Minggu, 24 Agustus 2014

Membuat Nelayan Kelimpungan

                                Membuat Nelayan Kelimpungan

Joko Suprayoga  ;   Alumnus Undip,
Kepala Seksi Pengembangan Produksi Perikanan DKP Kendal
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Untuk kali ke sekian, nelayan di Jawa Tengah dibikin kelimpungan soal solar. Dalam Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/KaBPH/2014 antara lain diinstruksikan per 4 Agustus alokasi solar subsidi untuk lembaga penyalur nelayan dipotong 20% dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 gross ton (GT).

Pembatasan BBM tersebut membuat nelayan kelimpungan. Mereka harus menunggu berhari-hari untuk mendapatkan bahan bakar kapal. Dalam keadaan normal saja kebutuhan solar bagi nelayan jauh lebih tinggi dibanding ketersediaannya di SPBN. Kondisi itu sangat merugikan karena nelayan tidak bisa melaut, atau kalaupun bisa, jadwalnya tidak menentu.

Belum lagi biaya operasional yang makin membengkak terkait dengan kenaikan harga solar. Kalau penghapusan subsidi diberlakukan, artinya mereka harus mengikuti mekanisme pasar, di mana harga solar akan menjadi sekitar Rp 12 ribu per liter atau naik sekitar Rp 6.500 per liter. Itu artinya biaya operasional akan naik sekitar 60%.

Padahal, tanpa pembatasan solar pun nelayan sudah menderita. Nelayan di Kendal menuturkan, pada era 1990-an, harga solar ”hanya” sekitar Rp 800 per liter, sedangkan harga ikan tongkol Rp 5.000 per kg. Saat ini dengan harga solar Rp 5.500, harga ikan tongkol Rp 15 ribu. Bila sub­sidi BBM di­cabut har­­ga ikan tong­­kol per kg bi­sa mencapai Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per kg.

Apakah masyarakat masih mau membeli ikan dengan harga seperti itu? Pembatasan solar bersubsidi membuat kehidupan nelayan yang suram semakin suram. Pasalnya biaya BBM mencakup sekitar 50% dari struktur biaya operasi penangkapan. Bagi nelayan kecil, bahkan bisa lebih dari 60%. Tak seperti sopir angkutan yang bisa menekan pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan.

Bercermin dari kenaikan harga BBM lalu, hal itu berdampak terhadap frekuensi nelayan melaut. Kenaikan BBM membuat rata-rata frekuensi melaut nelayan hanya 180 hari dalam setahun, dengan rincian 9-15 hari dalam sebulan. Jika makin jarang melaut, niscaya bakal membuat pasokan ikan ke berbagai pelabuhan menyusut tajam.

Gulung Tikar

Sekarang ini, sekitar 90% dari 2,8 juta nelayan kecil Indonesia hanya membawa pulang rata-rata 2 kg ikan per hari. Jika dapat menjual seluruh ikan ke pasar, mereka berpenghasilan Rp 20 ribu-Rp 30 ribu. Bukan karena di laut tak ada ikan, melainkan lebih disebabkan kapal berbobot besar dibiarkan bebas menangkap ikan di perairan kepulauan. Sebanyak 99,5% kapal kan Indonesia, termasuk kapal berbobot 30-100 GT, beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut dari garis pantai.

Di pihak lain, industri pengolahan ikan di berbagai daerah harus siap menjerit karena kekurangan bahan baku. Lapangan pekerjaan di sektor pengolahan dan pemasaran juga terancam. Setidaknya tiga tahun terakhir, satu per satu industri pengolahan ikan dan udang gulung tikar dan merumahkan ribuan tenaga kerja akibat kekurangan bahan baku. Kondisi ini pula yang memaksa Indonesia terus bergantung pada impor produk perikanan.

Kita berharap pemerintah tak membuat kebijakan yang menyengsarakan nelayan. Selama ini nelayan sudah kenyang permasalahan: hasil tangkapan makin sedikit, sulit mendapatkan es batu untuk penyimpanan ikan, dan tidak ada alternatif pekerjaan saat cuaca ekstrem. Selain itu, mengalami keterbatasan modal dan sulit mengakses permodalan, serta tidak ada informasi wilayah dan potensi sebaran ikan dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

Selama ini pun pendistribusian BBM subsidi bagi nelayan tradisional teradang dua persoalan, yaitu kesalahan peruntukan dan nelayan tradisional sulit mengakses BBM bersubsidi. Dalam banyak kesempatan, nelayan dikriminalisasi atas tuduhan menimbun BBM karena membeli di SPBU dengan memakai drum atau jerigen.

Inilah kenapa keberadaan koperasi nelayan dan pack dealer solar untuk nelayan (SPDN) harus dimanfaatkan sebagai instrumen paling efektif guna memastikan BBM bersubsidi terdistribusi dengan baik dan tepat sasaran kepada nelayan tradisional, bukan kepada swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar