Ironi
Negeri Agraris
Ali Khomsan ;
Guru Besar Fakultas
Ekologi Manusia IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Agustus 2014
INDONESIA merupakan negara
dengan tingkat ketahanan pangan yang fluktuatif. Impor beras dan pangan
penting lainnya seperti kedelai, daging, dan susu sering kali memunculkan
pertanyaan mengapa pertanian kita tidak berjaya. Bahkan garam pun terpaksa
diimpor, padahal kita memiliki lautan yang maha luas. Bila bahan pangan-pangan
penting masih terus mengandalkan impor, gejolak pangan di pasar internasional
bisa memunculkan ketidakstabilan ekonomi ataupun politik.
Pemerintah baru nanti mungkin
akan menaikkan harga BBM sehingga bisa menimbulkan rentetan panjang kenaikan
harga berbagai komoditas pangan.
Tampaknya beban pemerintah dalam hal subsidi
BBM ini kian berat sehingga semua harus bersedia menelan pil pahit yaitu
pengurangan subsidi. Apakah naiknya harga pangan akan semakin menyejahterakan
petani? Belum tentu, karena keuntungan yang diperoleh petani umumnya selalu
lebih rendah bila dibandingkan dengan para pedagang peran tara yang menguasai
jalur pemasaran produk-produk pertanian.
Bekerja di sektor pertanian
menjadi kian kurang menarik. Kita semua mencermati bahwa hidup di perdesaan
menggeluti pertanian ialah kehidupan yang mahaberat. Setiap hari
petani-petani kita terkungkung dalam kemiskinan dan sulit mengentaskan
dirinya sendiri. Penguasaan lahan yang sempit, akses input produksi yang
kadang terkendala, dan harga panen produk yang rendah menyebabkan sektor
pertanian semakin tidak dilirik generasi-generasi muda.
Di kalangan mahasiswa,
peminatan terhadap bidang pertanian semakin menurun. Bagaimana nasib negeri
agraris bila tidak ada lagi yang mau menekuni pertanian?
Kekhususan yang
dirancang dalam program studi di perguruan tinggi menyebabkan kita hanya akan
menghasilkan sarjana pertanian dengan pemahaman ilmu yang sempit. Itulah
sebabnya, dalam menghadapi semakin merosotnya peminat ilmu pertanian,
beberapa perguruan tinggi terpaksa melakukan merger program studi sehingga
hanya ada dua penjurusan di fakultas pertanian yaitu agrobisnis dan
agroteknologi.
Persoalan lulusan pertanian
yang tidak bekerja di bidang pertanian telah sejak lama dicermati. Lulusan
perguruan tinggi pertanian yang menekuni pertanian dari hulu sampai hilir
mungkin diperkirakan hanya 35%. Sisanya bekerja di perbankan, media massa,
atau menjadi konsultan.
Ada anekdot yang mengatakan
bahwa sarjana pertanian bisa bekerja di mana saja, kecuali di bidang pertanian.
Kalau hal ini benar, sebenarnya perguruan tinggi telah keliru menyiapkan
sarjana-sarjananya. Ilmu yang dibekalkan kepada mahasiswanya ternyata tidak
laku di pasaran. Namun masih untung, sarjana-sarjana tersebut cepat
beradaptasi dengan berbagai tantangan di dunia kerja sehingga bisa memasuki
bidang apa saja. Fenomena tenaga kerja yang seolah-olah salah penempatan
bukan hanya monopoli sarjana pertanian. Banyak sarjana dari bidang ilmu lain
kini juga mengalami problem serupa.
Sebagai pelipur lara, siapa pun
boleh berdalih bahwa kuliah S-1 di perguruan tinggi sebenarnya untuk mengasah
nalar. Selama studi di perguruan tinggi, mahasiswa berlatih menganalisis
beragam masalah sesuai dengan bidang ilmunya, belajar berdiskusi, menulis
paper, sampai melakukan penelitian. Hasilnya ialah sarjana yang cepat
menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau
tidak sesuai dengan latar pendidikan keilmuannya, ternyata itu tidak menjadi
persoalan.
Tidak menjanjikan
Pertanian di negeri kita identik
dengan kemiskinan. Persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh
kabupaten/provinsi ialah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Sektor
pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Populasi petani kita lebih banyak didominasi petani guram dengan
pemilikan lahan sangat sempit.
Besarnya angka kemiskinan di
sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan
kemampuan pertanian sebagai
buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang
digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut
penganggur, lebih baik bekerja di pertanian.
Pada 1970-an kesejahteraan
petani dan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini,
keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat
ketimbang sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah.
Namun, kalau pertanian kita hanya dijejali dengan petani guram, sektor
pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Kesejahteraan petani
hingga kini masih merupakan mimpi.
Petani tidak bisa hidup
tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tak dihormati karena korupsi, dan
pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan
produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris
ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang pertanian.
Kebijakan pertanian yang tepat
ialah kebijakan yang berpihak kepada petani. Salah kebijakan, maka korban nya
ialah pertaruhan nasib jutaan petani. Hal itu akan meningkatkan jumlah orang
miskin di Indonesia. Fokus pembangunan pertanian ialah keberdayaan petani,
daya saing produk, dan kelestarian lingkungan. Inilah paradigma baru
pertanian di abad ke-21. Daya saing produk pertanian harus selalu diperbaiki.
Lembaga-lembaga riset pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan
setiap tahun menyerap anggaran cukup besar jangan hanya menjadi macan kertas.
Hasil riset yang hanya
ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar tidak akan pernah
menyejahterakan petani Indonesia. Sudah saatnya pemerintah memberi apresiasi
kepada petani-petani yang mempraktikkan pola pertanian ramah lingkungan. Kita
hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, melainkan juga untuk anak cucu di
tahuntahun mendatang. Rusaknya lingkungan berarti hancurnya kehidupan di masa
datang dan generasi saat ini akan terus dikutuk apabila kita tidak berusaha
menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat terhadap lingkungan.
Sektor pertanian merupakan
andalan bangsa kita. Karena itu, ciptakan kemakmuran bangsa melalui
pembangunan pertanian yang tepat. Rendahnya produktivitas petani kita
merupakan konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya
manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana
produksi, pembangunan infrastruktur yang terbengkelai, dll.
Ide Joko Widodo yang mungkin
akan menjadi presiden Indonesia pengganti SBY tentang tol laut perlu
diapresiasi. Tol laut untuk kelancaran distribusi pangan atau produk
pertanian antarpulau akan semakin menguntungkan petani. Di darat, dengan
telah selesainya pembangunan rel ganda di Jawa juga semakin memudahkan
transportasi produk pertanian. Tidak perlu lagi mengandalkan jalur pantura
yang selalu mengalami kerusakan jalan kronis.
Negara-negara lain banyak yang
hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat. Negara-negara
tetangga kita seperti Thailand, Tiongkok, dan Malaysia dapat berjaya dengan
produk pertanian mereka. Amerika ialah contoh negara industri yang tetap memperhatikan
sektor pertanian, produk-produk pertaniannya diekspor ke berbagai negara.
Kekayaan alam Indonesia dengan iklim yang kondusif untuk membangun pertanian
harusnya menjadi modal penting bagi bangsa ini untuk menjelma menjadi bangsa
sejahtera. Meski kita berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai negara
industri, jangan pernah meninggalkan pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar