Membuat
Nelayan Kelimpungan
Joko Suprayoga ;
Alumnus Undip,
Kepala Seksi Pengembangan Produksi Perikanan DKP Kendal
|
SUARA
MERDEKA, 23 Agustus 2014
Untuk kali ke sekian, nelayan di Jawa Tengah dibikin kelimpungan
soal solar. Dalam Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/KaBPH/2014 antara lain
diinstruksikan per 4 Agustus alokasi solar subsidi untuk lembaga penyalur
nelayan dipotong 20% dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30
gross ton (GT).
Pembatasan BBM tersebut membuat nelayan kelimpungan. Mereka
harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan bahan bakar kapal. Dalam
keadaan normal saja kebutuhan solar bagi nelayan jauh lebih tinggi dibanding
ketersediaannya di SPBN. Kondisi itu sangat merugikan karena nelayan tidak
bisa melaut, atau kalaupun bisa, jadwalnya tidak menentu.
Belum lagi biaya operasional yang makin membengkak terkait
dengan kenaikan harga solar. Kalau penghapusan subsidi diberlakukan, artinya
mereka harus mengikuti mekanisme pasar, di mana harga solar akan menjadi
sekitar Rp 12 ribu per liter atau naik sekitar Rp 6.500 per liter. Itu
artinya biaya operasional akan naik sekitar 60%.
Padahal, tanpa pembatasan solar pun nelayan sudah menderita. Nelayan
di Kendal menuturkan, pada era 1990-an, harga solar ”hanya” sekitar Rp 800
per liter, sedangkan harga ikan tongkol Rp 5.000 per kg. Saat ini dengan
harga solar Rp 5.500, harga ikan tongkol Rp 15 ribu. Bila subsidi BBM
dicabut harga ikan tongkol per kg bisa mencapai Rp 30 ribu-Rp 40 ribu
per kg.
Apakah masyarakat masih mau membeli ikan dengan harga seperti
itu? Pembatasan solar bersubsidi membuat kehidupan nelayan yang suram semakin
suram. Pasalnya biaya BBM mencakup sekitar 50% dari struktur biaya operasi
penangkapan. Bagi nelayan kecil, bahkan bisa lebih dari 60%. Tak seperti
sopir angkutan yang bisa menekan pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan.
Bercermin dari kenaikan harga BBM lalu, hal itu berdampak
terhadap frekuensi nelayan melaut. Kenaikan BBM membuat rata-rata frekuensi
melaut nelayan hanya 180 hari dalam setahun, dengan rincian 9-15 hari dalam
sebulan. Jika makin jarang melaut, niscaya bakal membuat pasokan ikan ke
berbagai pelabuhan menyusut tajam.
Gulung Tikar
Sekarang ini, sekitar 90% dari 2,8 juta nelayan kecil Indonesia
hanya membawa pulang rata-rata 2 kg ikan per hari. Jika dapat menjual seluruh
ikan ke pasar, mereka berpenghasilan Rp 20 ribu-Rp 30 ribu. Bukan karena di
laut tak ada ikan, melainkan lebih disebabkan kapal berbobot besar dibiarkan
bebas menangkap ikan di perairan kepulauan. Sebanyak 99,5% kapal kan
Indonesia, termasuk kapal berbobot 30-100 GT, beroperasi di perairan kurang
dari 12 mil laut dari garis pantai.
Di pihak lain, industri pengolahan ikan di berbagai daerah harus
siap menjerit karena kekurangan bahan baku. Lapangan pekerjaan di sektor
pengolahan dan pemasaran juga terancam. Setidaknya tiga tahun terakhir, satu
per satu industri pengolahan ikan dan udang gulung tikar dan merumahkan
ribuan tenaga kerja akibat kekurangan bahan baku. Kondisi ini pula yang
memaksa Indonesia terus bergantung pada impor produk perikanan.
Kita berharap pemerintah tak membuat kebijakan yang menyengsarakan
nelayan. Selama ini nelayan sudah kenyang permasalahan: hasil tangkapan makin
sedikit, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, dan tidak ada
alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem. Selain itu, mengalami keterbatasan
modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi wilayah dan
potensi sebaran ikan dari Dinas Kelautan dan Perikanan.
Selama ini pun pendistribusian BBM subsidi bagi nelayan
tradisional teradang dua persoalan, yaitu kesalahan peruntukan dan nelayan
tradisional sulit mengakses BBM bersubsidi. Dalam banyak kesempatan, nelayan
dikriminalisasi atas tuduhan menimbun BBM karena membeli di SPBU dengan
memakai drum atau jerigen.
Inilah kenapa keberadaan koperasi nelayan dan pack dealer solar untuk nelayan (SPDN)
harus dimanfaatkan sebagai instrumen paling efektif guna memastikan BBM
bersubsidi terdistribusi dengan baik dan tepat sasaran kepada nelayan
tradisional, bukan kepada swasta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar