Rabu, 13 Agustus 2014

Ironi Negeri Agraris

                                                 Ironi Negeri Agraris

Ali Khomsan  ;   Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
MEDIA INDONESIA, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

INDONESIA merupakan negara dengan tingkat ketahanan pangan yang fluktuatif. Impor beras dan pangan penting lainnya seperti kedelai, daging, dan susu sering kali memunculkan pertanyaan mengapa pertanian kita tidak berjaya. Bahkan garam pun terpaksa diimpor, padahal kita memiliki lautan yang maha luas. Bila bahan pangan-pangan penting masih terus mengandalkan impor, gejolak pangan di pasar internasional bisa memunculkan ketidakstabilan ekonomi ataupun politik.
Pemerintah baru nanti mungkin akan menaikkan harga BBM sehingga bisa menimbulkan rentetan panjang kenaikan harga berbagai komoditas pangan. 

Tampaknya beban pemerintah dalam hal subsidi BBM ini kian berat sehingga semua harus bersedia menelan pil pahit yaitu pengurangan subsidi. Apakah naiknya harga pangan akan semakin menyejahterakan petani? Belum tentu, karena keuntungan yang diperoleh petani umumnya selalu lebih rendah bila dibandingkan dengan para pedagang peran tara yang menguasai jalur pemasaran produk-produk pertanian.

Bekerja di sektor pertanian menjadi kian kurang menarik. Kita semua mencermati bahwa hidup di perdesaan menggeluti pertanian ialah kehidupan yang mahaberat. Setiap hari petani-petani kita terkungkung dalam kemiskinan dan sulit mengentaskan dirinya sendiri. Penguasaan lahan yang sempit, akses input produksi yang kadang terkendala, dan harga panen produk yang rendah menyebabkan sektor pertanian semakin tidak dilirik generasi-generasi muda.
Di kalangan mahasiswa, peminatan terhadap bidang pertanian semakin menurun. Bagaimana nasib negeri agraris bila tidak ada lagi yang mau menekuni pertanian? 

Kekhususan yang dirancang dalam program studi di perguruan tinggi menyebabkan kita hanya akan menghasilkan sarjana pertanian dengan pemahaman ilmu yang sempit. Itulah sebabnya, dalam menghadapi semakin merosotnya peminat ilmu pertanian, beberapa perguruan tinggi terpaksa melakukan merger program studi sehingga hanya ada dua penjurusan di fakultas pertanian yaitu agrobisnis dan agroteknologi.

Persoalan lulusan pertanian yang tidak bekerja di bidang pertanian telah sejak lama dicermati. Lulusan perguruan tinggi pertanian yang menekuni pertanian dari hulu sampai hilir mungkin diperkirakan hanya 35%. Sisanya bekerja di perbankan, media massa, atau menjadi konsultan.

Ada anekdot yang mengatakan bahwa sarjana pertanian bisa bekerja di mana saja, kecuali di bidang pertanian. Kalau hal ini benar, sebenarnya perguruan tinggi telah keliru menyiapkan sarjana-sarjananya. Ilmu yang dibekalkan kepada mahasiswanya ternyata tidak laku di pasaran. Namun masih untung, sarjana-sarjana tersebut cepat beradaptasi dengan berbagai tantangan di dunia kerja sehingga bisa memasuki bidang apa saja. Fenomena tenaga kerja yang seolah-olah salah penempatan bukan hanya monopoli sarjana pertanian. Banyak sarjana dari bidang ilmu lain kini juga mengalami problem serupa.

Sebagai pelipur lara, siapa pun boleh berdalih bahwa kuliah S-1 di perguruan tinggi sebenarnya untuk mengasah nalar. Selama studi di perguruan tinggi, mahasiswa berlatih menganalisis beragam masalah sesuai dengan bidang ilmunya, belajar berdiskusi, menulis paper, sampai melakukan penelitian. Hasilnya ialah sarjana yang cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Apakah pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai dengan latar pendidikan keilmuannya, ternyata itu tidak menjadi persoalan.

Tidak menjanjikan

Pertanian di negeri kita identik dengan kemiskinan. Persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi ialah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Populasi petani kita lebih banyak didominasi petani guram dengan pemilikan lahan sangat sempit.

Besarnya angka kemiskinan di sektor pertanian, mungkin juga berkaitan dengan 
kemampuan pertanian sebagai buffer pengangguran. Di masyarakat, mata pencaharian sebagai petani kadang digunakan sebagai perlindungan dari status pengangguran. Daripada disebut penganggur, lebih baik bekerja di pertanian.

Pada 1970-an kesejahteraan petani dan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun kini, keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat ketimbang sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun, kalau pertanian kita hanya dijejali dengan petani guram, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.

Petani tidak bisa hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tak dihormati karena korupsi, dan pedagang pun banyak yang bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan produk impor. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris ternyata tidak pernah meraih kemakmuran dari bidang pertanian.

Kebijakan pertanian yang tepat ialah kebijakan yang berpihak kepada petani. Salah kebijakan, maka korban nya ialah pertaruhan nasib jutaan petani. Hal itu akan meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia. Fokus pembangunan pertanian ialah keberdayaan petani, daya saing produk, dan kelestarian lingkungan. Inilah paradigma baru pertanian di abad ke-21. Daya saing produk pertanian harus selalu diperbaiki. Lembaga-lembaga riset pertanian di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan setiap tahun menyerap anggaran cukup besar jangan hanya menjadi macan kertas.

Hasil riset yang hanya ditumpuk-tumpuk menjadi laporan atau makalah seminar tidak akan pernah menyejahterakan petani Indonesia. Sudah saatnya pemerintah memberi apresiasi kepada petani-petani yang mempraktikkan pola pertanian ramah lingkungan. Kita hidup bukan hanya untuk diri kita saat ini, melainkan juga untuk anak cucu di tahuntahun mendatang. Rusaknya lingkungan berarti hancurnya kehidupan di masa datang dan generasi saat ini akan terus dikutuk apabila kita tidak berusaha menerapkan cara hidup yang lebih bersahabat terhadap lingkungan.

Sektor pertanian merupakan andalan bangsa kita. Karena itu, ciptakan kemakmuran bangsa melalui pembangunan pertanian yang tepat. Rendahnya produktivitas petani kita merupakan konsekuensi beragam masalah seperti keterbatasan sumber daya manusia petani, penyusutan luas lahan produksi, tidak memadainya sarana produksi, pembangunan infrastruktur yang terbengkelai, dll.

Ide Joko Widodo yang mungkin akan menjadi presiden Indonesia pengganti SBY tentang tol laut perlu diapresiasi. Tol laut untuk kelancaran distribusi pangan atau produk pertanian antarpulau akan semakin menguntungkan petani. Di darat, dengan telah selesainya pembangunan rel ganda di Jawa juga semakin memudahkan transportasi produk pertanian. Tidak perlu lagi mengandalkan jalur pantura yang selalu mengalami kerusakan jalan kronis.

Negara-negara lain banyak yang hidup makmur karena memiliki sistem pertanian yang kuat. Negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Tiongkok, dan Malaysia dapat berjaya dengan produk pertanian mereka. Amerika ialah contoh negara industri yang tetap memperhatikan sektor pertanian, produk-produk pertaniannya diekspor ke berbagai negara. Kekayaan alam Indonesia dengan iklim yang kondusif untuk membangun pertanian harusnya menjadi modal penting bagi bangsa ini untuk menjelma menjadi bangsa sejahtera. Meski kita berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai negara industri, jangan pernah meninggalkan pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar