan suara Pilpres 2014 harus diulang atau tidak.

Sebagai orang yang mengamati sepak terjang MK dalam 10 tahun terakhir, bahkan pernah terlibat di dalamnya sebagai staf ahli dalam empat tahun pertama, saya berkesimpulan bahwa dalil kecurangan TSM dalam gugatan Prabowo-Hatta lemah.

Permohonan Prabowo-Hatta lebih banyak mempersoalkan hal-hal yang bersifat administrasi pemilu, seperti penetapan daftar pemilih tetap (DPT), soal daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), dan inkonsistensi DPT dengan surat suara terpakai/tidak terpakai. Kalaupun soal-soal seperti itu dinilai sebagai pelanggaran, kategorinya baru sampai pelanggaran administrasi. Tidak bisa dikatakan sebagai kecurangan, apalagi yang bersifat TSM.

Rumus kecurangan sangat sederhana, yaitu ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan oleh sebuah tindakan. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dalam soal DPT dan DPKTb? Tidak jelas karena kita tidak memiliki kemampuan memverifikasi pilihan pemilih sekalipun kotak suara dibuka.

Hingga titik ini, posisi Jokowi-JK pastinya aman. Namun, doktrin longgar TSM bisa membawa kabar buruk. Dengan subyektivitasnya, hakim bisa menyatakan, ”kendatipun soal DPT dan DPKTb tidak dapat dikategorikan sebagai suatu kecurangan, melainkan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi karena hal tersebut terjadi merata di puluhan ribu TPS, demi tegaknya pemilu yang luber dan jurdil, Mahkamah Konstitusi berpandangan perlu dilakukan pemungutan suara ulang.”

Mudah-mudahan kalimat tersebut tidak pernah dituliskan para hakim konstitusi agar gonjang-ganjing pilpres ini segera berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar